Home Artikel Kebagkitan Islam?

Kebagkitan Islam?

894
0

PADA 22 Desember 2010 lalu, saya diminta menjadi pembahas dalam sebuah seminar tentang peradaban Islam di Jakarta Islamic Centre. Diantara pembicara ada Prof. Dr. Azyumardi Azra, mantan rektor UIN Jakarta. Dalam uraiannya, Prof Azyumardi menyatakan, bahwa peluang kebangkitan Islam lebih besar akan terjadi di Asia Tenggara ketimbang di Timur Tengah. Berbagai alasan dikemukakannya.

Pada sesi pembahasan saya menyampaikan bahwa soal kebangkitan Islam sebenarnya sudah banyak dipaparkan dalam al-Quran. Misalnya, dalam al-Quran Surat Al-Maidah ayat 54. Disitu disebutkan ciri-ciri satu kaum yang dijanjikan Allah yang akan meraih kemenangan: mereka dicintai Allah dan mereka mencintai Allah; mereka saling mengasihi sesama mukmin; mereka memiliki sikap ‘izzah terhadap orang-orang kafir; mereka berjihad di jalan Allah; dan mereka tidak takut dengan celaan orang-orang yang memang suka mencela. Kaum seperti inilah yang harus mampu dibentuk oleh umat Islam, khususnya lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Hanya saja, saat bicara tentang kebangkitan Islam, maka yang perlu didefinisikan terlebih dahulu adalah apa yang sebenarnya disebut dengan “bangkit”. Sebab, jangan-jangan, makna kata “bangkit” itu sendiri sudah kabur di benak banyak kaum Muslimin. Seperti kaburnya makna kata “kemajuan”, “pembangunan”, “kebebasan”, dan sebagainya.

Misalnya, negara-negara Barat membuat definsi yang materialistis terhadap makna “kemajuan”. Mereka membagi negara-negara di dunia menjadi negara maju, negara sedang berkembang dan negara terbelakang. Tentu saja, ukuran-ukuran yang digunakan adalah ukuran kemajuan materi. Faktor akhlak tidak masuk dalam definisi “kemajuan” atau “pembangunan” tersebut. Jadi, jika dikatakan suatu negara sudah maju, maka yang dimaksudkan adalah kemajuan materi, khususnya dalam ekonomi, sains dan teknologi. Padahal, secara akhlak, negara itu sebenarnya hancur-hancuran.

Kita, kaum Muslimin, yang masih memiliki keimanan dan menjaga akhlak mulia, sudah selayaknya tidak merasa hina dan rendah martabat saat berhadapan dengan dunia Barat yang serba gemerlap dalam dunia materi. Kita sungguh kasihan kepada sebagian pejabat kita yang rela begadang, bersorak-sorai, menghambur-hamburkan uang hanya untuk menyambut pergantian Tahun Baru dalam tradisi Barat. Mestinya, jika mereka Muslim, mereka mengajak rakyatnya untuk beribadah, mensyukuri setiap tambahan nikmat umur yang mereka terima dari Allah SWT.

Jika kita memiliki kebanggaan akan nilai-nilai dan akhlak kita, maka kita justru akan bersikap sebaliknya. Kita kasihan pada orang-orang sekular – di mana pun —  yang tidak tahu lagi kemana hidup mereka harus diarahkan. Hidup mereka hanya ditujukan untuk memuaskan syahwat, tidak beda jauh dengan peri hidup binatang. Mereka tidak ingat lagi perjanjian azali dengan Allah, saat berada di alam arwah, bahwa mereka pernah mengakui Allah sebagai Tuhan mereka, dan mereka adalah hamba Allah. (QS 7:172).

Maka, ketika negara kita diminta mengejar kemajuan, kita melihat, yang lebih difokuskan adalah kemajuan materi, bukan kemajuan akhlak. Padahal, dalam UU Sisdiknas disebutkan, tujuan pendidikan nasional juga mencakup persoalan akhlak. Juga, sesuai lagu “Indonesia Raya”,  kita harus membangun jiwa, baru membangun badan/raga. “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” begitu katanya.  Tapi, apakah setiap tahun, ada laporan pemerintah kita tentang keberhasilan atau kegagalan membangun jiwa? 

Bagi kita, umat Muslim, jika ingin membangun atau membangkitkan sebuah peradaban, maka yang seharusnya dibangun adalah manusia-manusia yang beradab.  Membangun peradaban bukan sekedar bercita-cita merebut kekuasaan. Sebab, untuk sekedar berkuasa yang diperlukan adalah kekuatan, dan tidak harus selalu berbasis pada keilmuan. Bangsa Mongol pernah berhasil merebut kekuasaan di Baghdad, 1215, meskipun mereka sangat rendah ingkat peradabannya. Pasukan Salib pernah menaklukkan kaum Muslimin yang jauh lebih tinggi tingkat peradabannya.

Sekarang pun, kita menyaksikan, banyak orang di dunia bisa merebut kekuasaan, dengan mengandalkan modal kecantikan, popularitas, dan banyaknya anak buah, meskipun tingkat keilmuan dan akhlaknya sangat rendah. Jika seorang atau satu kelompok berperadaban rendah tetapi kuat secara fisik dan materi berhasil merebut kekuasaan, maka bisa menimbulkan kerusakan.

Jadi,  sekali lagi, dalam merumuskan kebangkitan Islam, yang perlu digariskan adalah makna kebangkitan itu sendiri! Bangkit dalam hal apa? Barulah setelah itu dirumuskan, bagaimana cara bangkitnya! Sejarah Islam menunjukkan, bahwa kebangkitan umat Islam sebagai sebuah peradaban terjadi saat umat berhasil menghidupkan tradisi ilmu dan menanamkan jiwa cinta pengorbanan. Dua aspek ini pun sebenarnya bukan khas Islam. Peradaban lain juga harus menempuh jalan yang sama untuk bisa bangkit, yakni membangun tradisi ilmu dan menanamkan semangat pengorbanan.

Kita bisa menyimak kisah-kisah hebat berikut ini, seputar semangat pengorbanan:

Alkisah, Imam at-Thabari menceritakan, usai penaklukan kota Madain, datanglah seorang laki-laki kepada para petugas pengumpul harta rampasan perang. Ia membawa sejumlah harta yang mencengangkan. Petugas bertanya kepadanya, “Apakah kamu mengambil sebagian untukmu?” Laki-laki itu menjawab, “Tidak, demi Allah!” Jika bukan karena Allah, pastilah harta ini sudah aku gelapkan untukku.” Penasaran dengan jawaban itu, para petugas bertanya lagi, “Siapa nama kamu?” Dijawab si laki-laki, “Tidak, kalian tidak perlu tahu namaku agar kalian dan orang-orang lain tak memujiku. Aku sudah cukup bersyukur kepada Allah dan puas dengan ganjaran-Nya itu.” Setelah diselidiki, diketahuilah, laki-laki itu bernama Amir bin Abdi Qais.

Sebelum terjadi perang Qadisiah, Panglima Perang Sa’ad bin Abi Waqash mengirimkan utusan bernama Rabi’ bin Amir untuk menemui Jenderal Rustum, panglima Perang Persia.  Rabi’ masuk ke tenda Rustum yang bergelimang kemewahan dengan tetap memegang tombak dan menuntun kudanya.  Ketika Rustum bertanya, “Apa tujuan kalian?” Dengan tegas Rabi’ menjawab, “Allah telah mengutus kami untuk membebaskan orang-orang yang dikehendaki-Nya dari penyembahan sesama manusia menuju penyembahan Allah semata, dan membebaskan manusia dari kesempitan menuju kelapangan hidup di dunia, dan dari penindasan berbagai agama yang sesat menuju agama Islam yang menuh keadilan.”

Kita ingat sebuah cerita terkenal, ketika Ja’far bin Abdul Muthalib dan kawan-kawan sedang berada di Habsyah, sejumlah pemuka Quraish juga mengejar mereka. Raja Najasyi diprovokasi untuk mengusir kaum Muslim itu. Kepada Najasyi dan para pendeta Kristen, Amr bin Ash dan Amarah menyatakan, bahwa orang-orang Islam tidak akan mau bersujud kepada Raja. Ketika kaum Muslim dipanggil menghadap Raja, mereka diperintahkan, “Bersujudlah kalian kepada Raja!”.  Dengan tegas Ja’far menjawab, “Kami tidak bersujud kecuali kepada Allah semata.”

Sejumlah cerita tentang kezuhudan dan kegigihan generasi-generasi awal Islam itu diungkap oleh Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dalam bukunya, “Maa Dzaa Khasiral ‘Aalam bi-inkhithaathil Muslimin.” (Terjemah versi Indonesia oleh M. Ruslan Shiddieq, Islam Membangun Peradaban Dunia, Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1988). Melalui bukunya, Ali an-Nadwi memang ingin menggugah kaum Muslim, bahwa kebangkitan dan kemenangan kaum Muslim hanya akan bisa diraih jika umat Islam memiliki keimanan yang kokoh, dan tidak goyah dengan berbagai godaan dunia.

Dalam risalahnya yang terkenal, Limaadza Taakkharal Muslimun wa-Limaadza Taqaddama Ghairuhum,  Syekh Amir Syakib Arsalan juga mengungkap sejumlah perbandingan, mengapa kaum Muslimin bisa dikalahkan oleh bangsa-bangsa Barat di berbagai lini kehidupan. Salah satu sikap yang menonjol adalah rendahnya sikap rela berkorban kaum Muslim dalam perjuangan. Sebagai contoh, ia mengungkapkan kesetiaan bangsa Inggris terhadap barang-barang produksinya dan toko-tokonya sendiri, walaupun harganya lebih mahal. “Aku pernah mendengar bahwa bangsa Inggris yang ada di daerah jajahannya, mereka tidak suka membeli barang-barang yang diperlukan terutama barang-barang yang berharga, melainkan mereka mesti membeli (pesan) dari negara mereka sendiri…”.

Lebih jauh tentang sebab-sebab kemunduran umat Islam di awal abad ke-20, diuraikan dengan sangat tajam oleh Amir Syakib Arsalan dalam risalah yang ditulisnya menjawab pertanyaan Syekh Muhammad Basyuni Imran,  Imam Kerajaan Sambas, dengan perantaraan Muhammad Rasyid Ridha. Moenawwar Chalil menerjemahkan buku ini tahun 1954 dengan judul Mengapa Kaum Muslim Mundur. (Jakarta: Bulan Bintang, 1954).

Hilangnya semangat berkorban – jiwa, raga, harta, dan sebagainya – di tengah umat Islam bersamaan dengan munculnya sikap cinta dunia (hubbud-dunya).  Sikap ini muncul karena ilmu yang salah,  yang melihat dunia sebagai sesuatu yang lebih penting ketimbang kehidupan akhirat. Kapan saja sikap ini muncul, maka umat Islam tidak akan pernah mengenyam kejayaan. Rasulullah saw sudah mengingatkan, umat Islam akan menjadi sampah (buih), ketika sudah terjangkit penyakit “al-wahnu” (hubbud-dunya dan takut mati) dalam diri mereka.

Kecintaan akan pengorbanan tidak mungkin muncul dalam diri seseorang atau masyarakat, jika tidak didahului dengan tumbuhnya tradisi ilmu yang  benar di tengah masyarakat. Bisa dikatakan, tidak ada satu peradaban yang bangkit tanpa didahului oleh bangkitnya tradisi ilmu. Tanpa kecuali, peradaban Islam. Rasulullah saw telah memberikan teladan yang luar biasa dalam hal ini. Di tengah masyarakat jahiliah gurun pasir, Rasulullah saw berhasil mewujudkan sebuah masyarakat yang sangat tinggi tradisi ilmunya. Para sahabat Nabi saw dikenal sebagai orang-orang yang “gila ilmu”.

Bukan hanya itu, tradisi ilmu Islam yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw telah melahirkan manusia-manusia unggulan dalam satu ”generasi shahaby” yang belum mampu dicapai oleh peradaban manapun, hingga kini. Rasulullah saw berhasil mengubah ”masyarakat ummiy” yang hidup dalam tradisi lisan menjadi masyarakat yang cinta ilmu dan tradisi tulis. Tradisi ilmu Islam saat itu pun mampu mengubah masyarakat yang gila minuman keras menjadi masyarakat yang bersih dari ”tradisi teler” hanya dalam tempo beberapa tahun saja.

Memang, peradaban yang dibangun oleh Islam adalah peradaban tauhid, yang menyatukan unsur dunia dan akhirat, aspek jiwa dan raga. Islam bukan agama yang menganjurkan manusia untuk lari dari dunia demi tujuan mendekat kepada Tuhan. Nabi memerintahkan umatnya bekerja keras untuk menaklukkan dunia dan meletakkan dunia dalam genggamannya, bukan dalam hatinya. Nabi melarang keras sahabatnya yang berniat menjauhi wanita dan tidak menikah selamanya, agar bisa fokus kepada ibadah.

Berbeda dengan jalan pikiran banyak tokoh agama pada zaman itu, Nabi Muhammad saw justru mendeklarasikan: ”Nikah adalah sunnahku, dan siapa yang benci pada sunnahku, maka dia tidak termasuk golonganku.” Meskipun begitu, Rasulullah saw juga memperingatkan dengan keras: ”Jika umatku sudah mengagungkan dunia, maka akan dicabut kehebatan Islam dari mereka.”

Inilah peradaban Islam: bukan peradaban yang memuja materi, tetapi bukan pula peradaban yang meninggalkan materi. Pada titik inilah, tradisi ilmu dalam Islam berbeda dengan tradisi ilmu dalam masyarakat Barat yang berusaha membuang agama dalam kehidupan mereka. Dalam tradisi keilmuan Islam, ilmuwan yang zalim dan jahat harus dikeluarkan dari daftar ulama. Dia masuk kategori fasik dan ucapannya pantas diragukan kebenarannya. Ilmu harus menyatu dengan amal. Inilah yang ditunjukkan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, (radhiyallahu ’anhum), Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad, dan sebagainya. Imam Abu Hanifah, misalnya, lebih memilih dicambuk setiap hari, ketimbang menerima jabatan Qadhi negara.

Tradisi ilmu yang tinggi disertai dengan tertatanamnya kecintaan akan pengorbanan untuk meraih cita-cita luhur itulah yang harus diwujudkan di tengah umat Islam, jika umat Islam ingin meraih satu kebangkitan sebagai sebuah peradaban. [Depok, Januari 2011/hidayatullah.com]

Leave a Reply