Home Artikel Berebut Cerita Aji Saka

Berebut Cerita Aji Saka

4159
0

Di Tanah Jawa, kisah Aji Saka sangat populer. Ia dianggap sebagai penggambaran proses pembudayaan manusia Jawa. Aji Saka diposisikan sebagai oknum pencipta sistem aksara Jawa (hanacaraka) dan dengan demikian berperan sebagai penanda suatu era “sejarah baru”.  Saking populernya kisah ini, tokoh Aji Saka seringkali dihubungkan dengan cerita legenda semisal terjadinya Bledug Kuwu di Grobogan, Jawa Tengah. Juga dihubungkan dengan keberadaan tradisi Candra Sengkala.(Bratakesawa, 1952: 2)

Karena strategisnya kisah Aji Saka ini, maka muncullah minat sejumlah Orientalis dan misionaris Kristen untuk turut serta mencipta klaim-klaim baru Philip van Akkeren dalam “Sri and Christ: A Study of the Indigenous Church in East Java”, misalnya, berupaya mengkaji kisah Aji Saka dalam Serat Paramayoga karya R. Ng. Ranggawarsita. Hasilnya, Van Akkeren menyimpulkan bahwa Ranggawarsita, pujangga Jawa, memiliki “ketertarikan” terhadap agama Kristen. Alasannya, karya tersebut memuat cerita tentang Nabi Isa. Van Akkeren menyebutkan bahwa sebelum datang ke Jawa, Aji Saka telah masuk ke dalam agama Kristen di Yerusalem.(Akkeren, 1970: 46)

Konklusi Philips van Akkeren ini memiliki pengikut di Indonesia. Bambang Noorsena, tokoh Kristen Orthodoks Syria, dalam buku “Menyongsong Sang Ratu Adil : Perjumpaan Iman Kristen dan Kejawen”  menggambarkan bahwa Aji Saka telah mengalami persentuhan dengan iman Kristen dengan menyembah Tuhan yang Maha Esa melalui Nabi Isa. Selanjutnya Noorsena mengutip pendapat Philip van Akkeren bahwa: ”dalam kisah Ranggawarsita ternyata simpati besar disisihkan bagi Kristus”. (Noorsena, 2007:209-210).

Sebenarnya, isi Paramayoga sendiri banyak mengambil inspirasi dari cerita pewayangan dan kisah para nabi mulai dari Adam hingga Muhammad. Awalnya, Aji Saka berguru kepada Dewa Wisnu di India. Setelah semua ilmu mampu diserap, Dewa Hindhu itu menasihati agar mencari kesejatian hidup dengan melanjutkan berguru kepada seorang imam yang lebih mumpuni bernama Ngusman Ngaji. Pada era itu diceritakan bahwa Nabi Isa sedang mengemban risalah di kalangan Bani Israil. Aji Saka meminta ijin kepada gurunya untuk menjadi sahabat (murid) Nabi Isa. Ngusman Ngaji tidak mengijinkan, sebab ia mengetahui takdir bahwa Aji Saka akan menjadi pengikut setia Nabi Muhammad dan menghuni Pulau Jawa.

Statemen sang guru dalam Paramayoga diuraikan sebagai berikut: Hal ini tidak kuijinkan, sebab engkau kelak harus mengabdikan dirimu sepenuhnya kepada Tuhan, tetapi itu bukan pekerjaanmu. Takdir menghendaki engkau menempuh karir panjang. Telah ditentukan, engkau akan menghuni Pulau Jawa yang panjang, di tenggara India. Jangan lupakan nubuatan ini. Dikemudian hari akan ada nabi lain dari Allah, yang terakhir, yang tidak ada bandingannya, bernama Muhammad, utusan Allah, yang telah memberi cahaya bagi dunia dan dilahirkan di Makkah. Engkau akan menjadi sahabat dekatnya”.(Akkeren, 1970:46).

Paramayoga memang menggambarkan bahwa tokoh Aji Saka yang ditakdirkan berumur panjang sempat bergaul dengan Nabi Isa. Namun sebagaimana pesan gurunya, bukan ”panggilan” melainkan sekedar mengisi ”kekosongan” dalam penantian yang panjang kedatangan Nabi Muhammad. Jika dicermati, kisah Nabi dalam Paramayoga yang dimulai sejak era Adam hingga Nabi Muhammad lebih menunjukkan bahwa karya ini berusaha menampilkan kisah yang berasal dari konsepsi Islam, termasuk kisah tentang Nabi Isa. Sama sekali tidak terdapat cerita bahwa Aji Saka menganut Agama Kristen atau terkait Kristus yang berasal dari konsepsi Kristen. Dengan demikian klaim, Van Akkeren dan Bambang Noorsena bahwa kisah Aji Saka merupakan titik perjumpaan antara Kristen dan Kejawen boleh dikatakan sekedar manipulasi belaka.

 

Bukan akhir kisah

 Mitologi Aji Saka versi Ranggawarsita bukan merupakan akhir dari seluruh kisah. R. Tanaya, budayawan Jawa yang turut memperkenalkan ulang karya-karya Ranggawarsita, mengubah versi Aji Saka bukan lagi berasal dari India melainkan dari Arab. Versi ini berusaha menunjukkan bahwa wacana “Arab” memiliki tempat tersendiri dalam proses transfomasi pembudayaan Jawa. Sultan Algabah, penguasa Timur Tengah, diceritakan telah menerima petunjuk dari Allah agar memberangkatkan misi untuk membudayakan bumi Jawa. Sultan mengutus Aji Saka untuk memimpin rombongan dalam misi itu sebanyak 2 kali. Pada ekspedisi ketiga, rombongan misi ini dipimpin oleh Said Jamhur Muharram menuju ke Kediri, Jawa Timur.(Purwasito, 2002: 51-52). Cerita ini berusaha mengangkat peran Islam sebagai sumber peradaban bagi Jawa.

Dr. Ismail Hamid, pakar sastra di Universiti Kebangsaan Malaysia, menggarisbawahi bahwa sejumlah serat tentang Aji Saka umumnya merupakan bagian dari karya sastra bernafaskan Islam. Ia mencontohkan dengan Serat Aji Saka Angajawi, yang menggambarkan bahwa pengikut Nabi Muhammad yang bernama Aji Saka telah berangkat dari Makkah menuju ke Pulau Jawa untuk menyebarkan Agama Islam.(Ismail Hamid, 1989: 19).

Inti mitologi Aji Saka sebenarnya terletak pada Aksara Jawa yang dianggap sebagai ciptaannya. Aksara Jawa “yang diciptakan” Aji Saka berjumlah 20 buah, karena disesuaikan dengan kerangka mitologinya. Namun jika dihitung sebenarnya aksara Jawa jumlahnya lebih dari 50 buah. Diantara lebih dari 50 aksara tersebut terdapat kumpulan huruf yang disebut sebagai Aksara Rekan yaitu huruf yang secara khusus digunakan untuk menuliskan kata-kata yang berasal dari Bahasa Arab. Huruf yang dimaksud antara lain adalah kha, dza, fa, za, dan gha.(Hadiwaratama, 2008: 39). Dengan menggunakan aksara rekan maka aksara Jawa dapat menuliskan istilah-istilah yang berasal dari konsep Islam seperti khabar, faham, zakat, dan sebagainya. Penyesuaian ini seolah menunjukkan bahwa adanya “persiapan” bagi manusia Jawa untuk menerima Islam lengkap dengan terminologinya.

Meski cukup populer, asal muasal dongeng Aji Saka masih menyisakan misteri yang kabur. Lepas dari semua itu, kisah Aji Saka harus dinilai sekedar sebagai karya sastra belaka. Tapi, perlu diperhatikan, jika dalam kisah mitologi saja ada usaha untuk memanipulasi, apalagi dalam fakta sejarah. Karena itu sudah selayaknya, umat Islam lebih serius mengkaji dan memahami sejarah Islam di Indonesia, agar tidak mudah tertipu oleh penulisan sejarah yang  keliru. (***)

Leave a Reply