Home Berita Islam dalam Rentang Kebudayaan Minangkabau –Catatan INSISTS Saturday Forum (INSAF) 09/02/2019

Islam dalam Rentang Kebudayaan Minangkabau –Catatan INSISTS Saturday Forum (INSAF) 09/02/2019

1134
0

Dakwah Islam di Nusantara sudah terjadi sejak berabad-abad silam, dan membentuk kebudayaan masyarakat dengan baik hingga sekarang, meski terus terjadi suatu proses menuju kondisi lebih baik. Salah satu contoh terkuat proses tersebut terdapat pada Alam Minangkabau, seperti dijelaskan kandidat doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia, Akmal Sjafril, M.Pd.I, dalam INSISTS Saturday Forum (INSAF) pekan lalu (9/2). Dalam analisisnya, ia membagi proses islamisasi di Alam Minangkabau dalam empat babak. Setiap babak tersebut memiliki kontribusi yang penting bagi terwujudnya Alam Minangkabau sebagaimana yang kita saksikan pada masa kini.

Meski demikian, masuknya Islam ke Alam Minangkabau dengan sengaja tidak dimasukkan ke dalam empat babak di atas. Selain karena sulit untuk menentukan waktu pastinya, juga nyaris mustahil untuk memastikan siapa yang membawa Islam untuk pertama kalinya ke wilayah itu. Pergaulan internasional sudah merupakan kelaziman sejak dahulu, dan para pedagang dari berbagai wilayah, dari India sampai Malaka, telah memasuki wilayah Minangkabau sejak dahulu.

Babak pertama memberikan kontribusi signifikan dengan memanfaatkan surau, yang sudah ada sejak jaman pra-Islam, sebagai pusat-pusat pendidikan Islam. Islamisasi berkembang sangat masif karena surau adalah tempat berkumpulnya para pemuda dan tempat bermalamnya anak laki-laki. Dengan demikian, dapat dipastikan tak seorang pun pemuda Minangkabau yang tidak mengenal Islam.

Pada tahap berikutnya, Kaum Paderi berperan meneguhkan komitmen masyarakat Minangkabau terhadap Islam, yaitu dengan membasmi kemaksiatan. Meski perang saudara yang dihasilkan membawa akibat yang sangat dahsyat, diakhiri dengan kekalahan Kaum Paderi yang malah meneguhkan kekuasaan Belanda, namun perjuangan mereka telah menginspirasi masyarakat Minangkabau untuk kembali memurnikan kehidupan mereka agar sejalan dengan ajaran Islam. Meski demikian, Kaum Paderi belum menyentuh persoalan-persoalan adat.

Kaum Mudo berperan besar dalam membawa gagasan-gagasan baru yang dibawanya dari luar Alam Minangkabau. Meski di antara gagasan-gagasan baru itu juga ada yang tidak sejalan dengan Islam, misalnya Ahmadiyah dan komunisme, namun proses itu sangat penting artinya bagi kemajuan masyarakat. Setelah banyak berkenalan dengan dunia luar, para pemuda tampil mengkritisi adat Minangkabau yang belum sejalan dengan Islam, praktik keagamaan yang belum tepat, dan juga memperbaharui sistem pendidikan. Hasilnya, Alam Minangkabau menjadi lahan subur pergerakan, dan di masa Revolusi Fisik, Sumatera Barat berhasil memberikan kontribusi yang sangat signifikan.

Babak terakhir adalah kelanjutan dari babak-babak sebelumnya. Setelah Revolusi Fisik berhasil dimenangkan, masyarakat Minangkabau dengan sukarela menimbang kembali persoalan-persoalan adatnya. Dalam suasana kemerdekaan, mereka memutuskan untuk melakukan penyesuaian terhadap adat sesuai dengan tuntunan adat itu sendiri. Yang signifikan dari babak ini adalah semangatnya, sebab penyesuaian adat dengan ajaran agama itu terjadi secara alamiah, tanpa didahului oleh konflik. Dengan demikian, komitmen yang telah dinyatakan di awal telah menemukan kemantapannya pada babak ini.

Dapatlah kita memahami mengapa masyarakat Minang begitu keras pembelaannya terhadap Islam. Sebab, Minang itu Islam; jika tak berkomitmen pada Islam, maka bukanlah orang Minang. Kita pun dapat memahami mengapa wacana ‘Islam Nusantara’, yang kononnya merupakan konsep yang mendudukkan agama sesuai dengan adat, ditolak dengan tegas di Minangkabau. Persoalannya, bagi orang Minang, tidaklah lazim untuk menjadikan adat sebagai sesuatu yang sakral dan tak boleh berubah, bahkan justru adat itulah yang wajib disesuaikan dengan agama, dan bukan sebaliknya.

Selain itu, ‘Islam Nusantara’ nampaknya juga telah melukai masyarakat Minangkabau karena mengabaikan satu hal yang teramat penting bagi adatnya, yaitu musyawarah. Meskipun mengandung kata “Nusantara” di dalamnya, namun wacana ‘Islam Nusantara’ itu sendiri tak pernah diperbincangkan terlebih dahulu kepada para ulama Minangkabau, apatah lagi kepada ulama seluruh Nusantara. Karena itu, adat Minangkabau tak mungkin menerimanya.

Sejak dahulu, Alam Minangkabau telah menerima kenyataan bahwa agama ditempatkan di atas adat, dan adat hendaknya menyesuaikan diri dengan agama. Betapa pun orang Minang mencintai adatnya, semestinya ia lebih mencintai agamanya (Islam).

Leave a Reply