Mohammad Syam’un Salim – Staff Media & Penerbitan INSISTS
Sabtu 19 Oktober 2019 INSISTS kembali mengadakan Saturday Forum. Tema dan isu yang diangkat kali ini adalah isu yang selalu menemukan relevansinya hampir di setiap zaman; yaitu berkenaan dengan ukhuwah Islamiyyah. Dengan mendatangkan pemateri Hasbi Sen, Pembina yayasan Nur Semesta, isu ukhuwwah Islamiyah ini kemudian dilihat dari kacamata seorang ulama Turki yang disegani dunia: Badiuzzaman Said Nursi.
Isu ukhuwwah Islamiah dan Said Nursi adalah kombinasi yang tidak saja cocok, tapi barangkali memberikan sisi yang khas. Membaca karya-karya Nursi seperti khutbah Syamiah, yang berupa catatan khutbah Siad Nursi, Isyaratul I’jaz, dan magnum opusnya Risalah Nur akan didapati pendekatan yang sangat lembut di satu sisi; dengan menghadirkan permisalan-permisalan sekalipun mengurai persoalan akidah, dan sangat sufistik di sisi lainnya.
Karakteristik ini diakui oleh Hasbi Sen sebagai pendekatan khas yang digunakan oleh Said Nursi, tanpa terkecuali persoalan ukhuwah di tubuh ummat. Pendekat khas ini semakin menemukan titik relevansinya ketika bersinggungan dengan zaman tunggang langgang yang mengenyampingkan porsi-porsi hati “dzauq” dalam persoalan sehari-hari, termasuk di dalamnya ketika berpapasan dengan urusan perbedaan di tubuh umat.
Dalam penjelasannya, Hasbi Sen mengutip pendapat Nursi, seorang muslim kepada muslim lainnya, mestinya kental akan unsur pengorabanannya daripada sebaliknya. Di sini ukhuwwah Islamiyah dibangun lewat loyalitas aqidah atau keimanan yang sama yang dalam bahasa al-Khahtani disebut “al-wala’ fil Islam”. Nursi menambahkan, spectrum ukhuwwah Islamiyah yang berbasis pada iman, akan merekatkan jurang pemisah yang seringkali dibangun hanya atas narasi perbedaan masalah khilafiyah semata.
Maka, bagi Said Nursi, penting untuk umat ini, pada setiap individunya menyoroti dan memusuhi dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum menunjuk-nunjuk kesalahan orang lain—khususnya pada perkara yang sejatinya hanya khilafiyah saja. Dari itu persaudaraan seiman menjadi mungkin untuk dicapai. Sebab ukuran utama dari kecintaan itu ada pada Allah. Kecintaan pada Allah akan menumbuhkan prioritas dalam memandang persaudaran: yaitu seiman. Di sini “asyidd’u ‘ala kuffar, ruhama’ bainahum menemukan relevansinya.
Sang keajaiban zaman (nama lain dari Said Nursi), menyitir al-Qur’an surah al-Hasyr ayat 9; “wa yu’tsiruna ‘ala anfusihim walau kana bihim khashashah” yaitu mau berkorban dan mengalah kepada orang lain—muslim yang lain—meskipun ia sendiri dalam keadaan kesulitan. Artinya, persaudaran yang dilandasi oleh keimanan mestinya menjadi pertimbangan tertinggi atas apapun. Sikap yang demikian bagi Nursi akan menghindarkan umat dari fanatisme ke wilayah-wilayah yang bukan semestinya.
Maka bagi Nursi, fanatisme dalam bentuk apapun—yang tidak berbasis pada keimanan kepada Allah—hanya akan mengakibatkan perpecahan, kebencian, dan permusuhan di antara orang-orang beriman semakin menjadi-jadi, dan ini merupakan bentuk terburuk dari kezaliman. Sifat-sifat ini tidak dapat dibenarkan dalam pandangan hakikat, hikmah, dan agama Islam, yang merupakan representasi dari spirit kemanusiaan yang agung tutur Said Nursi.
Oleh sebab itu, Hasbi Sen dalam simpulannya; menghimbau untuk tidak bersikap partisan. Bahwa ukhuwwah Islamiyah hanya akan dapat diraih dengan menekan ego masing-masing untuk menaruh loyalitas kepada Islam, keimanan dan seputar dari itu, pada tempat tertinggi dalam hirarki kepatuhan dan kesetiaan. Ukhuwah Islamiyah sendiri pada dasarnya disatukan oleh semangat dan akidah yang sama; silatul iman, persaudaraan atas Iman.
Di akhir sesi direktur eksekutif INSISTS, Dr. Henri Shalahudin, memberi closing statement, untuk mendasari iman yang menjadi semangat ukhuwah pada ilmu; bukan bukan pada materil dan turunan lainnya. Ini penting untuk disadari, sebab tanpa ilmu, keimanan akan rapuh dan mudah diterjang oleh pelbagai macam syubhat. Maka ukhuwah Islamiyah idealnya diisi oleh semangat Iman dan dibungkus oleh Ilmu. Di sini makna “imannya berlandaskan pada ilmu, dan ilmunya menguatkan imannya” perlu dipahami dan diamalkan.