Home Artikel Jebakan Roman

Jebakan Roman

897
0
Dalam Novel yang saya tulis: ”Kemi: Cinta Kebebasan yang Tersesat”, ada sosok penting yang menjadi salah satu pemegang kendali cerita, yaitu Roman. Manusia satu ini menyamar sebagai mahasiswa di sebuah Institut Studi Lintas Agama, tempat Kemi – santri liberal yang mengkhianati petuah gurunya. Roman, seorang residivis, pemimpin satu kelompok penjahat kerah putih yang berulangkali berhasil membobol mesin ATM sejumlah bank.
 
Selain tampan, gagah dan perlente, Roman juga berotak encer. Ia berngalaman dalam dunia bisnis dan politik internasional. Ia tahu ada dana yang luar biasa besar untuk proyek-proyek liberalisasi di dunia Muslim. Dana itu hanya bisa dicairkan dengan merekrut santri-santri dan intelektual Muslim yang cerdas, yang digunakan sebagai ujung tombak proyek-proyek liberalisasi. Di sinilah otak bisnis Roman berjalan. Ia membangun jaringan yang luas di kalangan yayasan-yayasan asing, pemerintah, dan LSM-LSM lokal.
 
Sejumlah alumni pesantren direkrutnya. Mereka diberi tugas membuat proposal, memberikan pelatihan, dan membuat laporan kepada LSM-LSM yang dikendalikan Roman. Kemi adalah salah satu santri yang menjadi korban skenario Roman. Ia terjebak dalam aktivitas liberalisasi dengan mendapatkan imbalan beasiswa kuliah gratis dan biaya hidup bulanan. Pikiran Kemi sudah terlanjur liberal. Ia terjerat oleh pikirannya sendiri. Ia terjerat oleh jerat-jerat liberal yang dipasang Roman.
 
Berikut ini petikan dialog dan cerita tentang Roman dan Kemi, saat Kemi dianggap gagal merekrut Rahmat, santri cerdas yang dikirim Kyai-nya untuk menyadarkan Kemi dan membongkar jaringan liberalisme. Saat itu, di sebuah tempat, Kemi diadili oleh Roman dan tiga anggota sindikatnya. Roman membentak Kemi:  
 
”Kemi, sekarang masalahnya sudah jelas. Kamu harus tanggung jawab. Kyai Dulpikir, salah satu andalan kita tewas gara-gara Rahmat. Ini harus ada perhitungan. Rahmat sudah membahayakan posisi kita..
 
”Ya Kemi, cara kamu menjebak Rahmat sudah terbukti gagal. Kamu terlalu lembek sama dia,” kata seorang lagi, sambil berdiri berkacak pinggang.
 
Kemi belum mengenal tiga orang yang malam itu di bawa Roman. Undangan rapat dari Roman diterimanya mendadak. Dia pikir, itu rapat kelompok diskusi seperti biasa. Ternyata, teman-teman sekelompok, hanya dia  yang datang. Roman justru membawa tiga orang lain yang penampilannya jauh dari citra sosok intelektual.
 
”Beri saya sedikit waktu lagi. Prosesnya kan sedang berjalan. Ini belum final,” tutur Kemi, agak memelas.
 
”Sekarang masalahnya sudah terlalu jauh. Semua menjadi kocar-kacir. Proyek-proyek kita terganggu, gara-gara kasus ini. Citra kelompok kita tercoreng, gara-gara Ustad kampungan teman kamu itu. Tidak ada pilihan lain, Rahmat harus kita bereskan!” kata Roman.
 
”Apa kamu bilang?” teriak Kemi tidak percaya. Dibereskan bagaimana?”
 
”Kamu diam saja Kemi! Kamu sudah gagal. Kamu nggak perlu tahu. Ini urusan kami. Tugas kamu buat proposal, memberikan pelatihan, dan buat laporan!”
 
”Tapi, saya minta jangan sampai ada apa-apa dengan Rahmat. Bagaimana pun dia teman saya!” Kemi menatap Roman.
 
”Kamu sudah gagal. Sekarang, Rahmat menjadi urusan kami. Kamu tidak usah turut campur lagi!  Kefir, ambil HP Kemi, kasih HP lain!” perintah Roman pada salah satu yang dia panggil Kefir….
         
Kemi merasa tak berkutik. Ia ingin berontak. Tapi, lidahnya kelu. Tiga orang lain yang dihadapinya juga wajah-wajah baru yang berbadan kekar. Tampang mereka ”sangar”.  Seorang menampakkan tatto  babi di lengan kirinya. Seorang lagi menampilkan tatto ular di lehernya.
 
”Roman, kita kan mahasiswa, bagaimana bisa seperti ini? Yang kita lakukan selama ini kan gerakan intelektual?” Kemi masih mencoba melobi Roman.
 
”Aku memang mahasiswa, tapi beda sama kamu.  Apa kamu tidak sadar dari mana uang yang kamu terima selama ini, setiap bulan? Memang itu gratisan,  Kemi?  Memang itu uang dari Mbah kamu? Di sini, tidak ada duit gratisan Kemi!… ”Kemi, biar kamu sekarang tahu! Kami ini orang-orang profesional. Kami tidak begitu saja percaya kepada orang-orang model kalian!” ujar Roman.
 
Kemi makin kebingungan dengan sikap dan ucapan Roman. Sepengetahuannya, aktivitas kuliah dan kegiatan-kegiatan pelatihan yang dilakukannya didanai oleh sejumlah Yayasan semacam She-cooler Foundation.  Setahu dia, kegiatan yang dia jalankan juga biasa-biasa saja. Tidak ada paksaan pada peserta untuk mengikuti jalan pikiran. Bahkan, seringkali suasana juga sangat kondusif, karena secara rasional paham-paham yang diseberkannya juga bersifat rasional.
 
Roman duduk tenang-tenang saja menyaksikan Kemi dalam kebingungan dan ketakutan.
 
”Kami sebenarnya kasihan dengan orang-orang seperti kalian, santri-santri kampung.  Tapi, kami berterimakasih juga sama kalian, sudah membantu kami. Tanpa peran kalian, kami tidak dapat mencairkan dana-dana asing itu,”  kata Roman.
 
”Apa maksud kamu, Roman?” Kemi makin kebingungan.
 
”Itulah Kemi, kamu ini pinter tapi juga bodho.  Kami ini orang-orang profesional!” sahut Roman lagi.
 
”Okelah, Roman, tolong jelaskan dulu semuanya. Biar semuanya jelas. Kalau dari awal saya tahu semua akan seperti ini, saya pasti tidak mahu bergabung dengan kalian!”
 
”Ha-ha-ha… enak saja kamu. Tidak segampang itu Kemi… Masuk, keluar, lalu masuk lagi … Memang kelompok ini suatu super market, bisa keluar masuk seenaknya!”
 
Kemi mulai menangkap gelagat yang tidak baik. Ia memutar otak untuk bisa lolos dari kelompok ini. Ia tidak tahu persis siapa saja yang ada di rumah ini. Setahu dia, hanya Roman dan beberapa pembantu rumah serta penjaga kebon yang tinggal di situ. Selama ini dia tidak berpikir apa-apa tentang Roman, karena ia pun berstatus mahasiswa seperti dirinya. Memang ada yang agak aneh pada Roman. Meskipun mahasiswa, ia jarang sekali aktif di ruang kuliah dan mengikuti ujian. Yang pasti, penampilannya sangat mewah. Kepalanya botak, badannya kekar, dandanannya perlente. Jam, cincin, kalung emas, nyaris tak pernah lepas dari tubuhnya. Kemi tidak curiga, karena kampus Damai-Sejahtera juga banyak menerima mahasiswa dari berbagai latar belakang ekonomi, agama, dan status sosial. 
 
”Baiklah, Kemi, daripada kamu penasaran, saya ceritakan saja apa sebenarnya!  Ini sebagai ucapan terimakasih saya, karena bagaimana pun, kamu dan Siti sudah banyak jasanya bagi kami. Tanpa orang-orang seperti kalian, kami tidak banyak mendapat uang yang melimpah.”
 
Kemi belum paham benar maksud Roman. ”Apa maksud kamu selalu menyebut, ”orang-orang seperti kalian?”
 
”Ya, orang-orang seperti kamu, Siti, Farsan, Rahmat… santri-santri cerdas.”
 
”Untuk apa?”
 
”Ya untuk mencairkan dana-dana asing itu! Kamu ini ngerti atau pura-pura?”
 
Kemi benar-benar tidak paham masalah ini.
 
”Baik, dengarkan baik-baik… supaya kamu tidak penasaran! Kamu pasti tahu, sejak Perang Dingin berakhir, negara-negara Barat sudah mengubah politiknya. Mereka tidak lagi mengarahkan politiknya ke komunis. Tapi, berganti mengarah ke Islam. Di situ banyak dana yang tersedia untuk proyek-proyek menjinakkan Islam; sebagaimana dulu mereka lakukan pada komunis.”
 
”Hubungannya dengan saya?”
 
”Untuk proyek-proyek ”penjinakan Islam”, agar orang Islam tidak anti-Barat, maka mereka memerlukan santri-santri cerdas, intelektual-intelektual bidang studi Islam, tokoh-tokoh Islam, agar proyek-proyek itu mudah diterima oleh umat Islam. Tidak mungkin  orang-orang bule itu sendiri yang turun ke masyarakat atau orang seperti saya datang ke pondok-pondok pesantren.”
 
”Jadi, dana-dana itu ada motif politiknya?”
 
”Ya iyalah Kemi…. kamu ini seperti tolol saja! Uang-uang itu mereka kumpulkan dari pajak rakyat mereka, dan harus mereka pertanggung jawabkan. Ini proyek besar. Di sana, banyak juga makelar-makelar proyek. Saya sudah menyelami peluang bisnis ini puluhan tahun…di berbagai negara. Ha-ha-ha, Kemi, ini bisnis besar.”
 
”Apa kamu bilang, ini bisnis? Bukankah yang kita perjuangkan selama ini adalah ide-ide yang mulia,yang sangat dibutuhkan untuk kemajuan dan perdamaian umat manusia. Apa benar yang kamu katakan ini? Kalau begitu proyek-proyek HAM, kesetaraan gender, pluralisme, multikulturalisme, semua itu ditujukan untuk bisnis?”
 
”Ada juga yang tulus memperjuangkan itu semua. Ada yang yakin, itu semua akan membawa perdamaian. Tapi, lihat saja faktanya. Apa AS dan sekutunya benar-benar tulus menginginkan perdamaian. Lihat proyek mereka di Iraq dan Afghanistan. Mereka mau damai atau mau minyak dan kekayaan alam?   Tapi, itu terserah mereka. Itu urusan mereka. Bagi saya, semua ini  peluang bisnis. Ini dagang saja! Saya ini pedagang,… ha-ha-ha…”  Roman terbahak-bahak. Ia puas menyaksikan Kemi terus terbengong-bengong menyadari posisinya. Ia puas bisa memperdayai manusia-manusia seperti Kemi. Sambil terbahak-bahak, Roman menambah beban kebingungan untuk Kemi:
 
”Kemi, saya kasih tahu kelemahan kalian. Selain masalah uang, ternyata manusia-manusia seperti kalian mudah terpedaya oleh pujian! Mudah terlena oleh popularitas. Kalian orang kampung!  Orang-orang sejenis kalian mudah takluk dengan pujian. Jika sudah bisa masuk televisi, dimuat di media massa, disanjung-sanjung sebagai cendekiawan yang toleran, inklusif, pluralis, dan sebagainya, kalian sudah termehek-mehek… ha-ha-ha…Kalian mau saja dikerjain, disuruh-suruh mengerjakan proyek-proyek mereka…”
 
”Kamu berarti yang mengatur semua ini! Kamu yang selama ini ngerjain kami?”
 
”Lho-lho-lho, jangan marah dulu Kemi. Jangan salahkan saya. Kalau saya jelas, saya pedagang. Saya jualan proposal. Saya tahu peluang bisnis! Saya taruh orang di mana-mana, ada di yayasan-yayasan mereka, ada di tempat kalian….ada di pemerintahan.”
 
”Jadi, Farsan itu orang kalian?”
 
”Dia juga pedagang… ha-ha-ha… Tapi ia bekerja sendiri…Dia juga licin, seperti belut.”
 
Kemi mulai paham. Ia terjebak. Ia terjebak utang. Farsan datang menolong. Ia diiming-imingi kuliah gratis; katanya, biar wawasannya bertambah, tidak lagi berwawasan sempit, tetapi sudah menjadi bagian dari masyarakat global. Kekecewaannya pada Neng Cahaya Imani, karena cintanya tak terbalaskan, mengubah semua rencana awalnya menjadi ustad di pesantren. Soal uang, Kemi tidak serakah. Ia memang ikut menikmati. Ia telah larut dengan aktivitasnya karena berbagai pujian dan popularitas. Kemi mulai sadar akan posisinya. Ia dimanfaatkan oleh Roman untuk menarik dana-dana asing itu. Ternyata, Romanlah yang lebih banyak menikmati kucuran dananya. Ia diperalat…. diperalat untuk mengubah pemikiran para ustad, santri, dan mahasiswa, agar mereka meninggalkan ajaran-ajaran Islam dan ajaran klasik di pesantren untuk kemudian memeluk paham-paham baru yang tidak pernah dikenal dalam tradisi Islam dan tradisi pesantren.
 
Kadangkala, tanda tanya memang sempat melintas di benak Kemi, untuk apa negara-negara Barat begitu bersemangat menyebarkan paham-paham sejenis pluralisme agama dan kesetaraan gender ke pesantren-pesantren? Apakah mereka juga berniat untuk amal jariyah? Apakah semua itu bukan bagian dari kebijakan global untuk mengokohkan hegemoni negara-negara Barat atas dunia ketiga?  Banyak tanda tanya sempat muncul di benaknya. Tetapi, Kemi tidak berdaya, hanya untuk sekedar berpikir. Sebab, lidahnya sudah tersandera! Ia sudah terlanjur menjadi juru bicara! Ia sudah terlanjur populer. Ia sudah tertawan oleh mulutnya sendiri.
 
Kemi tertunduk lesu memikirkan semua yang telah dikerjakannya. Tidak mudah lagi mengubah jalan pemikirannya. Sebab, dalam banyak hal, ia sudah meyakini kebenaran ajaran-ajaran pluralisme, kesetaraan gender, di atas ajaran-ajaran Islam yang dia pelajari bertahun-tahun di pesantren. Bahkan, banyak kegiatan yang dilakukan Kemi bukan lagi karena uang, tetapi karena kesadaran dan kerelaannya sendiri. Pemikiran-pemikiran itu sebagian sudah diyakininya. Kemi tidak merasa salah dengan apa yang dilakukannya. Tapi, ia sama sekali tidak sadar, ada bisnis besar di balik semua keterlibatannya. Ia pernah mengatakan pada Rahmat, bahwa ia ikhlas menjadi liberal.
 

Ujung cerita di novel ini, Kemi akhirnya dihajar habis-habisan oleh anak buah Roman. Ia mengalami gegar otak. Nasibnya berujung ke sebuah rumah sakit jiwa di kawasan Bogor. Tentu, sebaiknya, bacalah novel Kemi, agar mendapatkan gambaran yang utuh tentang masalah manusia-manusia sejenis Kemi, yang mungkin ada di bumi Indonesia.

Leave a Reply