Beberapa waktu terakhir istilah “akal sehat” menjadi ramai digunakan oleh sebagian orang. Pada dasarnya kita perlu mengapresiasi seruan ini, karena istilah akal sehat merujuk pada kemampuan akal yang bisa menalar sesuatu dengan benar.
Meski demikian, konteks sosial dan politik dari penggunaan istilah tersebut membuatnya mengalami perubahan arti. Istilah akal sehat digunakan sebagai ajrgon bagi posisi politik tertentu, sekaligus untuk menyerang lawan politik.
Kekhawatiran tersebut dikemukakan Direktur Eksekutif INSISTS, Dr. Henri Shalahuddin. “Seakan yang baik-baik hanya ada di dalam kelompoknya, dan yang buruk-buruk ada di kelompok lainnya,” kata beliau saat mengawali pemaparan materi Akal Budi vs. Akal Sehat dalam Pemikiran Islam, di INSISTS Saturday Forum (INSAF), Sabtu (23/02) pekan lalu. Kedua istilah tersebut sebenarnya mengacu pada hakikat yang sama di dalam Islam, yakni ‘aql, tetapi Dr. Henri mengusulkan istilah akal budi untuk digunakan di masa-masa sekarang, supaya terbedakan dari istilah akal sehat yang mengandung muatan politis.
“Dalam kata budi terkandung muatan budi pekerti, akhlak, dan adab,” tambahnya. Beliau lalu menjelaskan makna akal di dalam pemikiran Islam serta pendapat beberapa ulama tentangnya, dengan merujuk langsung ke beberapa karya ulama tersebut. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa ‘aql (akal), qalb (hati), nafs (jiwa), dan ruh adalah entitas yang sama namun beraitan dengan pembahasan yang berbeda-beda.
Ketika berbicara tentang daya pikir, ia disebut ‘aql; ketika berbicara tentang daya merasa dan memperoleh petunjuk Allah, ia disebut qalb; ketika berkaitan dengan urusan-urusan tubuh, ia disebut nafs; sedangkan ketika kembali pada Tuhannya, ia disebut ruh. Hal ini seperti predikat pada seorang laki-laki. Dalam kaitannya dengan anaknya, ia adalah seorang ayah; dengan istrinya, ia adalah seorang suami; dengan gurunya, ia adalah seorang murid; demikian seterusnya.
Karena akal dalam Islam adalah hal yang sama dengan hati, maka ia baru bisa disebut sehat bila hati juga sehat. Ibn Bari, misalnya, menyebut ciri orang yang berakal budi adalah yang memiliki kesabaran dan senantiasa memperoleh nasehat. Dengan demikian, akal mencegah manusia dari jurang kemaksiatan. Ia disebut akal karena menjaga pemiliknya.
Dari sana kemudian muncul istilah qalbun ‘aqlun, yakni kualitas pemahaman seseorang yang layak disebut fahim. Istilah lain dalam pemikiran Islam untuk menyebut orang yang berakal budi adalah kayyis, yakni kemampuan untuk menundukkan nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian.