Pada satu sesi perkuliahan di program pasca sarjana, saya menjelaskan tentang peran al-Ghazali dalam kebangkitan umat Islam di era Perang Salib, sebagaimana dijelaskan oleh Dr. Madjid Irsan al-Kilani, dalam bukunya, ”Hakadza Dhahara Jaylu Shalahuddin wa Hakadza ’Aadat al-Quds”. Melalui gerakan pembersihan jiwa dari penyakit ”cinta-dunia” dan kebangkitan Ilmu-ilmu agama (Ulumuddin), al-Ghazali dipandang memiliki andil besar dalam proses kelahiran generasi unggul, yakni generasi Shalahuddin al-Ayyubi.
Saat itu, seorang mahasiswa mengangkat tangan dan bertanya dengan nada keheranan. ”Yang saya terima selama ini di kuliah tidak seperti itu. Al-Ghazali dianggap sebagai biang keladi kemunduran umat Islam,” ujarnya.
Saya maklum dengan pertanyaan sang mahasiswa. Sebab, pemikiran seperti itulah yang sempat diajarkan di berbagai Perguruan Tinggi Islam. Sejumlah buku Studi Islam di Indonesia juga memuat ”mitos-mitos” dan kesalahpahaman terhadap Ibn Rusyd dan al-Ghazali. Simak, misalnya, sebuah kutipan dari buku berjudul Epistemologi Islam Skolastik (IAIN Walisongo Semarang dan Pustaka Pelajar, 2007), yang ditulis seorang guru besar dalam pemikiran Islam:
”Kalau kita mau menelusuri sebab mengapa umat Islam begitu jauh tertinggal dari bangsa Barat, kita akan menyadari karena pola pikir Ibnu Rusyd yang kritis dan rasional itu kalah gaungnya dengan gema konservativitas dan ortodoksi yang dilancarkan Imam al-Ghazali yang berkembang merata ke dunia Islam bahkan menjadi pola pikir yang mendarah daging pada kalangan umat Islam.” (hal. 99).
”Apa yang ditampilkan Ibn Rusyd dan kawan-kawannya disikapi dengan cermat oleh orang-orang Barat, sehingga muncullah aliran Aviroisme sebagai cikal bakal tumbuh berkembangnya Skolastik Latin. Dia menghantarkan budaya ilmiah Barat ke pintu gerbang kemajuan, kreativitas dan langkah-langkah inovatif yang selalu beriringan muncul terus tanpa henti. Akibatnya dunia Barat sebagai penemu kreasi-kreasi baru, tiada hari tanpa penemuan-penemuan baru. Berbeda halnya dengan kondisi di dunia Timur (dalam hal ini khususnya dunia Islam), tidur panjang (tanpa nglilir) yang mereka lakukan, setelah mereka (barangkali) merasa puas dengan temuan-temuan para tokohnya di masa lampau…” (hal. 164-165).
Kesimpulan bahwa Barat maju karena ikut Ibn Rusyd dan Islam mundur karena ikut al-Ghazali merupakan kesimpulan yang terlalu sederhana. Kajian-kajian ilmiah yang serius menunjukkan, kemajuan Barat di dalam bidang sains dan teknologi justru tidak ada kaitannya dengan pemikiran Ibn Rusyd (averroisme).
Lebih ironis, pemikiran seperti ini oleh sebagian kalagan linberal, kemudian dibelokkan lebih jauh lagi; bahwa umat Islam mundur karena tidak mau mengikuti Barat yang telah memeluk sekularisme dan liberalisme dengan menyingkirkan ajaran-ajaran agama Yahudi-Kristen dalam berbagai aspek kehidupan mereka.
Ibn Rusyd dan Al-Ghazali adalah ilmuwan besar. Kaum Muslim harus meletakkan kedua ilmuwan itu secara adil dan beradab. Ibn Rusyd seorang ilmuwan yang tahu adab. Meskipun kepakarannya dalam bidang fikih dan ushul fikih sangat luar biasa, tetapi ia meletakkan dirinya sebagai pengikut mazhab Maliki. Kehebatan Al-Ghazali dalam bidang ushul fikih, juga tidak membawanya ke sikap jumawa, tidak tahu diri. Ia meletakkan dirinya sebagai pengikut mazhab Syafii.
Sikap beradab dari para ilmuwan dan ulama besar seperti ini jauh berbeda dengan sikap yang ditunjukkan sebagian kalangan liberal yang dengan mudahnya mencerca Imam Syafii, seperti ditulis dalam buku Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Yayasan Wakaf Paramadina dan The Asia Foundation, 2004):.
“Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerangkeng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat imam Syafi’i. Kita lupa, imam Syafi’i memang arsitek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir fiqih Muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya. Hingga kini, rumusan Syafi’i itu diposisikan begitu agung, sehingga bukan saja tak tersentuh kritik, tapi juga lebih tinggi ketimbang nash-nash Syar’i (al-Quran dan hadits). Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka Syafi’i.”
Kekeliruan bukan untuk dicaci-maki, tetapi wajib dipebaiki. Sudah saatnya para sarjana Muslim, melakukan kajian yang lebih serius dan mendalam, sebelum menyampaikan kesimpulannya kepada mahasiswa atau masyarakat.
*****
Kebangkitan umat Islam di masa Perang Salib terbukti tidak lepas dari peran seorang ulama bernama Syekh Ali al-Sulami dan Imam al-Ghazali. Posisi al-Ghazali dalam Perang Salib menjadi jelas, setelah diterbitkannya Kitab al-Jihad karya Ali al-Sulami, imam di masjid Ummayyad Damascus, dan tokoh perumus serta penggerak jihad melawan tentara Salib. Dalam naskah Kitab yang diringkas oleh Niall Christie, al-Sulami banyak mengutip ucapan Imam al-Shafi‘i dan al-Ghazali tentang jihad.
Diantaranya, al-Ghazali menyatakan, bahwa jihad adalah fardu kifayah. Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh. Tetapi, jika kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban jihad itu dibebankan kepada negara terdekat.
Penjelasan al-Ghazali yang dikutip Ali al-Sulami itu menunjukkan, posisi al-Ghazali dalam soal jihad melawan pasukan Salib sangatlah jelas. Al-Sulami tidak menyebutkan sumber kutipan ungkapan al-Ghazali tersebut. Al-Ghazali juga tidak menuliskan kutipan itu dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin . Adalah sangat mungkin bahwa Ali al-Sulami, yang ketika itu menjadi imam di Masjid Umayyad di Damascus, menghadiri kuliah al- Ghazali di Masjid tersebut.
Dalam Ihya’-nya, al-Ghazali menjelaskan hampir seluruh aspek kehidupan manusia dalam perspektif Islam. Ia menulis begitu banyak topik, seperti masalah ilmu, ibadah, etika sosial, hal-hal yang merusak (al-muhlikat), dan juga yang menyelamatkan (al–munjiyat). Dalam bukunya, Dr. Majid Irsan Kailani menjelaskan posisi pemikiran al-Ghazali dalam perjuangan kaum Muslim untuk merebut kembali Jerusalem. Dengan menganalisis Kitab Ihya’, menurutnya, dapat disimpulkan, buku ini disiapkan al-Ghazali untuk melakukan reformasi intelektual dan moral kaum Muslim dalam perspektif yang lebih luas dari sekedar masalah Perang Salib ketika itu. (***)