Sejak tahun 1980-an, masyarakat muslim di Indonesia memasuki babak baru di dalam sejarahnya. Mereka semakin banyak menjangkau pendidikan tinggi dan pekerjaan formal di kota-kota besar. Suasana politik saat itu membuat mereka bukan cuma mengalami transformasi ekonomi, tetapi juga mencari identitas politik ketika memasuki ruang publik. Fenomena tersebut mengalami perkembangan hingga saat ini.
Peneliti Pusat Penelitian Politik (P2P) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Wasisto Raharjo Jati, membaca gejala menarik dari kemunculan kelas menengah muslim. “Istilah kelas menengah sebenarnya tidak ada di dalam Islam, karena Islam menggunakan istilah umat. Saat terjadi penyingkiran peran umat Islam dalam politik di zaman rejim Orde Baru, mereka mulai menunjukkan perjuangan dan kebangkitan,” kata Wasisto di INSISTS Saturday Forum (ISF), Sabtu (13/5). Kelas menengah muslim ini menjadi kelompok urban yang menunjukkan komitmen-nya pada nilai-nilai Islam, termasuk sebagai identitas politik. Namun, terdapat hal yang harus diwanti-wanti. “Penerimaan nilai-nilai Islam di kalangan kelas menengah ini dibagi dua, yakni pemahaman emosional atau fungsional, dan pemahaman spiritual,” tambah alumnus jurusan Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada ini.
Makna dari praktik fungsional adalah ketika ajaran Islam dipandang sebagai pemenuhan atas kebutuhan diri yang sangat individualis, seperti bersedekah agar cepat kaya dan beribadah agar cepat menjadi jodoh. Pandangan ini dapat mereduksi pandangan spiritual yang menempatkan pelaksanaan ajaran Islam sebagai bentuk kepatuhan pada Tuhan. Dalam bentuk pemahaman fungsional ini, kelas menengah muslim sering menjadi obyek komodifikasi bagi pengeruk kepentingan ekonomi, seperti terlihat dalam tren busana muslim dengan klaim “halal”, gaya hidup konsumeristik dalam belanja, dan sebagainya. Ketika kehidupan seperti itu menjadi bentuk komoditas dan materi, muncul dua kemungkinan.
Kemungkinan pertama adalah adaptasi modernitas ke dalam Islam untuk kepentingan dakwah dan politik. Namun kemungkinan lain darinya adalah kapitalisasi simbol-simbol Islam ke dalam budaya populer. Di hadapan negara, kelas menengah muslim ini mengalami fragmentasi berdasarkan pilihan politik. Sumber daya yang dimilikinya belum menjadikan mereka memiliki gagasan konstruktif. Gagasan konstruktif ini amat perlu dihasilkan agar mereka tidak melulu bersifat konsumtif.
Menanggapi klasifikasi Wasisto, Direktur Eksekutif INSISTS Dr. Syamsuddin Arif mengajak semua yang hadir untuk menggunakan stratifikasi sosial ala Islam. “Kalau menggunakan istilah ‘kelas menengah’, kita akan merujuk pada angka-angka ekonometrik atau mengacu pada konsep pembangunan yang materialistik berdasarkan ukuran-ukuran per kepala (GDP). Dalam Islam, tingkatan masyarakat berdasarkan ibadah, ilmu, dan amalnya,” terang Dr. Syams. Menurut Imam Al-Ghazali, masyarakat memiliki tiga tingkatan, yakni awwam, khawwas, dan khawwasul khawwas. “Kaum awwam adalah kaum yang tidak tahu halal dan haram. Semuanya mereka nikmati, tanpa tahu ilmunya,” terang Dr. Syams. Seorang muslim yang kaya raya tetapi tidak memahami agama, dalam stratifikasi ini, adalah masyarakat awam. “Kaum khawwas menyadari halal-haram, dan hanya menikmati yang halal, sedangkan kaum khawwasul khawwas sudah lebih dari itu, yakni zuhud,” tambah Dr. Syams, sambil menjelaskan bahwa semua itu terjadi disebabkan ilmu yang benar.
Kajian empiris seperti yang dilakukan Wasisto memetakan masyarakat secara simplifistik. Hasil kajian ini tidak menggambarkan keadaan masyarakat secara utuh, tetapi tetap dapat menjadi rujukan informasi bagi refleksi masyarakat muslim. Materi Wasisto dalam ISF ini diambil dari buku terbarunya yang berjudul sama.