Assalamualaikum,
Kami mengundang kembali sahabat-sahabat sekalian, untuk hadir pada Diskusi Dua Mingguan INSISTS :
Tema : “Transendentalisme: Kritik Syed Muhammad Naquib al-Attas”
Pembicara : Adnin Armas, MA
Waktu : Sabtu, 13 Dzulqoidah 1433/29 September 2012 M, Pukul 10.00-12.00
Tempat : Ruang Diskusi INSISTS, Jl Kalibata Utara II No 84, Jakarta Selatan.
Diskusi ini terbuka dan silakan konfirmasi kehadiran ke : Shubhi Abdillah (0856 9498 2966/0852 8240 3058). Tempat terbatas.
Menguak Persoalan Di Balik Kesatuan Transenden Agama-Agama
Dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.
Ulil Abshar-Abdalla, “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”. Kompas, Senin, 18 November 2002
|
|||
|
Hiruk pikuk kehidupan modern yang begitu gemar pada segala yang rasional dan selalu menuntut bukti empiris telah mengantarkan manusia pada titik nadir kegersangan spiritual yang dalam. Manusia-manusia di berbagai penjuru kota dunia telah terpojok pada rasa frustrasi yang sangat karena kegagalan mencapai kebahagian, ketenangan jiwa, dan keselarasan hidup. Jiwa manusia di musim globalisasi yang gersang semacam ini merindukan hal-hal spiritual, suatu pengalaman batin tentang yang ghaib.
Namun halnya demikian, mereka telah pula mengalami trauma terhadap agama yang dianggap kaku dan mengekang kebebasan. Agama terlalu banyak memuat aturan, perintah, dan larangan. Sementara manusia urban yang menggeliat di berbagai megapolitan justru menginginkan kebebasan. Yang diperlukan ialah spiritualitas, tanpa sekat-sekat agama yang padat. Toh agama, dalam anggapan kaum urban ini, telah lama bertikai dengan akal dan sains. Karenanya agama yang memusingkan macam itu tak perlu diungkit kembali. Cukup spiritualitasnya saja.
Di dunia yang semacam itu, lahir sebuah paham yang menenteramkan dan seolah memberi jalan keluar bagi manusia. Sebuah ajaran mengenai Kesatuan Transenden Agama-Agama. Paham ini mengangankan robohnya sekat-sekat antar agama, di mana semua agama dapat berdamai dan berjalan bersama menuju keselamatan dan kebenaran yang diinginkan semua manusia. Paham ini mewartakan pandangan baru tentang kebenaran, bahwa semua agama ialah jalan yang sama-sama sah dan sama pula benarnya menuju Tuhan yang sama. Maka kebenaran dan keselamatan menjadi begitu lumer. Setiap agama, apa pun nama dan bagaimana pun bentuk ritusnya, ialah sama-sama jalan yang sah menuju keselamatan dan kebenaran yang diangankan sebagai abadi.
Perbedaan pada praktik-praktik peribadatan dalam berbagai agama tak lagi dianggap sebagai hal yang mampu menyekat-nyekat kebenaran. Perbedaan semacam itu dianggap perbedaan di sisi luar agama atau mereka namakan sebagai wilayah eksoterik agama-agama. Sementara sisi batin, sisi yang hakikat dari semua agama, ialah sama dan mereka menyebutnya sebagai wilayah esoterik agama-agama. Pada wilayah eksoterik agama memang berbeda, namun di wilayah eksoterik semua agama menyatu menuju Tuhan yang Tunggal, begitu paham ini mengajarkan.
Dan Tuhan dalam ajaran ini tentu saja bukan Tuhan sebagaimana yang diajarkan Islam. Tuhan bagi mereka ialah Tuhan Universal Yang Esa (The One Universal God). Nama-nama Tuhan ini bisa berbeda. Setiap agama (dalam anggapan mereka) dapat melafalkannya dengan penyebutan yang tak sama. Jika lah lidah menyebut-Nya dengan cara yang berbeda, dengan bunyi yang tak sama, tetapi lah hakikat yang disebut ialah sama, kata para penganjur paham ini.
Dalam keseharian, Transendentalisme merayap begitu halus dalam kehidupan. Ia bisa menyusup dalam berbagai peristiwa. Toleransi ialah jalur yang cukup sering mereka lalui guna menyebarkan paham ini. Bahwa kita bersaudara dan perbedaan agama tak mesti membuat kita bertentangan, sebab meskipun agama kita berbeda kebaikan tetaplah abadi. Tuhan kita tetap satu. Suatu propaganda yang menarik dan kadang dikemas begitu menyentuh sisi kemanusiaan kita.
Transendentalisme pun menyentuh ilmu pengetahuan. Banyak ilmuan yang kemudian jengah dengan ilmunya sendiri. Bahwa ilmu tidak mengantar kepada kebahagiaan. Bahwa teknologi justru semakin menjauhkan manusia dari kemanusiaannya. Pada akhirnya mereka menginginkan sesuatu yang lebih menyentuh jiwa. Tak heran jika ada Profesor Botani bergelut dengan Samanisme atau ilmuan nuklir yang senang pada Spiritulitas Timur. Ilmu menjadi cair dan seolah tampil dalam wajah yang lebih ramah. Bahwa yang disebut kebenaran tak melulu ada di wilayah akademis dengan disiplin ketat. Di masa lalu pun banyak kebijaksanaan. Di alam perdukunan pun dapat ditemui kebenaran. Ide semacam ini nyaris mengantarkan ilmu pengetahuan pada sisi yang amat tradisional (untuk tak menyebutnya primitif). Tata pengetahuan modern yang kental dengan rasionalisme dan empirisme kemudian dihadapkan kenyataan-kenyataan di luar keduanya. Ufo, Crop-Circle, Samanisme, sampai ilmu ketabiban yang bercampur dengan mitos pun digali.
Lain lagi di arena politik. Tingkah para politikus yang sudah terlalu semrawut memang membuat frustrasi banyak kalangan. Korupsi dan ugal-ugalannya mereka berebut kekuasaan mengirimkan kejengahan tersendiri di tengah masyarakat. Maka ketika hadir seorang politikus berwajah polos, jujur, tidak (atau belum) korupsi, mengayomi, sederhana, dan dekat dengan rakyat, berbondong orang mengerubutinya. Kebaikan dan kepemimpinan tak lagi musti memperhitungkan agama seseorang, toh kebaikan ada di setiap agama. Maka sekat-sekat agama dalam politik diam-diam telah dilipat dan dimasukan ke dalam lemari. Sepotong ajaran Transendentalisme telah menyelinap dalam peristiwa politik kita: Bahwa kebaikan tak memerlukan latar belakang agama, sebab baik ada di setiap agama. Bukankah telah bergeser konsep kebaikan dalam politik itu?
Ada pula ajaran Transendentalisme yang hadir melalui pesan ramah lingkungan. Bahwa alam sesungguhnya memberikan kebaikan dan harus selaras dengan hidup manusia. Oleh karena itu, perlakuan manusia terhadap alam seharusnya sesuai dengan nilai universal: keselarasan hidup antara manusia dan alam. Bukan dengan nilai-nilai agama.
Paham ini pun telah melahirkan suatu tatanan etika dan moralitas baru. Apa yang disebut Islami, dianggap, tidak hanya terkandung dalam al-Qur’an atau pun hadith. Ia menyebar dalam ajaran-ajaran agama lain. Nilai kebaikan dan ajaran sebuah agama tak lagi dipandang sebagai memiliki hubungan yang ketat. Agama dan kebaikan justru makin meleleh. Kebaikan, kata mereka, tidak dapat dimonopoli oleh satu agama.
Kerancuan semakin menjadi tatkala kita mendengar celoteh kaum homoseksual tentang kebaikan. Orientasi seksual bukan ukuran baik buruk menurut mereka. Bahkan ada yang nekat merumuskan landasan keshalehan kaum gay. Katanya, Tuhan tidak melihat orientasi seksual seseorang, melainkan ketakwaannya.
Seruan-seruan kaum transendentalis seolah menawarkan ketenteraman jiwa, kedamaian, dan keabadian. Kengerian pada perang yang meniscayakan terkoyaknya tubuh manusia telah membuat paham ini menjadi tawaran menyejukan di panas jam 12 siang penuh debu serta kebisingan kota-kota megapolitan. Di tengah kecamuk pertentangan yang merajai hari-hari mereka mengulurkan persaudaran universal. Dalam kebingungan kita melalui hari-hari yang kering spiritualitas, mereka menawarkan keteduhan. Namun di dalamnya terdapat ajaran yang justru kabur mengenai kebenaran, keselamatan, dan yang terpenting ialah kerancuan mengenai konsep ketuhanan.
Seruan-seruan kaum transendentalis tak lagi menggunakan kata-kata semacam parennial atau pun Pluralisme. Kata-kata semacam ini memang mudah terbaca oleh kaum Muslim. Tak tanggung, MUI telah mengharamkannya beberapa tahun silam.
Kini seruan-seruan itu lebih halus disampaikan. Banyak orang yang tak terlalu mengerti bagaimana paham ini justru turut serta mengucapkannya. Niatnya mungkin mempromosikan perdamaian, mengajak pada pesaudaraan, atau menentang persengketaan. Sayangnya di sebalik kata-kata tersebut kadang menyelinap ide-ide dari Transendentalisme itu.
Apa yang disebut Transendentalisme kini telah merayap di keseharian kita. Paham itu berseliweran dalam berita televisi, bermacam laman internet, novel, lirik lagu, sampai promosi kebebasan beragama. Tentulah kewaspadaan dari kaum Muslimin sangat diperlukan, sebab paham ini mengalir seperti air sejuk menyentuh jiwa-jiwa yang gersang. Yang tak waspada, bisa jadi terikat olehnya.
Syed Muhammad Naquib al-Attas telah memperingatkan bahaya paham ini sejak puluh tahun lalu. Kemudian ia ejawantahkan kritiknya terhadap Transendentalisme ini dalam bukunya Prolegomena to the Metaphysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995).
Kritik al-Attas menjadi penting untuk ditelaah karena dua hal. Pertama beliau mengkritik dengan tajam inti ajaran ini, yaitu kesatuan transenden agama-agama dalam level esoterik serta problematika konsep Tuhan dalam teori transendentalis. Kedua, al-Attas bersentuhan langsung dengan tokoh-tokoh kelas dunia pengusung paham ini. Seyyed Hosn Nasr, Marthin Ling, dan lainnya. Oleh karena itu kritik al-Attas terhadap transendetalisme ialah kritik pakar pemikiran Islam tingkat dunia terhadap pemikiran para tokoh transendentalis kelas dunia pula. Menelaah pemikiran al-Attas tentang Transendentalisme diharapkan mampu memberikan bekal terhadap kaum muslimin untuk terus waspada terhadap perkembangannya.*
Prof Syed Muhammad Naquib, al-Attas
Syed Muhammad Naquib bin Ali bin Abdullah bin Muhsin al Attas, dilahirkan di Bogor, 5 September 1931. Sejak kecil memperoleh pendidikan Islam dari orangtuanya. Ia memulai pendidikan formalnya sekolah dasar di Johor, Malaysia. Karena adanya pendudukan Jepang di Semenanjung, ia kemudian pindah belajar ke Madrasah al Urwatul Wutsqa, Sukabumi Jawa Barat (1941-1945). Tahun 1946, ia kembali belajar di Johor di Bukit Zahrah School dan English College (1946-1951). Ketika remaja itu, Alatas banyak menghabiskan waktunya untuk membaca di perpustakaan pamannya Ungku Abdul Azis. Kebetulan pamannya seorang pustakawan yang hebat yang menyimpan berbagai manuskrip dan literatur sejarah, buku-buku agama, klasik Barat dan lain-lain. (lihat Wan Mohd Nor Wan Daud dalam Knowledge, Language, Thought and The Civilization of Islam: Essays in Honor of Syed Muhammad Naquib al Attas, UTM, 2010). Pemikiran Al Attas tentang sejarah dan sastra Melayu banyak mempengaruhi cendekiawan Islam Melayu-Indonesia.
Al-Attas menempuh sarjana mudanya di Universiti Malaya. Saat masih kuliah ia berhasil membuat buku Rangkaian Riba’iyat, yang dipublikasikan pertama kali oleh Dewan Bahasa dan Pustaka tahun 1959. Karya klasiknya yang kedua adalah Some Aspects of Sufism as Understood and Practical among the Malays. Ia kemudian melanjutkan studinya di McGill University, dengan beasiswa the Canada Council Fellowship. Disitulah ia berkenalan dengan Sir Hamilton Gibb, Fazlur Rahman, Toshihiko Isuzu dan Hossein Nasr. Di McGill itulah al-Attas memahami pemikiran orientalis dan pembaharu, yang kemudian nanti dikritisinya dengan tajam dan akurat. Ia menyelesaikan masternya tahun 1962 dengan tesis Raniri and the Wujudiyyah of 17th Century Acheh.
Setahun kemudian al-Attas melanjutkan program doktoralnya di School of Oriental and African Studies, University of London. Di sana ia berinteraksi dengan Profesor A.J. Arberry dan Dr. Martin Lings. Ia menyelesaikan program doktoralnya (1965) dengan karyanya yang monumental dan klasik berjudul The Mysticism of Hamzah Fansuri.
Tahun 1970, al-Attas dengan para sahabatnya mendirikan Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) dan ia yang mengusulkan dan merancang penggunaan Bahasa Melayu untuk menggantikan Bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar dalam pengajaran. Ia yang merancang konsep dasar filosofis berdirinya Faculty of Science and Islamic Studes di UKM dan kemudian ia diangkat sebagai Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra Melayu.
Prof al-Attas telah menulis lebih dari 29 buku dan monograf dalam bahasa Inggris dan Melayu. Banyak buku-bukunya yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, yaitu: Arab, Turki, Urdu, Malaysia, Indonesia, Albania, Persia, Perancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, Hindi, Korea dan Albania.
Tahun 1991 Prof al-Attas merancang berdirinya ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization), termasuk lanskap, furniture, dan dekorasi interior bangunannya dengan sentuhan arsitek bangunan Islam yang unik, tradisional dan berkarakter kosmopolitan. Rancang bangun ISTAC karya Prof al-Attas ini, banyak mendapat pujian dari ahli-ahli arsitektur terkemuka dan para cendekiawan.
Adnin Armas, MA
Lahir di Medan, 2 September 1972. Menyelesaikan Pendidikan Menengah di Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor Ponorogo (1992). Menempuh pendidikan sarjana pada International Islamic University Malaysia (IIUM), jurusan Filsafat dan lulus pada tahun 1998. Jenjang Magister dilalui ayah dua orang anak ini pada International Institute of Islamic Thought and Civilizations (ISTAC) jurusan Pemikiran Islam dengan tesis berjudul Fakhruddin ar-Razi on Time¸(2003). Saat ini menjabat sebagai Pimpinan Redaksi Majalah Gontor dan Direktur Eksekutif INSISTS (Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations).