Henri Shalahuddin – Peneliti senior INSISTS dan inisiator Zawiya for the Study of Islamic Civilization
Gregorius, Patriark Fener di Istanbul pada awal abad 19 pernah menulis surat kepada Tsar Alexander Rusia sebagai berikut:
“Tidak mungkin mengalahkan dan menghancurkan orang Turki Utsmani dengan kekuatan fisik, karena mereka adalah orang-orang yang gigih, kuat, percaya diri dan bermartabat. Sifat-sifat mereka ini muncul karena pengabdian mereka pada agamanya, ketaatan pada Takdir Ilahi, kekuatan tradisinya, dan ketaatan mereka kepada atasan.
Oleh karena itu, pertama-tama kita harus memusnahkan perasaan ketaatan yang memutuskan ikatan spiritual, dan melemahkan keuletan orang Turki dalam beragama. Ketika moral mereka runtuh, kita akan melucuti Turki dari kekuatan hakiki yang selalu membawa Turki menuju kemenangan, dan dengan demikian kita akan dapat mengalahkan mereka dengan kekuatan fisik. Kemenangan belaka di medan perang, tidak cukup untuk menghancurkan Negara Utsmani. Apa yang harus kita lakukan adalah menyelesaikan penghancuran ini tanpa diketahui oleh Turki.”
Di awal-awal keruntuhan Turki Utsmani penerapan “nasehat” Gregorius di atas ternyata dilaksanakan di masa peralihan pemerintah Republik, di antaranya melalui Lausanne Treaty (1923). Semua ini dilakukan untuk memastikan bahwa kekuatan Islam di zaman Turki Utsmani tidak akan bangkit kembali.
Simbol-simbol yang bisa membangkitkan kejayaan umat harus dijauhkan dari memori umat. Dengan menandatangani Lausanne Treaty (Lozan Sulh Muâhedenâmesi, tahun 1923), otomatis rezim baru Republik Sekular harus melaksanakan pasal-pasal yang memperluas kebebasan bagi kaum minoritas, meskipun dengan mengabaikan hak-hak mayoritas umat Islam.
Dalam masa-masa ini, masjid Ayasofya yang merupakan simbol penaklukan Konstantinopel, tidak luput dari sasaran aksi sekularisasi dengan diubah fungsinya menjadi museum. Peralihan fungsi menjadi museum merupakan penerapan pasal 42 Lausanne Treaty yang menyebutkan Pemerintah Republik Turki harus menjaga gereja-gereja dan tempat ibadah kaum minoritas beserta makam dan seluruh institusi-institusi keagamaan mereka.
Prof. Ahmed Akgündüz (2014) menyatakan bahwa target implisit dari pasal 42 tersebut sebenarnya bertujuan menutup total masjid Ayasofya dan mengubahnya menjadi gereja. Tapi karena statusnya wakaf dan menutupnya merupakan pelanggaran terhadap UU perwakafan, maka tidak ada pilihan lain, pemerintah saat itu mengubahnya menjadi museum, walaupun banyak menteri yang tidak menandatangani keputusan tersebut.
Dalam sebuah pertemuan formal di Inggris yang dilakukan setelah penandatanganan Lausanne Treaty, Lord Curzon atau George Nathaniel Curzon ditanya kenapa Anda mengakui kemerdekaan Republik Turki? Ia menjawab: “Jangan cemas, sebab dari sekarang dan seterusnya kekuatan Turki tidak akan pernah bangkit lagi, sebab kami telah menghancurkan dengan telak sisi fundamental keagamaan dan spiritualnya”.
Nayim, orang Yahudi lainnya menguatkan penjelasan Curzon: “Terima saja kemerdekaan politis untuk Turki, sebab saya telah membuat perjanjian untuk membuat mereka menginjak-injak dengan kaki mereka sendiri segala hal yang berkaitan dengan Islam, baik (kejayaan) masa lalunya maupun tradisi Islamnya”. (Akgündüz: 2014)
Ternyata apa yang dikatakan Curzon dan Nayim bukanlah isapan jempol belaka. Sebab seiring dengan perjalanan waktu, tepatnya sejak tanggal 3 Maret 1924 kekhalifahan Daulah Utsmaniyyah secara total dihapus dari bumi Turki berdasarkan UU nomor 432 pasal 1. Maka semua anggota keluarga Utsmani dilarang tinggal di Turki (pasal 2). Mereka diberi waktu 10 hari sejak diumumkan UU untuk meninggalkan perbatasan Republik Turki (pasal 3), dan dicabut kewarganegaraannya (pasal 4), serta dilarang memiliki properti apa pun di negara Turki (pasal 5).
Setiap anggota keluarga Utsmani yang diasingkan harus dibayar satu kali biaya perjalanan mereka (pasal 6). Di samping itu, mereka juga diharuskan menjual properti mereka di Turki dalam waktu satu tahun. Jika tidak, pasal 7 menyebutkan bahwa pemerintah Turki akan mengambilnya dengan membayar sendiri harganya. (Sinan Meydan, 3 Mart Devrim Kanunları)
Lenyapnya Daulah Utsmaniyyah telah menorehkan tragedi demi tragedi yang memilukan; banyak masjid yang dirusak, madrasah-madrasah keagamaan ditutup, azan dilarang dalam bahasa Arab, penduduk non Muslim dan minoritas mendapatkan kekebasan dan hak-hak mereka secara berlebihan, sementara mayoritas umat Islam tidak mendapatkannya.
Bahkan perayaan hari-hari besar Islam yang sudah berjalan sekitar 900 tahun dilarang. Lebih lanjut juga diceritakan bahwa selama beberapa waktu umat Islam sempat dilarang menjual tasbih, songkok Muslim, dan mushaf al-Qur’an. Sedangkan masyarakat non-Muslim diberi dorongan menjual daging babi dan minuman keras di pasar-pasar.
Prof. Akgündüz juga menjelaskan bahwa selama awal periode berdirinya Republik Turki hingga sebelum tahun 1950 terjadi penjualan aset-aset wakaf. Jumlahnya pun sangat fantastis, yakni berkisar antara 200.000 sampai 300.000 aset wakaf dijual, dan sebagiannya bahkan dijual kepada pihak-pihak non-Muslim.
Runtuhnya Daulah Utsmaniyyah tidak lagi membuat umat Islam sebagai tuan di negerinya sendiri. Alih-alih untuk berkembang, bahkan sekedar untuk mengajarkan Islam kepada anak kandungnya sendiri, di rumah sendiri pun tidak dibenarkan. Tidak terhitung ratusan ribu ulama dihukum mati, dipenjara, dan dipersekusi. Kegiatan dakwah nyaris lumpuh total dari bumi Utsmani. Namun ada sebilangan kecil ulama yang tersisa mendapatkan ilham berdakwah dengan cara unik. Misalnya: menyewa taksi keliling Istanbul, atau mengajak beberapa orang ke sawah membawa peralatan bercocok tanam, tetapi tujuan sebenarnya adalah mengajarkan Islam.
Lambat laun tragedi di Turki ini secara perlahan dialami umat Islam di belahan dunia Islam lainnya. Dari tahun ke tahun, semakin banyak daftar umat Islam dari berbagai negara yang didoakan. Setidaknya sejak tahun 1980an, saya sering mendengar rintihan doa dalam khutbah dan ceramah: “Allahumma-nsur ikhwanana l-Muslimin fi (Ya Allah tolonglah saudara-saudara Muslim kami yang teraniaya di) Palestina, Albania, Chechnya, dst”. Kemudian di tahun 1990an bertambah Lebanon, Bosnia, Iraq, dll., menyusul di tahun 2000an ada lagi Afghanistan, Myanmar, Libya, Syria, dll.
Sejarah kejayaan dan kehancuran terus akan berulang dan dipergilirkan. Mengkaji sejarah bukan untuk meratapi atau membanggakan masa lalu. Dalam setiap perjalanan suatu bangsa terdapat ibrah bagi bangsa lainnya untuk melangkah ke depan, agar tidak terperosok dalam lubang yang sama dua kali. Sejarah ibarat spion yang harus dilihat pengemudi sebelum mempercepat atau mengurangi laju mobilnya untuk mendahului atau berhenti sejenak. Merawat cita-cita, istiqamah menyiapkan generasi, dan bijak dalam menyikapi kondisi merupakan bagian dari mujahadah terpenting di masa kini. Salah memahami akan membuat kita salah mengantisipasi. Mohammad Natsir seorang tokoh Islam terkemuka pernah mengingatkan: jika memadamkan api, padamkan selagi kecil!
Allahumma-rzuq min dzurriyaatina ‘alimina yantafi’u bihim al-‘ibad. Ya Allah karuniailah kami keturunan alim saleh yang bisa memberi manfaat bagi hamba-hambaMu.
Grand Çamlıca Mosque Üsküdar, 3 Maret 2021