Ketika saya kuliah di Birmingham, setiap hari Rabo kampus kami menawarkan kelas inter-religious dialogue. Biasanya kelas itu dihadiri oleh kawan-kawan yang berbeda-beda agama. Mahasiswa berbagai Negara yang berlainan agama hadir. Kebanyakan dari Afrika, Korea Selatan, dari Malaysia dan beberapa dari India dan Negara lain. Dalam diskusi itu kawan dari Korea menjelaskan, bahwa missionaries Kristen melakukan akulturalisasi ketika mendakwahkan agamanya ke suatu kawasan, bangsa atau budaya. Artinya agar agama itu dapat diterima masyarakat maka harus disesuaikan dengan kultur setempat. Kawan dari Afrika memberi contoh di Afrika anda harus menggambarkan Jesus berkulit hitam, jika tidak masyarakat tidak akan mudah menerima Kristen.
Kuriositas saya tentang masalah ini bukan tanpa alasan. Sebab kini muncul berbagai asumsi bahwa Islam berakulturalisasi dengan berbagai kultur. Di Jawa Islam menyesuaikan dengan budaya Jawa sehingga menjadi Islam Jawa atau kebatinan. Di Lombok menjadi Islam Waktu Telu. Hasilnya, kini terdapat banyak Islam. Cheryl Bernard, dalam saran-sarannya untuk meliberalkan umat Islam perlu diciptakan Islam Amerika, Islam Eropah, Islam Pakistan dsb. Akulturalisasi nampaknya menjadi sarana pendukung pluralisme sosial dan teologis.
Tapi seberapa jauh akulturalisasi untuk agama-agama dimungkinkan, perlu diskusi panjang. Dalam Jurnal American Quarterly Laura Levitt menulis artikel berjudul Impossible Assimilations, American Liberalism, and Jewish Difference :Revisiting Jewish Secularism. Disitu ia menyatakan bahwa Yahudi tidak dapat diliberalkan. Yang mungkin hanyalah sikap inklsif secara sosial atau toleransi. Jika Yahudi memaksakan diri menyesuaikan diri dengan kultur setempat (Barat) maka Yahudi kurang lebih sama saja dengan orang lain. (Jews are just like everybody else only more so). Selajutnya, Levitt mennyatakan.” The containment of Jewish difference within such narrow categoriesas required by liberal pluralism is no longer viable”.
Apakah umat Islam melakukan akulturalisasi atau Islamisasi? Ketika Islam dipraktekkan di Yatsrib, kota itu telah terdapat orang Yahudi dan suku-suku Arab dan tentu telah berkultur plural. Namun, Nabi tidak lantas melakukan akulturalisasi. Tidak terdengar dalam sejarah Islam istilah Islam Makkah atau Islam Madinah, Islam Kufah atau Islam Basrah dsb.
Kota Yatsrib malah diganti namanya menjadi Madinah. Tradisi-tradisi kesukuan yang membawa pertikaian di Islamkan atu diganti dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dari Islam dalam bentuk Piagam Madinah. Yang masuk Islam harus memahami ukhuwwah Islamiyah. Makna-makna nikah, rezeki, ibadah, karim, kebahagiaan dsb dimaknai secara Islam.
Ketika saya kuliah di Malaysia saya mendengar argumen Islamisasi, dan bukan akulturalisasi, dari Prof.Wan Daud. Argumentasinya sederhana. Dengan datar dan tanpa beban ia menyatakan, “wajar jika Barat sekuler melakukan sekularisasi atau liberalisasi, Kristen melakukan Kristenisasi, dan Islam melakukan Islamisasi”.
Nampaknya memang wajar. Dalam sejarahnya suatu peradaban yang dominan akan mempengaruhi peradaban yang kurang dominan atau lemah. Ketika kini Barat dominan, banyak banyak bangsa, budaya dan agama yang terbaratkan. Dimana banyak umat Islam yang terbaratkan, budaya ataupun cara berfikirnya. Ketika Islam dominan di abad 8 hingga 14 banyak kultur yang terislamkan. Di Spanyol banyak orang Eropah yang terislamkan secara cultural (musta’rab).
Hanya bedanya ketika Negara-negara Islam di Baratkan (dijajah), pemiskian sistimatis tidak dapat dipungkiri dan pengayaan negara-negara Barat dijamin pasti. Ketika Muslim diBaratkan pun dekadensi moral tidak terhindarkan. Sementara ketika Spanyol, Persia, Damascus di Islamkan, kawasan itu menjadi maju dan makmur. Makkah dan Madinah tidak bertambah kaya. Begitulah beda westernisasi dan Islamisasi. Jadi akulturalisasi bukan watak peradaban yang kuat seperti Barat atau Islam. Masalahnya, bisakah dua peradaban besar ini saling belajar dari masa lalu.