Perkembangan teori etika dalam perspektif kalangan feminis mengalami pasang surut dalam kurun yang cukup lama. Hal ini karena mereka mesti melakukan kritik terlebih dahulu terhadap teori-teori etika yang ada, yang dalam peraban Barat berbentuk teori beragam dan telah mapan selama berabad-abad. Hal tersebut disampaikan peneliti INSISTS, Dr. Dinar Dewi Kania, dalam INSISTS Saturday Forum (INSAF) pekan lalu (23/3).
Mereka pada awalnya memang menjadikan pemikiran-pemikiran etika sebelumnya sebagai landasan untuk menyuarakan kesetaraan. Hal itu disebabkan saat itu wanita masih didefinisikan secara konvensional, yaitu dipandang melalui hubungan perempuan dengan laki-laki dan anak-anak. Namun, setelah mengutip beberapa pandangan para filsuf di bidang etika, Dr. Dinar menjelaskan bahwa Etika Barat dianggap feminis terlalu mengagungkan universalitas dan imparsialitas (kenetralan), padahal tidak netral karena ada bias gender.
Kalangan feminis kemudian mengkritik teori etika modern yang menekankan kepada rasionalitas dan sangat merendahkan emosi karena dinilai mengganggu rasio. Mereka bahkan mengajukan pertanyaan etis tentang kasus-kasus yang berkaitan langsung dengan emosi dan pengalaman kebertubuhan perempuan, seperti aborsi; seksualitas (termasuk mempertanyakan heteroseksualitas, pelecehan seksual dan pemerkosaan); media massa dan penggambaran pornografi perempuan; presentasi diri, termasuk citra tubuh dan fashion; dan peran bahasa dalam memperkuat serta mencerminkan subordinasi Perempuan.
Perkembangan lebih lanjut dari usaha konstruksi etika perspektif feminis menghasilkan apa yang mereka sebut ethics of care (etika kepedulian). Karena wanita secara tradisional berfokus pada kebutuhan orang lain, mereka kemudian mengembangkan bahasa kepedulian yang menekankan pentingnya menciptakan dan memelihara hubungan manusia yang intim. Sebaliknya, karena pria secara tradisional mengabdikan diri pada dunia usaha (bisnis, kedokteran, dan hukum), maka pria mengembangkan bahasa keadilan yang menekankan perjanjian kontrak dan hak-hak individu.
Pandangan di atas berangkat dari asumsi hak perempuan yang paling penting adalah hak reproduksi. Hak reproduksi merupakan prasyarat bagi pemenuhan hak-hak perempuan lainnya. Hak reproduksi ini terus terancam, karena kemampuan untuk melahirkan anak adalah kapasitas penting yang dimiliki perempuan dan tidak dimiliki laki-laki, namun sepanjang sejarah hak reproduksi ada di bawah kendali laki-laki dan terdapat keengganan dari berbagai pihak untuk memberikan hak reproduksi tersebut kepada kaum perempuan.
Hasil dari konstruksi ini justru kehadiran persoalan moralitas baru seperti pemerkosaan, lesbianisme, dan kerusakan keutuhan keluarga. Ini karena pemikiran etika di Barat, baik yang klasik dan kritik feminis terhadapnya, maupun hasil konstruksi kalangan feminis sendiri, berangkat dari tradisi spekulatif yang menolak wahyu. Akal dalam Islam tidak dimaknai sebatas rasio atau logika sebagaimana pemikiran Baratn namun juga berdimensi spiritual dan merupakan satu kesatuan dengan qalb dan ruh serta nafs. Karena akal berdimensi spiritual, maka perempuan dalam Islam tidak dianggap sebagai agen moral yang lebih rendah dari laki-laki, karena orang paling bermoral adalah orang yang paling bertakwa, dan kapasitas perempuan sama dengan laki-laki untuk mengejar derajat takwa.
Menurut al-Attas, Allah Swt. telah menunjukkan manusia pengetahuan dan kebebasan yang dijamin Allah swt untuk memilih diantara dua pilihan etis (ethical alternatives): 1) yang dikabarkan kepada dirinya oleh Allah swt sebagai sesuatu yang baik, benar (true), tepat (right), serta adil (just), tetapi juga 2) sesuatu yang buruk (evil), palsu (false), salah (wrong) dan tidak adil (unjust). Hal ini berlaku sama bagi perempuan dan laki-laki.
Slides materi ini dapat diunduh di: Dilema Moralitas Feminisme