Home Artikel Gender: Dari Wacana Transnasional-Kontroversial Menjadi RUU Seksis

Gender: Dari Wacana Transnasional-Kontroversial Menjadi RUU Seksis

1367
0

gender-man-woman

Oleh: Henri Shalahuddin (Peneliti INSISTS Bidang Gender)

 Pengantar

Membincang gender sejatinya membincang tentang cara pandang dan interaksi sebuah bangsa terhadap budaya lain. Paham kesetaraan gender muncul dan berkembang dari Barat dan pastinya juga tidak netral nilai-nilai lokal paham itu berasal. Bisa jadi di antara muatan nilai-nilai paham feminisme dan kesetaraan gender Barat itu ada yang sejalan dengan pandangan hidup bangsa Indonesia, namun juga tidak mustahil sebaliknya. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang besar dan bermartabat, sikap kritis saat berinteraksi dengan budaya bangsa lain sangat diapresiasi, sehingga tidak tidak terperosok ke dalam ekstrimisme, baik terlalu apriori maupun terlalu permisif.

Ideologi feminisme yang kemudian diejawantahkan ke dalam paham kesetaraan gender (gender equality) belakangan ini menjadi tren baru masyarakat modern. Di hampir seluruh belahan dunia, gender telah menjadi keniscayaan global dan secara perlahan merambah ke dalam semua lini kehidupan. Bahkan menjadi tolak ukur maju tidaknya pembangunan di sebuah negara, yaitu dengan menggunakan ukuran HDI (Human Development Indeks), GDI (Gender-related Development Index), GEM (Gender Empowerment Measurament), dll.

Di Indonesia, konsep ”kesetaraan gender” tiba-tiba menjadi isu yang paling kontroversial setelah DPR mengusulkan Rancangan Undang-Undang Keadilan dan Kesetaraan Gender (RUU KKG). Artikelini berusaha secara kritis menelaah ulang paham kesetaraan gender.

Feminisme dan Gender: Definisi yang Tidak Pasti

Feminisme bermula dari pergerakan sekelompok aktivis perempuan Barat yang lambat laun mendapat sambutan banyak pihak.Melalui berbagai usaha yang intensif, feminisme akhirnya menjadi ideologi mainstream yang mengakar dalam masyarakat.

Istilah “feminisme“mempunyai definisi beragam, di antaranya sebagai berikut:

1)    Menurut Elinor Burkett, feminisme adalah suatu aktivitas terorganisir yang mengatasnamakan kepentingan dan hak perempuan. Keyakinan terhadap kesetaraan dalam bidang-bidang sosial, ekonomi, dan politik ini membuat paham feminisme Barat dimanifestasikan di seluruh dunia dan diwakili oleh berbagai institusi yang berkomitmen untuk aktivitas atas nama hak dan kepentingan perempuan.[1]

2)    Madeleine Pelletier melihat feminisme sebagai paham yang beragam, tidak tunggal dan senantiasa berkembang. Ia mengatakan bahwa setiap feminis memiliki pandangan pribadi sendiri tentang feminisme. Keberagaman feminisme bisa dilihat dengan adanya perbedaan internal di kalangan tokoh-tokoh feminis. Pada umumnya feminis kelas menengah menolak kecenderungan feminis kulit putih yang melibatkan semua wanita ketika mereka menguraikan tentang feminisme dengan kata-kata “kita”. Bagaimana seorang feminis kulit putih bisa memberikan bobot yang cukup dari sebuah pengalamannya untuk mengatakan bahwa wanita memiliki kesamaan, dan tetap menghormati mereka yang telah mengelompokkan wanita ke dalam kelas dan warna kulit?[2]

3)    Cara melihat dunia dari perspektif perempuan. Feminisme memusatkan perhatiannya kepada konsep patriarki yang dimaknai sebagai sistem kekuasaan laki-laki yang menindas perempuan melalui lembaga-lembaga sosial, politik dan ekonomi.[3]Maka tidak mengherankan ketika aktivis Prancis, NellyRoussel, mengasumsikan bahwa semuaperempuan memilikipengalaman yang samadi bawah sistem patriarkis. Pada tahun 1904, beliau menyerukan bahwa tidak adalagi kelas istimewa atau penguasa kelas di antara kaum wanita.[4]

4)    Sebagian kalangan feminis mengartikan bahwa feminisme merupakan perjuangan melawan seksisme sebagai sebuah paradigma penindasan. Sebagian lainnya mengartikan sebagai komitmen untuk mengakhiri supremasi kulit putih, dominasi laki-laki dan eksploitasi ekonomi. Sementara itu ada pula yang memaknai bahwa feminisme adalah penciptaan sikap untuk merangkul kebersamaan, yang meliputi perjuangan melawan apa yang disebut “trinitas”, yakni seksisme, rasisme dan kelas. Namun ada pengamat yang mengartikan bahwa feminisme berawal dari pernyataan seorang perempuan tentang kekuatannya. Di mana pada awalnya ia bukanlah sesuatu teori melainkan tindak personal itu sendiri.[5]

Dari keberagaman definisidi atas, sejatinya tidak mudah untuk menyimpulkan feminisme sebagai suatu pemahaman dan teori yang komprehensif (jami’-mani’). Karena feminisme merupakan paham yang sangat relatif, beragam dan masing-masing perempuan mempunyai definisi berbeda sesuai dengan pengalaman dan tindak personalnya sendiri. Namun, makna yang palingmendasar daripaham iniadalah keyakinan bahwa perempuan benar-benar bagian dari manusia, dan bukan spesies yang terpisah. Definisi ini seringkali dijadikan slogan dan diabadikan dalam bentuk tulisan di T-shirt: Feminisme adalah proposisi radikal bahwa perempuan adalah manusia (“Feminism is the radical proposition that women are human being”).[6]

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa feminisme sebenarnya adalah ideologi yang dilandasi dengan protes dan ketidakpuasan kaum feminis atas eksistensi sosial kaum perempuan yang belum sepenuhnya diakui dalam struktur masyarakat Barat kala itu.Hal ini diperparah lagi dengan posisi Gereja di Barat yang menjadi pijakan nilai-nilai dalam masyarakat, kurang berpihak kepada perempuan. Maka perjuangan feminisme difokuskan untuk melawan sistem patriarkhi yang menempatkan perempuan sebagai masyarakat kelas dua.

Istilah ‘patriarkhi’, sebagaimana yang dikatakan oleh Mendelson dan Crawford, merujuk kepada sebuah sistem sosial yang lebih mengutamakan laki-laki. Sedangkan menurut perumusan Fletcher, patriarkhi adalah kekuasaan laki-laki yang dilembagakan terhadap perempuan dan anak-anak dalam keluarga, dan penaklukkan (subordination) perempuan dalam masyarakat pada umumnya.[7]

Secarah harfiah, istilah patriarchy bermakna kekuasaan bapak (rule of the father). Ia berasal dari dua kata bahasa Yunani; “patēr” yang bermakna bapak, dan “archō” kekuasaan, peraturan. Ursula King mendefinisikan patriarkhi sebagai struktur kekuasaan dan properti laki-laki, di mana mereka berkuasa untuk memojokkan perempuan. Struktur kekuasaan dalam sistem patriarkhi meliputi sosial, ekonomi, agama dan berakarmendalam dalam sikap, nilai, bahasa, dan pemikiran.

Dolores Williams menyebutkan bahwa ciri utama patriarkhi adalah penindasan gender. Dia memaknai patriarkhi sebagai hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, dan antara perempuan dan lembaga masyarakat yang dikendalikan oleh laki-laki. LettyRussell (1929-2007), salah seorang teologterkemuka di duniafeminis danprofessor di Yale Divinity School, menulis bahwa paradigma patriarkhi senantiasa menempatkan segala sesuatu dalam hierarki dominasi dan subordinasi, menerima marginalisasi yang tak berdaya sebagai kodrat.[8]

Menurut Johnson, budaya patriarkhi mempunyai unsur-unsur definisi khusus, yaitu: dominasi laki-laki, dan laki-laki sebagai pusat karakter. Budaya patriarki mengandung ide-ide tentang sifat segala sesuatu, termasuk laki-laki, perempuan, dan kemanusiaan. Yaitu dengan menempatkan maskulinitas dalam posisi yang paling dekat hubungannya dengan manusia dan feminitas diturunkan ke posisi marjinal.[9]

Oleh sebab itu konsep feminis modern menginginkan isu subordinasi perempuan dilihat sebagai isu utama, bahkan sebagai masalah yang mendasar dan bukan hanya dilihat sebagai satu unsur pendukung saja. Sebab dalam pandangan feminis, struktur masyarakat modern awal dioperasikan berdasarkan pada subordinasi perempuan.

Dengan begitu, aktivis feminis mengharapkan kajian sejarah patriarkhi akan memiliki banyak kaitannya untuk mengatakan tentang anak-anak dan remaja, hubungan mereka dengan orang tua, dan kondisi generasi lainnya yang terbebas dari sistem kekuasaan laki-laki.[10] Dengan tujuan kajian sejarah patriarkhi ini, kelompok feminis bisa terus memperjuangkan kepentingan perempuan sehingga tercapainya keberpihakan kepada mereka dalam hubungan sosial.

Uraian-uraian tentang definisi feminisme, patriarkhis medan pengalaman ketertindasan perempuan di atas, sedikit banyak mempunyai implikasi bagi penelitian akademik tentang agama, dan praktek pribadi seseorang terhadap agamanya, karena feminis mendapat dipahami sebagai metod seseorang akademisi dan sekaligus sebagai visi sosial. Dan berubahnya sebutan “women studies” menjadi “feminism” di kemudian hari mempunyai implikasi atau agenda politik yang jelas.[11]

Namun demikian dalam perkembangannya paham feminisme juga mendapatkan kritikan dari berbagai kalangan. Marlene LeGates menyatakan bahwa di antara kesalahan utama feminis yaitu menganggap semua wanita mempunyai karakter, kepentingan dan kepribadian yang sama. Feminis sering melupakan keberagaman yang ada pada setiap wanita yang berlainan suku, agama, kelas sosial dan bahkan orientasi seksual mereka.

Di samping itu, masalah inkonsistensi dan rasisme yang menjangkiti kaum feminis juga menjadi sasaran kritikan terhadap feminisme. Sebagai contoh, ketika Nelly Roussel menyuarakan pendapatnya berkenaan dengan kesamaan derajat di antara wanita pada awal abad 20, hampir semua wanita dari kelas atas dan menengah memiliki budak perempuan. Sedangkan rasisme di kalangan feminis bisa dilihat dari pandangan Anne Kenney dan rekan-rekan feminisnya di Inggris yang menganggap superioritas mereka lebih tinggi daripada wanita Asia yang mereka pandang sebagai wanita lemah. Padahal Anne Kenney dikenal dengan seruan beliau tentang persamaan wanita yang tidak memandang latar belakang negara, politik dan kelas. Beberapa feminis yang berlatarbelakang seperti Roussel dan Kenney yang merupakan golongan wanita kelas atas, dikenal sebagai penindas perempuan.Frances Ellen Watkins Harper, seorang pembaharu Afrika-Amerika, mengingatkan dari pengalamannya bahwa menjadi orang kulit hitam berarti setiap orang kulit putih, termasuk setiap wanita kelas pekerja, bias mendiskriminasikan Anda. Sebab pada umumnya feminis Barat dan kulit putih selalu memandang diri mereka lebih tinggi dibanding lainnya

Di Amerika Serikat dan Inggris, gerakan feminis mengembangkan keanggotaan yang relatif heterogen. Meskipun demikian, wanita yang sadar terhadap pembagian kelas biasanya tetap memilih untuk tidak mengidentifikasikan diri mereka sebagai feminis. Walaupun pada saat yang sama, mereka juga sama-sama berjuang melawan penindasan gender. Wanita-wanita ini menganggap diri mereka sebagai sosialis, dan feminis dianggap sebagai musuh utama mereka.Ini karena mereka melihat feminisme mengecilkan perjuangan kelas pekerja melawan kapitalis. Maka kebanyakan kritikus feminisme kemudian mempertanyakan, haruskah wanita-wanita ini dimasukkan dalam sejarah feminisme? Bagaimana dengan wanita pekerja yang berjuang untuk memperbaiki situasi materi mereka dan keluarga mereka?[12]

Di Indonesia, kaum feminis yang mengkampanyekan perempuan untuk berkiprah di ranah publik, pada saat yang sama justru memperkerjakan perempuan sebagai pembantu di rumahnya. Bahkan, mereka sering diindikasikan sebagai pihak yang menolak kenaikan gaji pembantu rumah tangga.

Demikianlah liku-liku perjalanan ideologi feminisme yang berkembang dengan memanfaatkan sisi emosional perempuan, namun pada akhirnya juga tidak ramah dengan kaumnya sendiri.

(Baca selengkapnya di Jurnal Islamia, ‘Pembebasan Nusantara: Antara Islamisasi dan Kolonialisasi’, Vol. VII, No. 2, 2012).

 


[1]Burkett, Elinor, Feminism,dalam Encyclopaedia Britannica 2007 Ultimate Reference Suite, Version 2007

[2] LeGates, Marlene, 2001, In Their Time, A History of Feminism in Western Society, Routledge, New York & London, hal. 2

[3] Osborne, Susan, 2001, Feminism, Pocket Essentials, Herts, Great Britain, hal. 8

[4] LeGates, Marlene, 2001, loc. Cit., hal. 2

[5]Reinharz, Shulaimit, 2005, Metode-metode Feminis dalam Penelitian Sosial,(Feminist Methods in Social Research, penerj. Lisabona Rahman dan J. Bambang Agung) Women Research Institute, Jakarta, hal. 5

[6] Gross, Rita M.,1996, Feminism and Religion: An Introduction,Beacon Press, Boston, USA, hal.16

[7] Ingram, Martin, 2005, Men and women in late medieval and early modern times, dalam English Historical Review Vol. CXX No. 487, Oxford University Press, hal. 734

[8] Franzmann, Majella,Women and Religion, Oxford University Press, hal. 7-8, lihat juga http://www.yale.edu/divinity/news/070713_news_russell.shtml, diunduh9/1/2012

[9] Johnson, Allan G., (2000) “Patriarchy, the System: An It, Not a He, a Them, or an Us,” dalam Women’s Lives: Multicultural Perspectives, dalam Gwyn Kirk and Margo Okazawa-Rey (eds), New York: McGraw Hill, hal. 29–30 dalam Etin Anwar, 2006, Gender and Self in Islam, Routledge, New York, hal. 5

[10] Ingram, Martin, 2005, loc. Cit., hal. 734

[11] Gross, Rita M.,1996, loc. Cit.,hal.17

[12] LeGates, Marlene, 2001, loc. Cit., hal. 3-4

 

Leave a Reply