Home Artikel Etika Menuntut Ilmu Dalam Islam (1)

Etika Menuntut Ilmu Dalam Islam (1)

14467
1

Oleh: Imam Zamroji (Dosen STID M Natsir Jakarta)

Hakikat ilmu bukanlah sekadar pengetahuan atau kepandaian yang dapat dipakai untuk memperoleh sesuatu, tetapi merupakan cahaya (nûr) yang dapat menerangi jiwa untuk berbuat dan bertingkah laku yang baik. Dari sini tidak terdapat perbedaan antara “ilmu agama” dengan “ilmu umum”. Mencari ilmu bertujuan untuk semakin taqwa atau khasyyah kepada Allah.

 

            Agar berhasil dalam menuntut ilmu, seorang Muslim harus mempunyai sifat atau etika:  ikhlas, senantiasa berdo`a, bersungguh-sungguh, menjauhi kemaksiatan, tidak malu dan tidak sombong, dan mengamalkan dan menyebarkan ilmu.

 

 Definisi Ilmu

Kata ilmu dalam bahasa Indonesia berasal dari kata al-‘ilmu dalam bahasa Arab. Secara bahasa (etimologi) kata al-‘ilmu adalah bentuk masdar atau kata sifat dari kata `alima – ya`lamu- `ilman. Dijelaskan bahwa lawan kata dari al-‘ilmu adalah al-jahl (bodoh/tidak tahu). Sehingga jika dikatakan alimtu asy-syai’a berarti “saya mengetahui sesuatu”. 

Sementara secara istilah (terminologi) ilmu berarti pemahaman tentang hakikat sesuatu[1]. Ia juga merupakan pengetahuan tentang sesuatu yang diketahui dari dzat (esensi), sifat dan makna sebagaimana adanya[2]. Sedangkan dalam kitab Tafsir Aisar at-Tafaasir dijelaskan bahwa:

 

الْعِلْمُ سَبِيْلُ الْخَشْيَةِ فَمَنْ لَا عِلْمَ لَهُ بِاللهِ فَلَا خَشْيَةً لَهُ إِنَّمَا يَخْشَى اللهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءِ

            “Ilmu itu adalah jalan menuju rasa takut kepada Allah, barang siapa yang tidak mengenal Allah, maka dia tidak mempunyai rasa takut pada-Nya.  Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama”[3].

 

            Penjelasan di atas berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat Fathir ayat 28, yaitu:


Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.

Adapun yang dimaksudkan dengan al-Khasyyah (rasa takut) menurut Sa`id bin Jubair adalah sesuatu yang menghalangi antara engkau dengan maksiat kepada Allah SWT[4].

Menurut Ibn at-Taimiyah ilmu adalah apa yang datangnya dari Nabi SAW. yang berfungsi sebagai petunjuk jalan yang sangat diperlukan bagi manusia dalam mengarungi kehidupan. Apakah dia akan sukses dalam mengarungi kehidupannya ataukah sebaliknya, sangatlah tergantung dengan sejauh mana ia kuat dalam memegangi ilmu. Dan yang dimaksudkan dengan ilmu yang dapat dijadikan petunjuk kepada jalan keselamatan itu adalah ilmu yang diajarkan oleh Rasulullah SAW. Ibn at-Taimiyah mengatakan: “Barang siapa meninggalkan petunjuk jalan, ia tersesat di jalan dan tidak ada petunjuk jalan kecuali apa yang dibawa oleh Rasulullah.“[5]

Senada dengan Ibn at-Taimiyah, Ahmad Karzun memandang ilmu itu sebagai panglima sedangkan amal itu pengikutnya. Ia mengatakan bahwa sesungguhnya ilmu adalah panglimanya, sedang amal pengikutnya. Setiap amal yang tidak berpedoman kepada ilmu dan tidak mengikuti bimbingan ilmu, maka amal itu tidak berguna bagi pelakunya bahkan dapat membahayakannya”.  Karena itu sebagian ulama salaf berkata: “Barang siapa beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka apa yang ia rusak lebih banyak dari apa yang ia perbaiki”. Jadi, ilmu adalah tolak ukur dan standar utama kebenaran. 

Sedangkan Ibn Hajar al-Asqalani, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ilmu adalah ilmu syari`at. Hal ini beliau ketengahkan ketika menafsirkan  Firman Allah SWT dalam surat Thaha ayat 114:

  

Dan Katakanlah: “Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan.”

Beliau menjelaskan lebih jauh tentang keutamaan ilmu:

Sangat jelas menunjukkan keutamaan ilmu karena Allah tidak pernah menyuruh Nabi SAW untuk meminta tambahan apapun, kecuali ilmu. Maksud ilmu di sini adalah ilmu syari’at yang berguna untuk mengetahui apa-apa yang diwajibkan pada setiap orang yang mukallaf dari urusan agamanya, seperti ibadah, muamalah, berilmu dengan asma’ wa sifat Allah, kewajiban-keawijibannya harus ditunaikan dari apa yang diperintahkan kepadanya, membersihkan sifat-sifat Allah yang dikurangi , dan yang berkisar sekitarnya dari tafsir, hadits, serta fiqih.

 

Sedangkan menurut Quraisy Syihab, jika dikembalikan kepada Al-Qur’an, maka yang disebut orang ‘alim ialah orang yang pengetahuannya menimbulkan sifat khasyyah (takut) kepada Allah. Ada korelasi antara ilmu dengan khasyyah, karena keberagamaan itu inheren dengan ilmu. Sehingga dapat dikatakan bahwa hanya orang berilmulah yang dapat mencapai puncak khasyyah kepada Allah. Dengan demikian, jika ada orang berilmu namun tidak memiliki sikap keberagamaan yang kokoh, berarti ilmunya tidak bermanfaat. Bahkan, orang yang berilmu namun melepaskan tanggung jawabnya karena mengikuti hawa nafsu, dalam Al-Qur`an diumpamakan seperti seekor anjing yang tetap menjulurkan lidahnya, baik dihalau maupun dibiarkan. Allah berfirman surat al-A’raf ayat 175-176:


Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaitan (sampai Dia tergoda), Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, Sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir.[6]

 

Dengan demikian, hakikat ilmu bukanlah sekadar pengetahuan atau kepandaian yang dapat dipakai untuk memperoleh sesuatu, tetapi merupakan cahaya (nûr) yang dapat menerangi jiwa untuk berbuat dan bertingkah laku yang baik. Dari sini tidak terdapat perbedaan antara “ilmu agama” dengan “ilmu umum”. Fiqih tidak lebih utama daripada sejarah atau matematika, selama semuanya menuju khasyyah kepada Allah.[7]

Dari pembahasan di atas, dapatlah ditarik rumusan tentang beberapa paradigma tentang ilmu yang bersumber dari nash-nash Al-Qur`an dan hadits, serta penjelasan para ulama. Beberapa paradigma tersebut dapat digunakan sebagai pisau analisa terhadap tepat atau tidaknya penggunaan istilah ilmu yang berkembang dewasa ini, serta mengungkapkan ruh Islam yang terkandung dari istilah ilmu tersebut. Beberapa paradigma tersebut adalah:

a.    Yang disebut ilmu adalah apa yang datang dari Allah SWT, baik yang berpangkal dari ayat-ayat tanziliyah yang bersumber dari wahyu maupun ayat-ayat kauniyah yang terbentang di alam jagad raya.

b.    Ilmu itu sebagai panglima sedangkan amal sebagai pengikutnya.

c.    Ilmu itu adalah jalan menuju rasa takut kepada Allah (khasyyah) dan rasa takut kepada Allah adalah sesuatu yang dapat memisahkan seseorang dari berbuat maksiat kepada-Nya.

 

A.    Keutamaan Ilmu dan Menuntut Ilmu

Islam adalah agama yang sangat menjunjung tinggi ilmu, karena itu Islam menempatkan orang yang memiliki ilmu pada tempat yang istimewa dan strategis. Sebaliknya Islam memberikan kecaman terhadap kebodohan dan orang-orang yang enggan untuk menuntut ilmu. Maka tidak mengherankan jika kejayaan Islam hanya akan bisa diraih jika kaum Muslimin mampu menguasai lapangan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat kita perhatikan dalam banyak ayat Al-Qur`an dan Hadits, serta penjelasan para ulama.

Ada banyak penjelasan dalam Islam mengenai keutamaan ilmu dan para penuntut ilmu. Islam dengan sangat tegas memandang bahwa ilmu itu bagaikan kehidupan dan cahaya, sebab tidak akan ada kehidupan jika tidak ada cahaya dan cahaya itu adalah ilmu. Sedangkan kebodohan itu adalah sumber dari segala kehancuran. Kehancuran yang berpangkal dari kegelapan karena tiada ilmu dan akan berujung pada kematian. Allah SWT berfirman dalam Surat al-An’am ayat 122:


 

Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan.[8]

Ketika menjelaskan ayat di atas, Al-Hafidz Ibn Katsir rahimahullah berkata:  “Ini merupakan sebuah misal yang telah Allah Ta’ala umpamakan untuk orang Mu’min yang dulunya mati (berada dalam kesesatan, kehancuran serta kebingungan), kemudian dihidupkan oleh Allah dengan iman, dan memberikan petunjuk serta taufik kepadanya dalam it-tiba’ para rasul-Nya.{Dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia}, yaitu : dengannya ia mendapatkan petunjuk, bagaimana ia bertindak  serta bersikap. Dan cahaya yang dimaksud di sini adalah Al-Qur’an, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Al-’Aufi dan Ibn Abi Tholhah dari Ibn Abbas ra. Sedangkan As-Suddi berpendapat: cahaya yang dimaksud di sini adalah Islam.[9]

Begitupun menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyah rahimahullah, ia menjelaskan bahwa ilmu adalah kehidupan dan cahaya, sedangkan kebodohan adalah kematian dan kegelapan. Semua kejahatan dan keburukan penyebabnya ialah tidak adanya kehidupan dan cahaya.[10]

Karena itulah Islam sangat memuliakan para penuntut ilmu. Salah satu bentuk pemuliaan itu adalah dengan diberikannya janji surga bagi seorang penuntut ilmu yang senantiasa komitmen dan sabar dalam menuntut ilmu. Kerinduan seseorang untuk dimasukkan ke dalam surga dan keengganan seseorang dimasukkan ke dalam neraka, sangat bergantung sejauh mana komitmen dan kesabaran  seseorang dalam aktivitas menuntut ilmu. Ketika seseorang memiliki kesungguhan dalam menuntut ilmu, terbuka luas jalan membentang baginya menuju surga, namun sebaliknya keengganan seseorang dalam menuntut ilmu, ancaman adzab neraka sangat pantas baginya. Hal ini menunjukkan betapa kemuliaan yang diberikan oleh Islam terhadap aktivitas menuntut ilmu dan ini sekaligus menjelaskan akan penghargaan Islam terhadap ilmu.

Mengenai janji surga yang diberikan kepada para penuntut ilmu dapat dilihat dalam sabda Rasulullah SAW berikut:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ بِهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إلَى الجَنَّةِ

“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menggapai ilmu, maka Allah memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Abu Daud, At Timridzi, Ibn Hibban, dan Al Baihaqi, dari sahabat Abu Darda ra)[11]

Sementara penyesalan orang-orang bodoh yang tidak mau mendengarkan peringatan Allah SWT, dijelaskan dalam Surat  al-Mulk ayat 10-11:


Dan mereka berkata: “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. Mereka mengakui dosa mereka. Maka kebinasaanlah

bagi penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala.[12]

Ayat dan hadits tersebut menegaskan beberapa hal penting:

Pertama, menuntut ilmu syar’i memudahkan jalan menuju surga dengan dua makna. Pertama, Allah akan memudahkan para thalib al-ilmi -yang memiliki tujuan hanya untuk mencari keridhaan Allah semata dalam mendapatkan ilmu, mengambil manfaat dari ilmu syar’i dan mengamalkan konsekuensinya- untuk memasuki surga-Nya. Kedua, Allah akan memudahkan baginya jalan ke surga pada hari kiamat ketika ia melewati “shirath” dan dimudahkan dari berbagai ketakutan, baik sebelum maupun sesudahnya.

Kedua, lalai menuntut ilmu adalah jalan menuju neraka. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah berkata:

Allah SWT menjelaskan, bahwa di antara sifat penghuni neraka adalah bodoh, dan Dia menutup pintu-pintu ilmu bagi mereka. Allah SWT melukiskan orang-orang yang celaka itu tidak mempunyai ilmu. Selain itu Ia menyerupakan mereka terkadang dengan binatang ternak, terkadang dengan keledai yang mengangkut muatan.

 

Ini menunjukkan buruknya kebodohan, kecaman untuk orang-orang bodoh, dan murka Allah SWT terhadap mereka. Sementara di sisi lain, Allah SWT mencintai ahlul ilmi, memuji mereka, dan menyanjung mereka[13]. Jelaslah bahwa orang yang berilmu dengan orang yang tidak berilmu (bodoh) memiliki kedudukan berbeda dalam Islam. Karena itu Allah SWT menolak menyamakan antara orang berilmu dengan orang yang tidak berilmu. Hal ini dijelaskan dalam firman-Nya Surat al-Zumar ayat 9:


 

Apakah kamu (orang musyrik) yang lebih beruntung ataukah orang yang beribadah pada waktu malam dengan sujud dan berdiri, karena takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya ? Katakanlah : “ Apakah sama orang- orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui ?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.[14]       

          Dengan demikian jelaslah bahwa dalam Islam orang berilmu dengan yang tidak berilmu memiliki kedudukan yang berbeda. Bahkan perbedaan itu disamakan oleh Allah dengan perbedaan antara penghuni surga dengan penghuni neraka, sebagaimana dalam firmanNya Surat al-Hasyr ayat 20 :

Tidak sama para penghuni neraka dengan para penghuni surga; para penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung. ”[15]

Karena sebagaimana dijelaskan di atas bahwa janji yang diberikan bagi para penuntut ilmu adalah surga sementara janji yang diberikan kepada orang-orang yang tidak memiliki ilmu adalah neraka. Ini menunjukkan tentang puncak dari keutamaan dan kemuliaan orang yang berilmu.

Keutamaan dan kemuliaan orang yang berilmu ini juga tercermin dari diperbolehkannya iri (hasad)  terhadap orang yang berilmu. Padahal iri adalah sifat tercela dan tidak layak menjadi perangainya orang-orang yang beriman. Larangan iri salah satunya dikarenakan dampak buruk yang diakibatkan oleh sifat iri pada diri seorang Mu`min bahkan orang kafir sekalipun, maka sifat ini dilarang oleh agama.

Namun tidak demikian dengan seseorang yang iri terhadap orang yang berilmu. Karena iri terhadap orang yang berilmu akan berdampak positif bagi orang yang iri, maka iri terhadap orang yang berilmu dibolehkan oleh agama, dan bahkan dipuji. Sebagaimana yang Rasulullah SAW sebutkan dalam haditsnya:

 

لَا حَسَدَ إِلَّا فِي اثْنَتَيْنِ رَجُلٌ اَتَاهُ اللهُ مَالًا فَسَلَّطَ عَلَى هَلْكَتِهِ فِي الحَقِّ وَرَجُلٌ اَتَاهُ اللهُ حِكْمَةً فَهُوَ يَقْضِي بِهَا وَيُعَلِّمُهَا

“Tidak boleh iri hati kecuali kepada dua orang, orang yang diberi  Allah harta kemudian dia menggunakannya di dalam kebenaran dan orang yang diberi Allah hikmah (ilmu) kemudian ia memutuskan (perkara) dengannya dan mengajarkannya.”(HR. Muslim dari sahabat Abdullah bin Mas’ud ra) [16]

Karena itu Syaikh alSa`di[17] membagi hasad menjadi dua macam: hasad madzmum (tercela), dan hasad mamduh (terpuji) dalam setiap keadaan. Yang dimaksud dengan  hasad mamduh adalah sebagaimana pengertian hasad dalam hadits tersebut di atas, dan hasad jenis ini masuk dalam bab Tamannil Khair (mengharapkan kebaikan). Sedangkan yang dimaksudkan dengan hasad madzmum adalah mengharapkan hilangnya nikmat dari orang lain, baik dalam urusan-urusan agama atau dalam urusan-urusan keduniaan. Baik terbesit dalam hati atau dalam bentuk usaha menghilangkan kenikmatan itu. Inilah hasad yang dilarang karena ia merupakan sifat tercela[18]. Sebagaimana yang dijelaskan Rasulullah SAW:

إيَّاكُمْ وَ الْحَسَدَ فَإِنَّ الْحَسَدَ يَأْكُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَأْكُلُ النَّارُ الْحَطَبَ

“Hendaknya kamu jauhi sifat hasad, karena sesungguhnya hasad itu                           bisa merusak kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar”[19].(HR. Abu Dawud dari sahabat Abu Hurairah ra)

Untuk menggali lebih lanjut keutamaan ilmu dalam kehidupan dan kedudukan yang istimewa bagi orang yang berilmu, dapat ditelaah dari pembahasan tafsir ayat keempat dari Surat al-Maidah ayat 4 berikut;

Mereka bertanya kepadamu (Muhammad): “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu. Maka makanlah apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah  sangat cepat perhitungan-Nya[20].

 

Mayoritas ulama menempatkan penjelaan ayat keempat dari surat al-Maidah  ini dalam pembahasan yang berkaitan dengan masalah fiqh (tentang halal atau haramkah binatang hasil tangkapan). Sementara Imam Ibn al-Qayyim al-Jauziyah melihat ayat ini dalam konteks ilmu yang khas. Ia menjelaskan:

Allah SWT mengkategorikan hasil buruan anjing bodoh sebagai bangkai yang haram dimakan dan memperbolehkan memakan hasil buruan anjing terlatih. Ini menunjukkan kemuliaan ilmu, jika tidak ada kemuliaan ilmu, maka antara anjing terlatih dengan anjing bodoh tidak ada perbedaan sama sekali.[21] 

Dengan demikian keutamaan ilmu tidak hanya berlaku bagi manusia, bahkan binatang sekalipun Allah bedakan karena ilmunya. Hal ini disebabkan karena ilmu dapat memberikan perubahan positif kepada pemiliknya.

Keutamaan lain dari ilmu dan para penuntut ilmu adalah disebutkannya aktifitas menuntut ilmu sebagai dzikir. Sekalipun selama ini aktifitas berdzikir seringkali tidak difahami  terkait dengan aktifitas keilmuan. Berdzikir lebih sering difahami sebagai suatu aktifitas membaca kalimat-kalimat dzikir dengan jumlah tertentu dan bahkan sering terkait dengan tempat tertentu. Padahal antara ilmu dan dzikir merupakan sesuatu yang identik, karena aktifitas membaca, merenungkan, memahami ayat-ayat Allah, baik yang tersurat di dalam ayat-ayat tanziliyah maupun ayat-ayat kauniyah yang terbentang luas di alam jagat raya, adalah merupakan aktifitas berdzikir. Sehingga ahl al-Dzikr di dalam Al-Qur`an dimaknai dengan ahl al-ilm, sebagaimana Allah menyebutkan dalam firmanNya surah al-Nahl ayat 43;

  

Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.[22]

Terkait dengan ayat tersebut Ibn al-Qayyim menjelaskan bahwasanya Allah SWT memerintahkan manusia untuk bertanya dan merujuk kepada Ahl  al-Dzikr apabila ada perkara-perkara yang mereka tidak mengetahuinya, dan yang dimaksud dengan Ahl al-Dzikr adalah ahl  al-’Ilmi (orang yang mengetahui) apa yang telah diturunkan kepada para Nabi.[23]


[1] Tim penyusun, Majma` al Lughah al-Arabiyah, al Mu`jam al-Wasith, Cairo: 1980, Jilid 2, hlm. 624.

[2] Kata “ilmu” dan “pengetahuan” atau “ilmu pengetahuan” dalam bahasa Indonesia terkadang dipergunakan sebagai arti dari kata ‘ilm dalam bahasa Arab. Sedangkan untuk kata ma’rifah dari bahasa Arab seringkali hanya diterjemahkan sebagai “pengetahuan”. Dalam terjemahan yang menyangkut definisi, kata ‘ilm diterjemahkan sebagai “ilmu” atau “ilmu pengetahuan” (science) sedangkan kata ma’rifah sebagai “pengetahuan biasa’ atau singkatnya “pengetahuan” (knowledge). Mengenai kata fahm dan fiqh, biasanya kedua kata tersebut diterjemahkan sebagai “pemahaman”. Untuk membedakan keduanya, di sini kata fahm diterjemahkan sebagai “pemahaman” sedangkan kata fiqh diterjemahkan sebagai “pengertian”, yang maksudnya adalah “pemahaman yang lebih mendalam” (Lihat: Abu Bakar Jabir Al-Jazairy, Ilmu dan ulama, Jakarta: Pustaka Azam, 2001, hlm. 19)

[3] Abu Bakar bin Jabir al-Jazairi, Aisar at-Tafâsir li al-Kalam al-`Aliy al-Kabîr, Madinah Al Munawwarah: Maktabah al ‘Ulum al Hikam, 2003, Jilid 4, hlm. 354.

[4] Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq al-Shekh, Lubab at-Tafsir min  Ibni Katsir, terj. Jakarta: Pustaka Imam Syafi`i, 2004,  Jilid 6, hlm. 610

[5] Ibn al-Qayyim Al-Jauziyah, Buah Ilmu, Jakarta: Pustaka Azzam, hlm. 79

[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Saudi Arabia: Mujamma’ Al Malik Fahd li Thiba’at al Mushaf As Syarif Manidah Munawwarah, 1997, hlm. 251

[7]M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur`an: Fungsi dan Peranan Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,  Jakarta: Penerbit Mizan, 2009, hlm. 601-602.

[8] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 208

[9] Ibn Katsir, Tafsir alQur’ân alAdhîm, tahqiq, Sami bin Muhammad Salamah, Saudi Arabia: Dar at Thayyibah, 1999, Jilid 3, hlm. 330.

[10] Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Buah Ilmu, Jakarta: Pustaka Azzam, hlm.18

[11]Muhammad Nashiruddin al AlBani, Sahîh Targhîb wa at-Tarhîb, Jilid 1, hlm. 17

[12] Departeman Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 956.

[13] Ibn al-Qayyim al-Jauzy, Kitab Buah Ilmu, hlm. 34-35.

[14] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 747

[15] Ibid., hlm. 919

[16] Muslim bin al-Hajjah Abu al-Hasan al-Qusyairi al-Naisaburi, Shahîh Muslim, Beirut: Dâr Ihyâ’ At Turâts, tt,  No. 816, Jilid 1, hlm. 559.

[17]Abdurrahman bin Nashir bin Abdullah bin Nashir bin Muhammad Alu Sa’di, Bahjatu Qulûbi al-Abrar wa Qurratu ‘Uyûn al-Akhyar fî Syarhi Jawami’ al Akhyar, Saudi Arabia: Maktabah Ar Rusyd, 2002, hlm. 203.

[18] Ibid.

                [19] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ab bin Ishaq al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, tahqiq, Muhammad Muhyiddin Abu Hamid, Beirut: Maktabah al ‘Asyrîyah, tt, Jilid 4, hlm 276.

[20] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 158.

[21]  Ibn al-Qayyim, Buah Ilmu, hlm.24.

[22] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, hlm. 408

[23] Al-Imam Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, Mausû’ah Al-’Amal Al-Kâmilah, Dâr al-Wafa’, hlm . 147

1 COMMENT

Leave a Reply