Ekofeminisme dan Childfree adalah perwujudan Ego Thanos di dunia nyata
Oleh: Mohammad Syam’un Salim
Bagi penikmat serial Avangers, tentu tidak akan asing dengan nama Thanos. Seorang villain amat sempurna yang digambarkan oleh Marvel cinematic universe. Diciptakan oleh seorang seniman bernama Jim Starlin, karakter Thanos pertama kali muncul dalam cerita bergambar berjudul “The Invisible Iron Man” di bulan Februari, tahun 1973.
Dalam perwujudannya, Thanos dikenal bengis hingga mengiginkan separuh dari populasi dunia menghilang. Alasannya, sebagaimana yang ia katakana sendiri “this universe is finite, its resources finite. If life is left unchecked, life will cease to exist” bahwa keterbatasan alam semesta beserta sumber daya yang ada di dalamnya, akan mengantarkan pada ketiadaan jika dibiarkan. Sebuah alasan serius dan amat filosofis dari sebuah tokoh rekaan belaka.
Tetapi jika gagasan Thanos ini dibaca secara jeli, kita akan menemukan benang merahnya ada pada—salah satunya—gagasan Ekofeminisme. Sebagai bagian dari aliran feminisme, ide-ide ekofeminisme yang mulai berkembang di tahun 1974, menitikberatkan pada isu-isu lingkungan dan ketertindasan pada Perempuan, segala bentuk kekuasaan patriarki, termasuk tuntutan atas kebebasan reproduksi.
Jika diperhatikan, ada dua kata kunci yang mendasari paham ekofeminisme ini. Pertama adalah soal lingkungan atau alam, sedang yang kedua adalah Perempuan. Dua kata kunci ini kemudian dipersatukan dengan satu kesimpulan yang oleh Françoise d’ Eaubonne dalam “Feminism or Death” disebut kekuatan patriarkis “patriarchal power”.
Sebagaimana Thanos dalam serial Avangers, d’ Eaubonne menyimpulkan bahwa alam secara serius mengalami ancaman yang berasal dari pertumbuhan populasi. Pada penjelasan berikutnya, ancaman atas overpopulasi ini ia nisbahkan pada relasi kuasa laki-laki yang terlalu dominan. Atas dua sebab inilah kemudian, para ekofeminis mengajukan tawaran untuk tidak memiliki anak (childfree).
Secara garis besar, gagasan childfree bertumpu pada empat alasan utama. (1) Keinginan untuk menentang superioritas kaum laki-laki, yang kemudian melahirkan (2) tuntutan kebebasan reproduksi. (3) Karena populasi manusia semakin banyak, maka (4) kehadiran seorang anak dianggap sebagai sebuah kesalahan. The Washington Post sampai menulis “having kids is terrible for the environment, so I’m not having any” bahwa memiliki keturunan merupakan tindakan yang payah. Dengan demikian secara tidak langsung, melahirkan seorang anak bisa dikategorikan sebagai perusakan terhadap alam. Sebuah tuduhan amat serius.
Meskipun terkesan dipaksakan, gagasan ini kemudian tumbuh dan mendapat dukungan. Amy Blackstone misalnya, dalam “Childfree by Choice” menyebutkan bahwa kontribusi ekofeminis untuk kebaikan bumi adalah dengan memutuskan tidak memiliki anak. Hal yang sama juga dikatakan oleh Corinne Maier, bahwa problem ekologi merupakan salah satu alasan untuk “No Kids”. Berkeluarga, memiliki keturunan menjadi terdengar jahat di telinga para ekofeminis ini.
Pertanyaannya kemudian, benarkan dengan Childfree persoalan overpopulasi, hingga problem ekologi yang dialami oleh dunia selesai begitu saja? Sebagaimana yang digambarkan oleh Thanos dengan menjentikkan jari jemarinya, 50% dari populasi dunia lenyap, kemudian keseimbangan semesta menjadi dimungkinkan? Mari kita jawab pertanyaan ini dengan kepala dingin, beserta data yang ada.
Selain melewati ideologi ekofeminisme, gambaran atas krisis ekologi yang diwakili oleh overpopulasi juga dinarasikan lewat media film oleh Barat. Nama Thanos dalam serial Avangers bukan satu-satunya. Ada nama Bertrand Zobrist dalam Inferno karya novelis kenamaan Dan Brown, ada pula tokoh Ra’s A Ghul dalam The Dark Knight dsb. Sekalipun plot cerita digambarkan berbeda, tapi basis nalarnya sama; menyalahkan overpopulasi sebagai biang keladi.
Baik Thanos maupun ekofeminis keduanya memiliki banyak sisi problematis. Sebab mereka memandang bahwa persoalan populasi, semata-mata terbatas pada perhitungan matematis yang amat statis, padahal manusia pada dirinya sendiri amatlah dinamis. Sebagai sebuah ideologi, ekofeminis melupakan variabel-variabel lain—selain patriarki, kebebasan reproduksi—seperti persoalan sosial, dinamika politik, masalah ekonomi, pertumbuhan teknologi dst.
Data yang dihimpun oleh Monica Crippa dalam “Fossil CO2 Emission of All World Countries” sebuah riset yang dimotori oleh EU Europe Union tahun 2020, menggambarkan bahwa problem ekologi, tidak berhubungan dengan jenis kelamin, sebagaimana klaim ekofemis juga Thanos. Riset ini menyebutkan bahwa Palau; negara di Kawasan Oseania, sekalipun memiliki populasi amat kecil: hanya 22.204 jiwa, namun penyumbang emisi karbon terbesar per kapita di dunia, dengan besaran 59,88 ton.
Di tahun yang sama, bandingkan dengan India yang hanya menghasilkan emisi karbon 1,89 ton per kapita dengan jumlah populasinya yang kali lipat lebih besar, yakni 1,37 Milyar jumlah penduduknya. Data ini meneguhkan kembali bahwa problem ekologis tidak sesederhana terjadi sebatas pada persoalan gender.
Masalah utamanya justru terdapat pada budaya konsumerisme, yang menghendaki eksploitasi besar-besaran demi memenuhi syahwat keinginan segelintir orang. Melalui apa? Melalui industrialisasi yang dilakukan tanpa ampun. Eksploitasi sumber daya alam seringkali terjadi untuk memuaskan elit yang amat kecil jumlahnya.
Keterbatasan pangan juga kualitas hidup terjadi bukan karena populasi manusia yang meningkat, namun lebih banyak disebabkan oleh monopoli juga dominasi elit terhadap produksi hingga akses distribusi pada pangan tersebut. Artinya pertimbangan pada sisi jumlah atau statistik bukanlah yang utama. Kerusakan ekologi tidak disebabkan oleh overpopulasi.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Mahatma Gandhi “the world has enough for everyone’s needs, but not everyone’s greed”. Besarnya alam semesta sejatinya cukup untuk kebutuhan manusia, tetapi tidak untuk kerakusannya. Maka, masalah utama pada problem ekologi adalah pada mental dan jiwa manusianya, tidak pada besaran jumlanya, apalagi pada jenis kelaminnya. Kerusakan bisa ditimbulkan oleh siapapun, berapapu, dan dengan gender apapun.
Ekofeminisme dengan childfree sebagai gagasan turunannya, tidak ubahnya ego Thanos dengan jentikan jari jemari infinity stone-nya. Bedanya, jika ekofeminisme riil terjadi di alam dunia ini, Thanos merupakan sebuah imajinasi yang riil terjadi di alam pikiran manusia. Dan satu lagi yang sama di antara keduanya: terlalu percaya diri. []MSS