Home Sosok Ir. Achmad Noe’man: Sang Arsitek Pejuang

Ir. Achmad Noe’man: Sang Arsitek Pejuang

1961
0

Siapa tak kenal masjid Salman ITB? Masjid tidak berkubah dan tidak bertiang di dalamnya itu adalah masjid kampus pertama yang dibangun di Indonesia. Bisa dikatakan, para aktivis dakwah kampus di Indonesia tentu mengenal sosok ini.  Ia berkiprah dalam dunia dakwah – utamanya – melalui bidang arsitektur. Orang mudah mengenal karya unik Ir. Ahmad Noe’man dalam arsitektur masjid.

Achmad Noe’man lahir di Garut, 10 Oktober 1926. Kepada ISLAMIA-REPUBLIKA,  ia menuturkan, minatnya terhadap arsitektur terilhami oleh ayahnya yang selalu menggambar sendiri masjid dan madrasah yang akan dibangun. Ayahnya, H. Muhammad Djamhari adalah salah seorang pendiri Muhammadiyah di Garut. Setiap kali Muhammadiyah akan membangun masjid, madrasah dan kantor, ayahnya selalu menggambarnya sendiri. Noe’man,  waktu itu,  selalu ikut mencermatinya. “Usia saya waktu itu sekitar delapan tahunan,” demikian Noe’man menuturkan.

Selepas belajar di HIS (Hollandsch Inlandsche School/setingkat SD) dan MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderweijs/setingkat SMP) Garut, lalu SMA Muhammadiyah, Yogyakarta, Noe’man menyalurkan minatnya dengan kuliah di Fakultas Teknik Universitas Indonesia (sekarang Institut Teknologi Bandung/ITB). Tapi, saat itu, 1948, di FTUI Bandung belum dibuka jurusan arsitektur. No’eman kemudian masuk jurusan Teknik Sipil/Bangunan. Saat TNI meminta mahasiswa FTUI bergabung di militer, pada 1949, sehubungan dengan keperluan TNI terhadap tentara yang bisa berbahasa Belanda, No’eman pun kemudian bergabung di CPM (Corps Polisi Militer). Akan tetapi itu tidak lama. Tepat pada 1952,  saat FTUI membuka jurusan arsitektur, segera saja Noe’man mengundurkan diri dari kemiliteran dan masuk pada jurusan arsitektur.
Semasa kuliah, dari sejak 1948, bersama kakaknya Ahmad Sadali—seorang kaligrafer, mantan Dekan Fakultas Teknik ITB, wafat 1987— yang juga kuliah di tempat yang sama, Noe’man sering mendiskusikan pentingnya ada masjid di lingkungan kampus. Noe’man dan kakaknya waktu itu betul-betul merasa kesulitan menjalankan shalat wajib, khususnya shalat Jum’at di lingkungan kampus. “Maklum, waktu itu di ITB masih banyak orang Belanda. Rektornya saja masih orang Belanda. Kalaupun ada orang Indonesia yang muslim, pada umumnya mereka sekuler,” demikian Noe’man menuturkan.
Selepas kuliah, 1958, rencana itu kemudian dicoba diwujudkan dengan membuat sebuah panitia. Prof. T.M. Soelaiman menjadi ketuanya. Walau belum jelas dimana masjid akan dibangun — karena belum dapat izin dan belum jelas juga sumber dananya —  Noe’man kemudian ditunjuk sebagai arsiteknya. Setelah selesai, panitia mengajukan ke pihak rektorat ITB. Usulan itu ditolak.
Salah satu murid Noe’man, Ajat Sudrajat mengajak Panitia menemui Presiden Soekarno lewat pamannya yang menjadi komandan di Cakrabirawa, Kolonel Sobur. Empat anggota panitia — Prof. T.M. Soelaiman, Ahmad Sadali, Ahmad Noe’man, dan Ajat Sudrajat — ke Jakarta  menemui Presiden Soekarno di Istana Negara.
Setelah berdiskusi alot, Soekarno kemudian menyetujui rencana pembangunan masjid tersebut.  Soekarno juga yang memberi nama “Salman” karena terilhami oleh seorang arsitek perang yang ulung di zaman Nabi Muhammad saw. Bahkan, Soekarno yang juga alumnus ITB,  bersedia menjadi pelindung masjid Salman.  Sebagai bukti dukungannya, Presiden  membubuhkan tanda tangannya pada gambar masjid yang dibuat Noe’man. “Setelah ditandatangani Seokarno, maka segera saja Rektor menyetujuinya. Demikian juga dengan Walikota Bandung. Dari sana dimulailah pembangunan Masjid Salman,” tutur Noe’man.
Dalam pertemuan itu,  Presiden Soekarno bertanya, mengapa Masjid  Salman tidak berkubah. Waktu itu Noe’man menjawab dengan logika Soekarno, bahwa dalam Islam yang penting adalah ”api” nya.  Asalkan itu masjid maka sah-sah saja walaupun tidak berkubah. Noe’man juga menuturkan bahwa salah satu prinsip yang dipegangnya adalah ijtihad, yakni melakukan terobosan berdasarkan ilmu, tanpa imitasi dan meniru-niru. “Kalaupun salah, ijtihad itu kan tetap dapat pahala satu,” tutur Noe’man menjelaskan.  Ijtihad Noe’man itu disetujui juga oleh Soekarno dan seluruh panitia, sehingga jadilah Masjid Salman, satu  masjid yang berdiri megah tanpa kubah di atasnya.
Prinsip lain yang dipegang oleh salah seorang pendiri IAI (Ikatan Arsitektur Indonesia) ini adalah shaf (barisan) shalat itu harus bersambung, tidak boleh terpotong. “Maka dari itu, setiap bangunan masjid yang saya rancang tidak ada tiang di dalamnya yang dapat memotong shaf. Contohnya di Masjid Salman. Atau yang terbaru di Islamic Center Jakarta, Kramat Tunggak. Walaupun lebarnya sampai 50 m, saya merancangnya tanpa tiang di tengahnya,” tutur Noe’man lagi. Walaupun begitu, Noe’man tidak menampik alasan pembuatan tiang di dalam masjid dibenarkan dengan alasan darurat. Hanya menurutnya, harus dicari ilmunya bagaimana agar tuntunan al-Qur`an dan Sunnah itu bisa diaplikasikan.
Dalam menjalani profesinya, Noe’man selalu ingat firman Allah SWT yang tertuang dalam QS. Al-Baqarah [2] : 170: Dan apabila dikatakan kepada mereka: “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,” mereka menjawab: “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. “(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” Menurutnya, ayat ini harus dijadikan pegangan oleh setiap arsitek Muslim untuk tidak melakukan imitasi, melainkan harus siap aktif ber-ijtihad. Selain itu, harus selalu mendahulukan aturan dari Allah SWT, dibanding dengan tradisi yang sudah ada.
Menurut Noe’man, salah satu aturan Allah SWT yang juga harus selalu diperhatikan adalah soal larangan bertindak boros.  Dalam QS. Al-Isra` [17] : 27 disebutkan: Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. Artinya, jangan sampai terjadi pemborosan dalam membangun masjid. Dalam hal ini ia secara terus terang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap masjid yang terlalu mewah.  “Akan lebih bermanfaat jika uang untuk itu disalurkan untuk keperluan yang lain,” tuturnya.
Di usianya yang ke-84 kini, Pak Noe’man – begitu dia biasa disapa —  masih tampak sehat. Ia secara rutin menjalankan olah raga jalan kaki. Saat ditanya,  sudah berapa banyak masjid yang diarsitekinya, ia mengaku tidak pernah menghitungnya. Ia ingat masjid-masjid yang besar saja, seperti Masjid Salman ITB, Masjid Amir Hamzah di Taman Ismail Marzuki, Masjid at-Tin Jakarta, Masjid Islamic Center Jakarta, Masjid Soeharto di Bosnia dan Masjid Syekh Yusuf di Cape Town, Afrika Selatan.
Noe’man bukanlah arsitek biasa. Dia sosok seorang pejuang Muslim yang tetap konsisten dalam berdakwah. Keahliannya dalam arsitektur tidak digunakan untuk mengeruk dan menumpuk-numpuk harta benda. Seorang mantan menteri yang mengenal Noe’man bercerita tentang keikhlasan sang arsitek. Kisahnya, Noe’man diminta merenovasi arsitek sebagian Istana Negara dengan meletakkan sejumlah ornamen kaligrafi.  ”Orang itu luar biasa, setelah selesai pekerjaannya, dia tidak mau dibayar sepeser pun,” kata mantan pejabat itu memuji sikap Pak Noe’man.
Achmad Noe’man juga memegang prinsip aqidah Islam dalam membangun masjid. Ketika ada sebuah masjid yang memaksakan dibangun dengan menanam kepala kerbau, Noe’man kemudian memilih mundur, meskipun masjid itu dibangun oleh petinggi negara. Ada satu masjid terkenal di Jakarta, yang Noe’man harus mendatangi sejumlah pejabat dan tokoh Islam untuk meminta pendapat mereka tentang penanaman kepala kerbau. ”Alhamdulillah, akhirnya rencana penanaman kepala kerbau itu dibatalkan,” papar Noe’man.
Menurut salah seorang putranya, Nazar Noe’man, kepada anak-anaknya, Pak Noe’man selalu berpesan agar mereka menempatkan Nabi Muhammad saw sebagai sosok tauladan utama. ”Kalau menokohkan orang lain, nanti bisa kecewa,” kata Nazar.  (***)

Leave a Reply