Home Artikel Ibn al-Qayyim tentang Agama-agama

Ibn al-Qayyim tentang Agama-agama

1624
0

1Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’ad bin Harîz al-Zar’iy al-Dimasqi Abi Abdillah Syamsuddin, lebih dikenal dengan nama Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah putra seorang ‘âlim yang menjadi dewan kurator (al-Qayyim) madrasah Damsyiq di Jauziyyah. Karena itu ia lebih dikenal dengan sebutan Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah. Beliau lahir di desa Zar’i (propinsi Huran) tanggal 7 Shafar 691 H./1292 M. dan wafat pada malam Kamis, 23 Rajab 751 H./1350 M.

Kepiawaiannya dalam hal ilmu tidak diragukan lagi. Menurut Bakar bin Abdillah Abu Zaid dalam karyanya Ibnu Al-Qayyim al-Jauziyyat Hayâtuhu Atsâruhu Mawâriduhu,  Ibnu Al-Qayyim telah menulis buku sebanyak 96 buku. Di antaranya adalah Kitab Hidâyat al-Hayârâ Fî Ajwibat al-Yahûd Wa al-Nashârâ (Petunjuk bagi orang bingung dalam menjawab kekeliruan orang-orang Yahudi dan Nashrani) yang mengkritik kaum Yahudi, Nashrani, Majusi dan Atheis.

Kitab ini merupakan salah satu kitab yang direkomendasikan oleh Abdullah bin Abdurrahman al-Jibrin (anggota Majelis Fatwa Saudi Arabia) untuk studi ahl al-kitâb di samping kitab Ibn Taimiyyah, Al-Jawâb al-Shahîh Liman Baddala Dîn al-Masîh (Jawaban yang benar bagi orang yang menggantikan agama al-masih). Hal ini menunjukkan bahwa kitab karya Ibn al-Qayyim ini merupakan kitab primer dalam studi ahl al-kitâb (Yahudi-Kristen).

Mengawali tulisan kitabnya ini, Ibn al-Qayyim mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang mengisyaratkan keunggulan al-Islâm dibanding agama-agama lain, yaitu: “Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan.” (Q.S. Ali Imrân [3] : 83). “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S. Ali Imrân [3] : 85)
Berdasarkan dua ayat tersebut, Ibn al-Qayyim kemudian menyatakan dengan tegas: “Tidak ada agama mana pun—baik dahulu atau sekarang—yang diterima di sisi Allah ‘Azza wa Jalla melainkan Islam.”  Dalam pandangan Ibn al-Qayyim, Yahudi, Nashrani, Majusi dan Atheis adalah orang-orang yang terjebak dalam kekeliruan berpikir (adnâ ‘aqlin). Ibn al-Qayyim mengkritik mereka dengan menyatakan:

“Bagaimana orang yang memiliki akal yang kerdil dapat membedakan antara agama yang asas bangunannya berdasarkan pengabdian kepada yang Maha Penyayang, perbuatan yang ikhlas dengan mengharap cinta dan ridha-Nya (baik secara sembunyi atau terang-terangan) dan mengajarkan interaksi sosial yang adil dan baik, dibandingkan dengan agama yang dibangun di tepi jurang neraka;  agama yang dibangun untuk penyembahan kepada api; agama yang mencampurkan keyakinan kepada al-Rahman dengan kepada syaithân; antara setan dengan berhala (autsan); agama yang dibangun untuk pengabdian tiang salib serta gambar yang dipoles oleh para uskup dan biarawan/biarawati;  agama yang mengajarkan untuk beribadah kepada tuhan yang dipahat, mengajarkan tunduk dan sujud kepada pendeta, atau agama kaum yang dibenci, dimana mereka keluar dan lepas dari keridhaan Allah seperti halnya anak panah lepas dari busurnya. Mereka menjauh dari hukum Taurat, bahkan mencampakkannya ke belakang. Mereka menjual ayat-ayat dengan nilai yang sedikit. Demikian pula dengan kelompok yang meyakini bahwa Rabb al-‘Alamîn hanya wujud mutlak dalam pikiran; tidak ada dalam kenyataan.Mereka meyakini bahwa kitab petunjuk tidak diturunkan kepada manusia; tidak pula diutus para rasul; tidak ada syari’at yang perlu ditaati dan rasul yang dipatuhi; tidak ada kehidupan setelah kehidupan dunia; alam ini tidak ada permulaan dan tidak berkesudahan, tidak ada alam kebangkitan dan alam pengumpulan, bahkan tidak ada surga dan tidak ada neraka.”

 

Golongan yang dikritik terakhir di atas, disebut oleh Ibn al-Qayyim sebagai mulhidîn (orang-orang yang mengingkari Tuhan). Sehubungan dengan kebiasaan mereka yang selalu menyandarkan segala persoalan, bahkan menyalahkan kepada waktu atau masa (al-dahr), maka menurut Ibn al-Qayyim, mereka juga layak disebut sebagai kaum dahriyyin, sesuai dengan firman Allah dalam Q.S. Al-Jâtsiyah [45] : 24
Secara umum, dalam pandangan Ibn al-Qayyim, agama itu ada tiga golongan, yaitu: (1) Islam yang telah sempurna dengan diutusnya Nabi Muhammad saw, (2) Ahl al-Kitâb, yakni Yahudi dan Nashrani, dan (3) kaum zindiq yang tidak memiliki kitab, di antaranya Majusi, Shabi`ah, dan Mulhid dari kalangan penganut filsafat.

Ibn al-Qayyim menjelaskan lebih lanjut, “Yahudi adalah umat yang mendapat murka Allah, tukang dusta, tukang fitnah, pengkhianat, pembuat makar dan tipu daya, suka membunuh para nabi, suka makan harta yang haram yakni riba dan suap…. Ucapan salam mereka adalah laknat, apabila berjumpa dengan orang lain mereka menganggap sial. Simbol  mereka adalah kemarahan dan semboyan mereka adalah kemurkaan.”
Tentang agama Nasrani, Ibn al-Qayyim berpendapat, bahwa mereka kaum yang sesatt, karena mereka menganut paham Trinitas (mutsallatsah). Apalagi, mereka juga membolehkan khamar, memakan babi, tidak berkhitan, beribadah dengan benda-benda najis, menghalalkan segala sesuatu mulai nyamuk sampai gajah. Yang halal adalah apa-apa yang dihalalkan oleh pendeta, yang haram apa saja yang diharamkan oleh pendeta dan ritual agama adalah apa-apa yang disyari’atkan oleh pendeta. Pendetalah yang memberi ampunan atas dosa-dosa mereka dan pendeta pula yang dapat menjauhkan mereka dari siksa neraka.

Sementara kaum Zindiq, menurut Ibn al-Qayyim, adalah kaum yang tidak memiliki kitab dan pelaku syirik. Mereka mendustakan para rasul, menghapus syari’at, mengingkari adanya hari kebangkitan, tidak menganut satu agama pun, tidak menyembah Allah, tidak mengesakan-Nya. Bahkan sebagian kaum penganut agama syirik membolehkan setubuh dengan ibu mereka sendiri, dengan anak gadis dan saudara perempuan serta bibi-bibi mereka.
Kritik-kritik tajam para ulama terhadap kepercayaan kaum Yahudi dan Kristen tidaklah menghalangi paara ulama itu untuk membangun tradisi keilmuan dan sikap toleran terhadap agama-agama lain. Sejarah telahn membuktikan hal itu. (****)

Penulis:

Teten Romli Qomaruddin
Mahasiswa S3 Pendidikan Islam—Universitas Ibn Khaldun Bogor 

Leave a Reply