Home Sosok Dr. Mawardi Muhammad Saleh: Ilmuwan Langka dari Bangkinang

Dr. Mawardi Muhammad Saleh: Ilmuwan Langka dari Bangkinang

18925
0

Sosok ilmuwan Muslim yang satu ini bisa dikatakan manusia langka. Usianya masih cukup muda. Ia lahir pada 24 Juni 1969, di Bangkinang, Kampar, Riau. Dengan tubuh mungil, setinggi 158 cm, putra Bangkinang, ini mampu meraih prestasi tertinggi di Universitas Islam Madinah. Tahun 2004 lalu, dia menamatkan program doktornya di bidang fiqih dan ushul fiqih dengan predikat Summa Cum Laude (al-Mumtaz ma’a martabati asy-Syarafil Ula). Nilai seluruh pelajarannya adalah ”A Plus”.

Disertasi doktor yang ditulisnya pun bukan biasa-biasa saja. Tebalnya, 1.100 halaman. Judulnya,  Ziyadat was-Tidrakaat al-Imam al-Nawawi, ‘alal Imam ar-Rafi’iy fi Babi al-Zakat.   Seorang penguji mengaku keheranan, karena baru saat itu, dia menemukan ada disertasi setebal 1.000 halaman lebih di Universitas Madinah, tanpa ada satu kesalahan pun dalam nahwu dan sharaf.  Mawardi adalah orang Indonesia kelima yang meraih doktor di Universitas Madinah. Empat sebelumnya adalah Dr Salim Segaf al-Jufri, Dr. Ahsin Sakha, Dr. Abd Muhith, dan Dr. Hidayat Nurwahid.

Putra Bangkinang ini mulai memasuki jenjang S-1 di Universitas Madinah tahun 1990. Di tingkat ini, setiap semester juga dia lalui dengan predikat summa cum laude.  Tahun 2000, ia menyelesaikan pendidikan S2-nya, dengan tesis berjudul Tahqiq al-Matlabal ‘Aliy fi Syarhi Wasith al-Imam al-Ghazali.   Tesis setebal 900 halaman ini merupakan studi tentang filologi terhadap buku al-Matlabul Aliy, sebuah kitab fiqih terbesar dalam mazhab Syafii, karya Ibnu Rif’ah. Padahal, Mawardi hanya mengkaji bab wudhu saja, yang naskah aslinya saja sekitar 600 halaman.  Manuskrip ini belum dibukukan. Jika nantinya, dibukukan, dipekrirakan akan menjadi sekitar 100 jilid.

Ibnu Rif’ah memulai kitabnya dari bab buyu’. Kenapa? Karena bab mu’amalah rumit dan membutuhkan energi. ”Mumpung semangatnya sedang tinggi beliau mulai dari yang susah. Baru balik ke bab awal, thaharah, sampai kitab zakat, haji, Ibnu Rifah meninggal. Kitabnya dilanjutkan oleh muridnya yang bernama al-Qamuliy,” papar Mawardi yang kini diamanahi sebagai Imam Besar Masjid Raya Bangkinang.

Tentang Imam al-Ghazali, Mawardi menyimpulkan, bahwa dialah yang mematangkan fiqih Syafii. ”Beliau adalah ahli fiqih. Metodologi hukum dimatangkan dengan kitab al-Mustashfa. Kitab al-Ghazali ini menjadi rujukan,” papar Mawardi. Al-Ghazali menulis kitab-kitab fiqihnya berdasarkan tingkatan pendidikan seseorang. Kitab al-Basith diringkas menjadi al-Wasith; diringkas lagi menjadi al-Wajiz. Diringkas lagi menjadi al-Khulashah.  Kitab al-Wajiz dikaji oleh Imam Rofi’i, yang menyatakan, bahwa al-Wajiz adalah yang paling matang dalam karya fiqih al-Ghazali. Oleh Rofi’i,  al-Wajiz diringkas menjadi al-Muharrar, yang kemudian diringkas oleh Imam Nawawi menjadi Minhajut Thalibin.

Kajian manuskrip memerlukan ketekunan dan penguasaan bahasa yang tinggi. Mawardi termasuk yang menyukai tantangan semacam ini.  Penguasaan Dr. Mawardi dalam soal tata bahasa Arab sudah tampak menonjol sejak dia belajar di Pesantren Darun Nahdhah Thawalib,  Bangkinang. Ketika itu, dia sudah hafal Kitab nahwu Alfiyah Ibn Malik, yang berisikan 1.000 lebih bait syair di bidang nahwu. Bakat Mawardi dalam penguasaan tata bahasa Arab diwarisi oleh ayahnya, Muhammad Shaleh, seorang guru pesantren di tempat Mawardi belajar.

Sebenarnya, ketika duduk di bangku sekolah dasar, Mawardi sangat menyukai pelajaran matematika. Dia juara dalam pelajaran matematika. ”Kalau guru tidak ada, saya yang gantikan,” kata Mawardi kepada Islamia-Republika. Semula, dia terpikir untuk melanjutkan ke SMP. Tapi, akhirnya, sebelum meninggal dunia, ayahnya sempat berpesan kepada seseorang, bahwa Mawardi harus melanjutkan pendidikan ke pesantren. Pesan ayahnya itu pun diikutinya.

Meskipun ditinggal ayahnya sejak kelas VI SD, Mawardi sangat mengidolakan sosok sang ayah. Sang ayah aktif di Majlis Tarjih Muhammadiyah, tetapi ia sangat toleran dengan perbedaan pendapat.  Ayahnya membaca doa qunut subuh, ketika menjadi Imam di masjid yang biasa membaca qunut. Ayahnya juga menanamkan semangat kerja keras. ”Kelas tiga SD saya sudah diajak ayah mencari kayu bakar di hutan dan membuka lahan,” kenang Mawardi yang kini memimpin Majelis Ulama Kabupaten Kampar.

Karena itulah, disamping belajar sungguh-sungguh, di Madinah Mawardi juga menyempatkan diri bekerja di sejumlah instansi. Ia sempat bekerja sebagai penerjemah di Mahkamah Syariah Madinah dan di Rumah Sakit. Ia juga salah satu staf di lembaga Penelitian Peninggalan Madinah. Mawardi mengaku bersyukur sempat menyelesaikan jenjang pendidikannya sampai S3 di Universitas Madinah. Selepas menyelesaikan S2, ia sempat melamar ke sejumlah universitas. Salah satu yang menerimanya adalah Islamic Studies McGill University. ”Alhamdulillah, saya diterima di Madinah,” ujarnya.

Maka, ia putuskan untuk melanjutkan pendidikan S3 di Universitas Madinah. ”Saya pikir, apa ada tempat lain yang lebih baik dari Madinah,” kata Mawardi yang kini juga aktif sebagai dosen di Program Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri Riau. Menurutnya, tradisi ilmu dan budaya ilmiah di sana sangat tinggi. Kurikulum di Madinah, seluruhnya diberikan dalam bentuk komparatif.  Sejak di bangku S1, mahasiswa harus mempelajari Tafsir Ibn Katsir, Fiqih Bidayatul Ijtihad, Hadits Ahkam Subulus Salam.   Aqidah diberikan juga secara komparatif.   ”Jadi tidak menggiring pada fanatisme kelompok tertentu. Kita diajar menjadi manusia yang berargumen,” kata Mawardi.

Kecintaan dan prestasi Mawardi kepada ilmu pengetahuan keislaman telah menarik simpati sejumlah dosen-dosennya.  Mawardi menyebut seorang dosen bernama Prof. Dr. Naif al-Amri yang sangat peduli kepada mahasiswa. Ia seorang ahli fiqih. ”Kalau saya perlu buku, dia belikan dan diantar ke rumah saya,” paparnya mengenang. Ia pun kadangkala dibelikan tiket pesawat saat melakukan penelitian ke Mesir. ”Seminggu saya tidak menelepon, dia yang cari,” katanya lagi.

Kini, di wilayah Riau, Mawardi termasuk sedikit ilmuwan Muslim yang memiliki jadwal aktivitas super sibuk.  Ia bertekad mengembangkan tradisi keilmuan yang sehat di wilayahnya. Di masjid Agung Kampar yang dipimpinnya, dia mengembangkan kajian-kajian kitab secara rutin dalam berbagai bidang keilmuan.  Setiap pekan, ribuan jamaah antusias mengikuti kajian Kitab.

Meskipun ada beberapa pihak yang mengajak Mawardi terjun ke bidang polotik, ia masih tetap bertahan dengan dunia dakwah dan pendidikan. Menurutnya,  ia pernah mendapat pesan dari Prof. Dr. Naif al-Amri, ”Jangan masuk dunia politik. Tekuni dunia pendidikan!.”

Leave a Reply