Sosok Ibn Rusyd yang jauh dari citra liberal tergambar dalam karya-karyanya di bidang ilmu fikih dan ushul fikih. Bahkan, ia memiliki andil besar dalam perkembangan fikih Islam. Menurut Abu Hasan al-Andalusi, Ibn Rusyd adalah Hakim Agung (Qhadi Qudhat) yang banyak menguasai multidisiplin ilmu, dan Ia adalah salah seorang Fuqaha Andalusia ternama yang dijadikan rujukan dizamannya. (Abu Hasan al-Andalusi , Tarikh Qudhat Andalus, Kairo : L. Provancal , 1948. hlm.111)
Al-Zarkasyi juga memposisikan Ibn Rusyd sebagai Fuqaha yang mu’tamad , yang telah berjasa besar dalam memperkaya kajian ushul fikih lewat kitabnya yang diberi nama “ al-Dharuri fii Ushul al-Fiqh “ atau yang lebih dikenal dengan “ Mukhtashar al-Mustashfa”. (Al-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhid, Kuwait : Wuzarah al-Auqaf,tt, hlm. 65). Sementara Al-Muqri menjuluki Ibn Rusyd dengan gelar al-Amir al-Adzim ( pemimpin agung ) atas jasa dan pengabdiannya dalam bidang fikih. (Al-Muqri, Nafh Thib, Beirut : Dar Shadir, 1968. jilid.2, hlm. 108).
Kepakaran Ibn Rusyd dalam bidang fikih tidak terlepas dari peranan keluarga dan pengaruh para gurunya. Keluarganya sendiri berasal dari kalangan aristokrat dan ulama penganut madzhab Malikiyah. Kakek dan ayahnya adalah seorang fuqaha ternama dan hakim agung Cordoba pada era Dinasti Murabitin. Sementara para gurunya adalah pembesar fuqaha (Kibar Fuqaha) Andalusia saat itu, yang diantaranya adalah Abu Ja’far bin Razaq, Abu Abdillah bin Khairah, Abu Abdillah bin Farah, Abu Qasim bin Bisykawal, Abu Marwan bin Masarah, Abu Bakar bin Samhun, Abu Bakar bin Abd al-Aziz. (Ibn Abar , al-Takmilah, Beirut : Dar al-Fikr, 1995, hlm. 269).
Ibn Rusyd telah memberikan sumbangan karya yang besar dibidang fikih. Menurut Sejarawan Prancis Ernest Renan, dari tujuh puluh delapan judul karya Ibn Rusyd , terdapat delapan judul dalam bidang fikih, yaitu al-Da’awa, Mukhtashar al-Mustashfa, al-Dars al-Kamil fii al-Fiqh, Risalah fii Dhahaya, Kitab al-Kharaj, Makasib al-Muluk wa al-Ruasa’ al-Muharramah, al-Tanbih, Bidayah al-Mujtahid. (Ernest Renan, Averroès et l’averroïsme, diarabkan oleh ‘Adil Za’iyah, Maktabah Tsaqafah Diniyah, 2008, hlm. 68-86).
Selain delapan judul diatas, menurut Mukhtar bin Thahir masih ada dua karya lagi yang dinisbatkan kepada Ibn Rusyd, yaitu Fatawa Ibn Rusyd yang berisi kumpulan-kumpulan fatwa dalam berbagai masalah fikih (masa’il fiqhiyyah), dan Al-Muqaddimat yang merupakan pengantar dalam ilmu fikih. (lihat, Ibn Rusyd, Fatawa Ibn Rusyd, Beirut : Dar al-Garb al-Islami, 1987, hlm.22. dan Mukhtar bin Thahir, Ibn Rusyd wa al-Muqaddimat, Libiya : Dar al-Arabiyyah, tt. hlm. 461).
Dari sekian banyak karya Ibn Rusyd dalam bidang fikih, yang paling mashur dikalangan akademik adalah kitab Bidayah al-Mujtahid. Menurut Ibn Farhun, kitab Bidayah al-Mujtahid mengharumkan nama Ibn Rusyd dan mengangkatnya kepermukaan sebagai salah seorang fuqaha Andalusia yang terkemuka. (Ibn Farhun, al-Dibaj al-Madzhab, hlm.285)
Abu Hajjaj al-Fandalawi melihat bahwa metode yang digunakan oleh Ibn Rusyd dalam kitabnya Bidayah al-Mujtahid tergolong baru dikalangan Fuqaha Malikiyah. (Abu Hajjaj al-Fandalawi , Tahdzib al-Masalik fii Nusrah Madzhab Malik, Maghrib : Wuzarah al-Auqaf , 1998, hlm. 274). Lebih lanjut Ia menegaskan, “ Selama ini pendekatan yang digunakan oleh fuqaha malikiyah adalah pendekatan tektual, sementara Ibn Rusyd menawarkan alternatif baru yaitu pendekatan fikih komparatif ”.
Sebelum Bidayah al-Mujtahid ditulis, Ibn Rusyd menyadari akan jumudnya dinamika intelektual pada masanya. Era stagnansi ini ditandai dengan dominasi fikih tektual, baik dari kalangan Madzhab Maliki maupun Dhahiri. (Mukhtar bin Thahir, Ibn Rusyd wa al-Muqaddimat, Libiya : Dar al-Arabiyyah, tt. hlm.118). Itu menyebabkan munculnya asumsi-asumsi dogmatis bahwa capaian para fuqaha klasik telah sempurna dan tidak butuh pembaharuan pemikiran. Asumsi ini kemudian menjadi jargon kaum muqallidin bahwa pintu ijtihad telah tertutup.
Menyaksikan fenomena tersebut, Ibn Rusyd tidak tinggal diam dan segera meresponnya dengan menulis karya “ Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid” . kitab ini ditulis pada tahun 564 H, kecuali bab Haji yang selesai ditulis dua puluh tahun kemudian, tepatnya pada hari Rabu, 9 Jumadil Ula, 584 H/1188 M. (Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, Beirut : Dar al-Kitab al-Arabi, 2006. Hlm. 297).
Karya ini dimaksudkan untuk mendobrak kejumudan intelektual, mengkritik fanatisme madzhab, dan menyegarkan kembali pemahaman fikih, sehingga terbuka pintu ijtihad, serta mengantarkan para peminat fikih ketingkat mujtahid. Hal itu sebagaimana yang diungkapkan Ibn Rusyd dalam mukaddimah kitabnya, “Tujuanku dalam kitab ini adalah menjelaskan masalah-masalah yang disepakati dan atau diperdebatkan oleh fuqaha dengan menguraikan rahasia-rahasia perdebatan itu secara metodologis”. Lebih lanjut Ibn Rusyd menegaskan, “Kitab ini aku tulis agar seorang peminat fikih mencapai tingkatan mujtahid”.
Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid mengandung arti awal (bidayah) bagi seseorang yang ingin menempuh jalan ijtihad, dan akhir (Nihayah) bagi seseorang yang telah mencapai tingkatan ijtihad . Dengan demikian seseorang yang telah mempelajari kitab ini, diharapkan mampu berijtihad secara mandiri atas masalah-masalah fikih (masa’il fiqhiyah) yang belum diketahui secara jelas legalitas dasar hukumnya, baik yang klasik maupun kontemporer.
Mukhtar bin Thahir melihat kitab ini sebagai pionir dalam menghidupkan kembali tradisi ijtihad dikalangan fuqaha. Tradisi ini membawa dampak positif dalam perkembangan ilmu fikih bagi generasi berikutnya. (Mukhtar bin Thahir, Ibn Rusyd wa al-Muqaddimat, Libiya : Dar al-Arabiyyah, tt. hlm. 119).
Muhammad Al-Magribi menambahkan, kitab Bidayah al-Mujtahid merupakan karya monumental yang sistematis, yang sangat bermanfaat bagi peminat fikih untuk mencapai tingkatan mujtahid. (Muhammad Al-Magribi, Bidayah al-Mujtahid wa Dauruhu fii Tarbiyyah Malakah al-Ijtihad , Maroko : Disertasi University Sidi Mohamed Ben Abdellah Fez , 2006
Bidayah al-Mujtahid merupakan kitab fikih komparatif (figh muqarin) terbaik yang menganalisis secara komprehensif perbedaan pendapat para fuqaha sejak era sahabat hingga era stagnansi fikih . Hal itu sebagaimana diakui oleh Ibn al-Abar dalam al-Takmilah dan Ibn Farhun dalam al-Dibaj al-Madzhab. (Ibn al-Abar, al-Takmilah, vol. I, hlm. 271. Ibn Farhun, al-Dibaj al-Madzhab fi A’yan al-Madzhab, hlm. 285. Dikutip oleh Hamadi Ubaydi, Hamadi Ubaydi, Ibn Rusyd wa Ulum al-Syariah, Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, cet. I, 1991,hlm. 64.). (***)