Home Artikel Ahmadiyah dan Hadis Nabi

Ahmadiyah dan Hadis Nabi

1442
0

Sebagaimana  sikapnya terhadap al-Quran, Ahmadiyah juga banyak mencari pembenaran paham-pahamnya pada hadits Nabi Muhammad saw. Dalam Tesis yang saya tulis di Pasca Sarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, saya menemukan banyak kejanggalan tentang penggunaan hadits Nabi oleh Ahmadiyah.  
Dalam tiga doktrin pokok Ahmadiyah, tepatnya masalah Isa Al-Masih, al-Mahdi dan Kenabian, saya menemukan 31 hadis dengan rincian: (a) 20 hadis itsbât, yaitu hadis-hadis yang dijadikan dasar untuk membangun doktrin-doktrin mereka, dan (b) 11 hadis radd, atau bantahan-bantahan terhadap para pengkritik yang menggunakan hadis-hadis tersebut.

Setelah diteliti, ternyata terdapat kekeliruan mendasar, yang tidak lagi masuk pada wilayah ijtihâdi yang masih bisa ditoleransi, namun sudah masuk pada wilayah iftira’ (mengada-ada), sehingga tergolong sesat dan menyesatkan. Berikut contoh kekeliruan tersebut:

Pertama, Kesalahan Metodologis.  Ahmadiyyah sering keliru dalam merujuk sumber dan metode pengambilan rujukan. Contoh, hadis tentang keutamaan Isa a.s.. Mereka sebutkan ada dalam riwayat Ibnu Majah,  tapi ternyata tidak ada dalam riwayat Ibnu Majah, melainkan ada dalam riwayat Ibnu ‘Asakir dan Abu Nu’aim. Contoh lain, hadis Imam Zaman. Mereka menyebutkan riwayat Abu Daud dan Kanz al-‘Umal, padahal tidak terdapat dalam kedua kitab tersebut. Juga tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadits lainnya yang mu’tabar (otoritatif).

Ketidakakuratan dalam mengutip hadis berakibat pada kesalahan memahami hadis, seperti kalimat ya ‘ammi (wahai pamanku) menjadi ya ‘Umar (wahai ‘Umar), terkait hadits khatamul muhajirin (orang yang yang terakhir hijrah). Ini sengaja disandarkan pada Umar, untuk membuktikan bahwa istilah khatam, bukan bermakna terakhir, karena Umar memang bukan orang terakhir yang berhijrah. Padahal, dalam hadits tersebut, jelas disebutkan ammi yang berarti merujuk pada paman Nabi Saw, Abbas, yang justru paling akhir hijrah.   

Ada juga hadits yang dikutip secara tidak lengkap. Seperti yang mereka lakukan terhadap hadis mengenai sifat Al-Mahdi. Mereka hanya mengutip perintah bai’at kepadanya tanpa mengutip ciri dan sifat Al-Mahdi. Hal itu dilakukan karena sifat dan ciri al-Mahdi dalam hadits tersebut sangat jauh berbeda dengan MGA. Parahnya lagi, mereka mengklaim hadis lâ nabiyya ba’di (tidak ada nabi setelahku) sebagai hadis lemah menurut penilaian Imam Tirmidzi. Padahal jika dibaca secara keseluruhan, Imam Tirmidzi menyimpulkan hadis tersebut masuk pada kategori hasan (bagus).

Selain salah dalam hal pengutipan, Ahmadiyyah juga sering salah dalam penggunaan istilah-istilah hadis. Ditemukan beberapa kekeliruan dalam memahami dan menggunakan istilah-istilah ilmu hadis. Contohnya,  menda’ifkan sebuah hadis gara-gara Imam Tirmidzi mengatakan hadis itu gharib (asing). Padahal istilah gharib bukan untuk menjelaskan derajat hadis. Demikian juga tentang hadis munculnya gerhana bulan sebagai tanda munculya Imam Mahdi, dianggap ucapan Nabi padahal itu ucapan seorang tabi’in, generasi sesudah para shahabat Nabi. Ada juga kekeliruan dalam memahami kesimpulan ulama, seperti tentang munculnya 30 nabi palsu yang dianggap da’if oleh Ibnu Hajar. Padahal Ibnu Hajar men-dha’if-kan riwayat yang lainnya.

Karena itu, Ahmadiyah memang secara sengaja tidak memperhatikan validitas sebuah hadis yang dijadikan hujjah. Ini terbukti dari 20 hadis yang mereka gunakan, terdapat 16 hadis yang tidak layak dijadikan hujjah. Sebagai contoh, hadis yang dijadikan argumentasi Ahmadiyah bahwa Imam Mahdi itu identik dengan MGA, adalah hadis terkait tanda munculnya Imam Mahdi itu adanya gerhana bulan dan matahari pada bulan Ramadhan. Adapun hadisnya adalah sebagai berikut, ”Sesungguhnya untuk mahdi kita ada dua tanda yang belum pernah terjadi sejak saat langit dan bumi diciptakan. Gerhana  bulan akan terjadi pada malam pertama bulan ramadhan dan gerhana matahari akan terjadi pada pertengahannya” (HR Al-Daruquthnî,V hlm 11, No:1816).

Setelah diteliti, ditemukan tiga perawi yang bernama Amr bin Syamr, Jabir Bin Yazid Al-Ju’fi Al-Kufi, dan Muhammad Bin Ali. Ketiganya dipandang cacat oleh para ulama Ahli Hadis karena sering membuat hadis palsu. Secara sanad, hadits yang digunakan Ahmadiyah sebagai landasan doktrinnya adalah termasuk hadis maudhu’ (palsu) yang jelas-jelas tidak bisa dijadikan hujjah, apalagi sebagai hujjah sebuah doktrin aqidah. Lebih-lebih, dalam matan (isi) hadits, terdapat pernyataan yang tidak logis, yaitu gerhana bulan di awal bulan, karena semestinya pada pertengahan bulan.

Kedua, Kesalahan dalam Menakwilkan Hadits. Kesalahan lainnya adalah pemahaman hadits oleh Ahmadiyah dilakukan tanpa memperhatikan kaidah-kaidah. Hal ini terjadi karena Ahmadiyah tidak menempuh tahapan-tahapan yang semestinya dilakukan, yaitu: (1) Mengumpulkan semua jalur periwayatan, (2) membandingkannya, karena sebaik-baiknya penafisran hadis adalah sabda Nabi itu sendiri, (3) melihat pemahaman dan pengamalan para sahabat dan tabi’in, (4) memperhatikan penafsiran para ulama dalam berbagai bidang spesialisasinya, seperti para ulama tafsir, hadis, fiqih dan lughah.

Akibatnya, takwil hadits yang dihasilkan sangat rancu. Hal itu tampak jelas saat kaum Ahmadiyah berusaha mentakwilkan semua sifat-sifat Al-Masih yang akan turun pada akhir zaman agar  semua sifat itu ”dipaksakan” identik dengan MGA. Padahal sifat-sifat Al-masih  itu sangat banyak dan rinci, karena haditsnya mencapai derajat mutawatir. Oleh karena itu, akan didapatkan takwil-takwil yang aneh dan lucu misalnya, “memakai dua kain yang berwarna kuning” ditakwil dengan dua penyakit yang diderita oleh MGA, yakni epilepsi dan beser. MGA mengatakan : ‘Terdapat dalam hadits bahwa al-Masih itu turun dengan memakai dua kain yang berwarna kuning, kedua kain itu adalah penyakitku, pertama, pusing kepala yang saking beratnya terkadang membuat aku jatuh ke tanah, dan kedua, beser yang terkadang aku mesti kencing seratus kali dalam sehari.’ (Dhamimah Barahin Ahmadiyah , hlm. 213).
Seorang propagandis Ahmadiyah yaitu Nadzir dalam al-Qaul al-Sharih (hlm.105) menjelaskan bahwa ”kain kuning” dipahami sebagai  penyakit adalah berdasarkan kitab takwil mimpi yaitu  Ta’thirul al-Anâm, disana disebutkan, ‘Kain berwarna kuning menunjukan penyakit, dan lemahnya orang yang memiliki baju tersebut’. Untuk mendapatkan takwil seperti itu mereka tidak merujuk sumber otoritatif seperti kitab ma’ajim (kamus-kamus bahasa Arab), malah menggunakan kitab ta’bir mimpi.

Sejumlah contoh tersebut menunjukkan, bahwa sejatinya, meskipun Ahmadiyah mengutip hadis Nabi Muhammad saw sebagai sandaran pendapatnya, sejatinya mereka telah melakukan pembajakan dan penodaan terhadap hadis Nabi yang mulia. (***)

Leave a Reply