Home Artikel Al-Syarashtani Sang Pelopor

Al-Syarashtani Sang Pelopor

1269
0

kitab al milal wan nihalDiskursus tentang agama-agama dan ketuhanan telah menjadi perhatian ulama-ulama klasik. Salah satu kitab terkenal dalam soal ini adalah al-Milal wa al-Nihal (The Book of Sects and Credo). . Kitab ini adalah monumental Muhammad ibn Abd al-Karim al-Syahrastānī, seorang ulama besar, sejarawan, dan tokoh perbandingan agama abad VI H. Sebagai seorang Muslim, al-Syahrastānī memadukan metode objektif dan subjektif dalam mengkaji agama-agama.

Melalui al-Milal wa an-Nihal al-Syahrastānī menunjukkan kepeloporannya dalam studi agama-agama yang secara objektif memotret objek kajiannya, tetapi sekaligus tetap bersandar pada aqidah Islam. Ia mengkritisi argumentasi rasio yang dianut oleh Ahli Kitab yang dianggap menyimpang dari aqidah Islam.

Nama lengkap al-Syahrastānī adalah Abu al-Fatih Muhammad Abdul Karim Ibn Abi Bakr Ahmad al-Syahrastānī. Nama al-Syahrastānī dinisbatkan pada tempat kelahirannya di Syahrastan, propinsi Khurasan di Persia. Al-Syahrastānī lahir tahun 479 H, dan wafat tahun 548 H/1153 M, dalam usia kurang lebih 70 tahun.

Ulama yang hidup sezaman dan memiliki hubungan yang baik dengannya adalah al-Ghazali. Syahrastānī menuntut ilmu pada para ulama di zamannya dan diantara gurunya yang utama adalah Syaikh Ahmad al-Khawāfī, seorang hakim dari Thūs. Selain al-Milal wa an-Nihal, berikut adalah karyanya: al-Irsyad ila al-’Aqaid al-’Ibad, al-Aqtari fi al-Ushul, al-tarikh al-Hukuma, al-Mushara’ah al-Falasifah, Nihayah al-Iqdam fi Ilm al-Kalam, Al-Juz’u Alladzi la yatajazzu, Syuhbah Aristatalis wa Ibn Sina wa Naqdhiha, dan Nihayah al-Auham. Tentang Ahl al-kitab, misalnya, Al-Syahrastānī menyebut, bahwa mereka adalah yang beragama dengan kitab Taurat dan Injil, yaitu kaum Yahudi dan Nasrani. Keduanya merupakan dua umat terbesar dari keturunan Bani Israil. Syariat agama Yahudi berasal dari Musa a.s. dan kepada mereka dibebankan untuk mengikuti syariat Taurat, yang memuat syariat perintah dan larangan, serta halal dan haram.

Kitab Injil bagi kaum Nasrani diwahyukan kepada Nabi ‘Isa a.s. bertujuan selain meluruskan berbagai penyimpangan kaum Yahudi, sekaligus menyempurnakan ajaran Nabi Musa. Syahrastānī berpendapat bahwa kaum Yahudi dan Nasrani tidaklah mungkin menegakkan ajaran Taurat dan Injil, kecuali mereka menerima dan menegakkan ajaran al-Quran dan menerima syariat Nabi Muhammad saw. Al-Syahrastānī juga menegaskan, bahwa kaum Yahudi dan Nasrani telah mengubah dan mengganti isi kitab suci mereka, padahal Nabi Musa a.s. dan Nabi ‘Isa a.s. telah mengabarkan tentang kedatangan Nabi Muhammad saw.

Sikap mereka inilah yang dikecam dalam al-Quran surat al-Baqarah ayat 89: “…padahal sebelumnya mereka biasa memohon (kedatangan Nabi) untuk mendapat kemenangan atas orang-orang kafir, Maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar kepadanya. Maka la’nat Allah-lah atas orang-orang yang ingkar itu.” (Syahrastānī, hlm.209-210) Dalam melakukan kajiannya, Syahrastānī melakukan kajian serius terhadap Kitab Yahudi.

Ia menemukan, bahwa orang Yahudi menganggap syariat hanya satu. Syariat bermula dari syariat Musa dan mencapai kesempurnaannya juga pada Musa; tidak ada syariat sebelumnya maupun sesudahnya. Menurut mereka, syariat Musa tidak mungkin diubah (nasakh). Nasakh berarti perubahan terhadap perintah Allah dan ini menurut mereka tidak mungkin terjadi. (Syahrastānī , hlm. 213) Tentang kaum Nasrani, Syahrastānī membahas dua hal, yakni tentang al-Masih ‘Isa ibn Maryam dan tentang Paulus. Tentang al-Masih ‘Isa ibn Maryam, Syahrastānī mencatat adanya perselisihan pendapat di kalangan murid-muridnya menyangkut penyatuan unsur Tuhan dengan unsur manusia dalam diri ‘Isa. Sebagian murid Nabi ‘Isa a.s. percaya bahwa ruh ketuhanan dapat menjelma dalam bentuk manusia, sebagian lainnya menyatakan ruh ketuhanan bercampur dengan ruh manusia dalam jasadnya, seperti percampuran air dengan susu. (Syahrastānī , hlm. 221).

Dari semua klaim kaum Nasrani tentang al-Masil Ibn Maryam, Syahrastānī berpendapat Isa a.s. adalah Rasulullah dan Kalimah Allah, dan sebenar-benar utusan Allah sesudah Musa a.s. seperti yang diberitakan kepada Bani Israil di dalam Taurat. Isa a.s. dengan izin Allah, memiliki beberapa mukjizat utama, seperti dapat menghidupkan orang yang mati, menyembuhkan orang buta, dilahirkan tanpa proses kejadian manusia biasa, dapat berbicara ketika dalam buaian tanpa belajar terlebih dahulu, dan memerima wahyu Allah ketika dalam buaian tatkala menyampaikan kebenaran tentang ibunya.

Ia menyampaikan wahyu ketika berusia tiga puluh tahun, dan masa penyampaian wahyu yang relatif sangat singkat, yaitu tiga tahun, tiga bulan, dan tiga hari. (Syahrastānī , hlm. 221, lihat juga Ibn Hazm, tanpa tahun, Kitab al-Fasl fi al-Milal wa al-Ahwa’ wa al-Nihal, Beirut:Dar al-Jil hlm 1:78). Tentang Paulus, Syahrastānī menilai bahwa Paulus telah mengubah wasiat Nabi Isa a.s. dan mencampur adukkan ucapan al-Masih dengan ucapan para filosof. Pauluslah yang merusak ajaran Tauhid yang diajarkan Isa a.s. seperti firman Allah dalam surah Maryam 19:88-92, yang menjelaskan tentang kemurkaan Allah gara-gara kaum Nasrani menuduh Allah Yang Pemurah mempunyai anak.

Ia mengajarkan Injil kepada empat orang muridnya yang bernama Matius, Lukas, Markus dan Yohanes, yang akhirnya menjadi inti ajaran Kristen sekarang ini, dengan doktrin utamanya, “Kepada-Ku telah diberikan kuasa di sorga dan di bumi. Karena itu pergilah, jadikan semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus” (Matius 28: 18-19) dan “Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah” (Yohanes 1: 1). (Syahrastānī, hlm. 222) Pandangan Syahrastānī tentang agama Yahudi dan Nasrani, dalam al-Milal wa an-Nihal terkadang bersifat eksplisit, jelas dan gamblang, tentang penolakan beberapa hal tentang kaum agama Ahli Kitab, yakni Yahudi dan Nasrani. Namun dalam banyak hal Syahrastānī menggambarkan perihal kedua kaum ini secara dan pembaca dibebaskan mengambil kesimpulan tentang apa yang ditulisnya. Kitab al-Milal wa-Nihal yang ditulis pada abad ke-12 M, merupakan kitab pelopor dalam studi agama-agama di dunia. Beratus tahun sebelum orang Barat mengenal studi ini, kaum Muslim telah menjadi pelopornya. (***)

Oleh: Ir. Anita Syaharuddin, M.Pd.I.
Peserta Program Kaderisasi Ulama DDII di Universitas Ibn Khaldun Bogor

Leave a Reply