Haji Abdul Malik Karim Amrullah (1908-1981) atau HAMKA telah meninggalkan kita puluhan tahun lalu. Beliau wafat pada usia 73 dalam hitungan masehi. Namun seakan kini, dengan riwayat hidup dan karya tulisnya yang melimpah, HAMKA sedang mengingatkan kita pada pepatah lama: harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama. Usia yang habis untuk kepentingan umat dan bangsa di bidang politik, kebudayaan, dan keilmuan, membuat nama HAMKA nyaris tanpa cemar. Bagi HAMKA, semua itu adalah amal jariyah yang akan membelanya di hari akhir. Bagi umat, semua itu adalah warisan berharga untuk bekal menjalani masa depan, apalagi tatkala pelbagai persoalan umat datang di kurun yang nyaris bersamaan.
Untuk merawat kesadaran umat akan pentingnya warisan tersebut, INSISTS menggelar seminar bertajuk Warisan Intelektual dan Keulamaan Buya HAMKA, Sabtu (10/6) pekan lalu. di Aula INSISTS. Ada 4 pembicara yang membahas tema sesuai bidang kepakarannya. Pembicara pertama, salah satu putera Buya HAMKA, K.H. Afif Hamka membahas sosok ayahnya dalam kenangan pribadi yang memberi dampak bagi umat Islam. Sepanjang hidupnya, HAMKA memang menjadi sosok ayah bukan cuma bagi anak-anak kandungnya, tetapi juga bagi segenap umat Islam, khususnya di Indonesia. Umat senantiasa dinaungi, dibimbing, dan dibela.
“Saat Ayah (Buya HAMKA-red) menerima jabatan sebagai Ketua MUI, teman-temannya mengingatkan untuk meninggalkannya, karena khawatir akan dikendalikan oleh Orde Baru,” kata Kyai Afif. Beliau kemudian melanjutkan bahwa keputusan itu membuat Buya mampu berdakwah ke kalangan istana dan Keluarga Cendana. Seperti ungkapan Buya, menjadi ketua MUI laksana kue bika, yang dibakar dari atas dan bawah. Beliau mendapat rongrongan dari penguasa agar tunduk terhadap kepentingan mereka, juga mendengarkan keluh-kesah umat Islam yang menghendaki pembelaan.
Pembicara kedua, ketua Program Studi Pascasarjana Pendidikan Islam Universitas Ibnu Khaldun, Dr. Adian Husaini menjabarkan keulamaan HAMKA, terutama di saat masa-masa genting ketika Majelis Ulama Indonesia yang dipimpinnya harus berhadapan dengan rezim Orde Baru soal beberapa kebijakan. Ustadz Adian, yang pernah menjabat di bagian kerukunan umat beragama MUI Pusat, juga menjernihkan pandangan HAMKA tentang agama lain. Beberapa pihak memang pernah memelintir pemikiran HAMKA untuk membenarkan paham pluralisme agama. “Saya mendengar bagaimana mereka berkata bahwa HAMKA merestui Ahli Kitab yang tidak beriman kepada Rasulullah, dan berkata bahwa mereka akan masuk surga. Setelah saya coba menelusurinya, tidak ada satu pun perkataan HAMKA tentang itu di tafsir Al-Azhar maupun di buku-buku lain,” kata Ustadz Adian. Melalui sosok HAMKA, kita dapat memetik hikmah keulamaan yang mampu menakar keadaan dan berbuat adil. Pemikiran dan sikap HAMKA dalam urusan kebangsaan ini dapat dirujuk oleh umat Islam yang tengah menghadapi persoalan kebangsaan saat ini.
Di bidang tasawuf, HAMKA juga cemerlang. Kedalaman pemahamannya di bidang tasawuf dan filsafat Islam sama baiknya dengan kekayaan wawasan di bidang ilmu jiwa Barat. Pemikiran tasawuf HAMKA dengan lincah merujuk pada dua khazanah itu, sambil tetap menaruh perhatian utama pada keadaan batin masyarakat modern. Direktur Eskekutif INSISTS, Dr. Syamsuddin Arif menjadi pembicara pertama di sesi kedua. Ustadz Syams memetakan pemikiran tasawuf HAMKA dalam bentangan keilmuan tasawuf Islam, dan membahasakan pemikiran itu untuk kebutuhan kita sekarang.
Kebesaran sosok HAMKA mendapat pengakuan dari misionaris yang juga peneliti kebudayaan Asia Tenggara, Gerard Moussay. “Dengan wafatnya Buya Hamka di tahun itu, Indonesia telah kehilangan ulama besar. Beliau juga seorang penulis yang luar biasa. Lebih dari itu semua, pengaruh Hamka sangat kuat terhadap masyarakat yg hidup bersama beliau. Beliau seorang yang setia, memiliki hati, teguh dengan keimanannya,” tulis Moussay dalam Bahasa Prancis sebagaimana dibacakan dan diterjemahkan oleh Ustadz Syams. Pemikiran tasawuf HAMKA mengutamakan kesesuaian dengan Al-Qur’an dan Assunnah, dan mengutamakan pengamalan di kehidupan. Karena itu, pemikirannya dapat disebut tasawuf amali. HAMKA menghindari dan bahkan mengecam beberapa kalangan sufi yang menyelisihi syari’at dan menghindari urusan dunia.
Bidang lain yang dibahas di seminar ini adalah karya tafsir dan tasawuf HAMKA. Masjid Agung Al-Azhar di Sisingamangaraja, yang kini setiap hari dilalui oleh puluhan ribu orang bergegas menuju pusat-pusat kesibukan di Jakarta, pernah menjadi tempat HAMKA menyampaikan tafsirnya terhadap ayat-ayat suci Al-Qur’an. Tafsir tersebut kemudian dibukukan dan diberi nama Tafsir Al-Azhar, yang rampung justru ketika HAMKA mendekap di penjara rezim Orde Lama. Intelektual muda yang mendalami ilmu tafsir di Universitas Al-Azhar Kairo, Fahmi Salim, M.A., menjadi pembicara terakhir dalam seminar ini untuk membahas kitab tafsir tersebut. Ustadz Fahmi kini berkhidmat di Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, lembaga besar yang juga menjadi tempat berkhidmat Buya HAMKA sejak di Tanah Minang.
Sekurang-kurangnya terdapat tiga motivasi penulisan tafsir tersebut. “Buya HAMKA menghendaki bangkitnya generasi muslim di kepulauan Melayu, menyiapkan kader-kader da’i yg profesional, dan memberi kontribusi bagi Universitas Al-Azhar di Mesir,” terang Ustadz Fahmi yang merujuk pada sebuah disertasi tafsir di Universitas Al-Azhar tentang kitab tersebut.
Dalam kahazanah tafsir, kitab HAMKA ini termasuk ke dalam golongan tafsir modern. Istilah tafsir modern muncul semenjak penerbitan Tafsir Al-Manar karya Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, yang menghubungkan dimensi aql (akal) dan naql (teks). Tafsir semacam ini dapat menjawab tuduhan miring kaum orientalis. Ketika para mufasir modern mendialogkan teks dan realitas, mereka menggunakan worldview yang benar, bukan menjadikan teks sebagai sekedar justifikasi yang harus mengikuti realitas. “Karena itu, tidak ada hermeneutika di dalam kitab-kitab tafsir Al-Qur’an,” tegas Ustadz Fahmi. Seorang mufasir yang piawai akan mempertahankan postulat-postulat Al-Qur’an di hadapan serangan pemikiran asing. Terkait metodologi penafsirannya, tafsir Al-Azhar mengambil sumber secara berturut-turut dari Al-Qur’an, Assunnah, aqwal (perkataan) para sahabat Nabi, aqwal tabi’in, kitab-kitab tafsir muktabar. “Kitab tafsir ini memiliki kualitas adabi ijtima’i (sastra sosial),” terangnya.
Seminar ini tentu terlalu singkat dalam membahas keutuhan warisan HAMKA. Kami belum membahas karya-karya estetis HAMKA yang tersaji dalam beberapa novelnya tetapi bahkan juga dalam karya-karya non-fiksinya. Kedalaman ilmu dan kecakapan berbahasa memang membuat HAMKA mampu menulis dengan makna sedalam-dalamnya, dalam bentuk seindah-indahnya. Sebagai pembaca, kita tentu mendapat pengayaan dari sana. Meski demikian, 4 materi dalam seminar ini sudah cukup memberi kita kesadaran bahwa pada diri HAMKA terdapat sebuah perpaduan mengagumkan antara kedalaman ilmu, ketegasan sikap, dan kehalusan budi. Penerbitan kembali karya-karya HAMKA dengan tata letak dan pengemasan yang lebih segar oleh beberapa penerbit, termasuk Gema Insani, harus meningkatkan kesediaan kita untuk mereguk keutamaan HAMKA; dari warisannya, untuk masa depan kita.