Home Artikel Peradaban Fadhilah

Peradaban Fadhilah

1763
0

Mohammed Salim - ReutersFoto : Mohammed Salim/Reuter

Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud
(Pendiri dan mantan direktor Center for Advanced Studies on Islam, Science and Civilization – Universiti Teknologi Malaysia (CASIS-UTM)

Peradaban Islam didefinisikan oleh Prof. Naquib al-Attas (SMN al-Attas, Historical Fact and Fiction, 2011) sebagai: “…hadir dari keragaman kebudayaan orang-orang Muslim di seluruh dunia, sebagai hasil penyebaran unsur-unsur mendasar agama Islam yang telah dihadirkan dari dalam diri mereka sendiri… Segala unsur-unsur yang mendasar dan terpuji dari peradaban pra-Islam yang mengikat orang-orang dan diterima sebagai sesuatu yang sesuai dengan Islam akan menjadi bagian peradaban Islam. Peradaban Islam merupakan peradaban yang hidup dengan nadi yang menggambarkan sebuah proses Islamisasi, bukan dalam pengertian dialektis ‘perkembangan’ secara evolusioner, tetapi dalam pengertian kemajuan yang melibatkan setiap generasi Muslim menuju perwujudan sifat dan ruh asali Islam sebagai sesuatu yang sudah mapan di dalam sejarah; dalam pengertian sebuah pembentangan (unfolding) prinsip-prinsip teoritis dan praktis Islam di dalam kehidupan orang-orangnya; dalam pengertian sebuah perwujudan apa-apa yang inti dan potensi dari Islam di alam kewujudan. Kemajuan, pembentangan, dan perwujudan ini tergantung kepada tingkat ilmu tentang Islam, tentang pencapaian intelektual dan kebudayaan orang-orang Islam di mana hal tersebut (proses) muncul. Dengan demikian, peradaban Islam adalah sebuah perwujudan kesatuan di dalam keragaman, begitu juga sebagai keragaman di dalam kesatuan.”

Peradaban Islam merupakan peradaban yang hidup. Di dalamnya setiap generasi Muslim secara sukarela dan sadar berjuang menuju perwujudan sifat dan ruh asal Islam sebagai sesuatu yang sudah mapan dalam sejarah. Proses ini membentangkan prinsip teoritis dan praktis Islam dalam kehidupan umat muslim, dan mewujudkan apa yang potensial dan esensial di dalam Islam ke dalam alam kewujudan. (Ibid).

Apa yang biasa disebut sebagai Zaman Keemasan Islam (Golden Age of Islam) dapat melibatkan pencapaian yang besar pada aspek-aspek yang berbeda pada masa yang berbeda. Sisi akhlak dan ruhani tentu paling tinggi dicapai pada Zaman Nabi saw yang membentuk dasar dan hakikat peradaban Islam. Sedangkan aspek-aspek lain – aspek sains, ekonomi, kesenian, kebudayaan, dan teknologi– muncul sesudah itu.

George Saliba (G. Saliba, A History of Arabic Astronomy: Planetary Theories During the Golden Age of Islam,1994) menyebutkan, zaman Keemasan Pencapaian Sains Islam seharusnya dipindahkan dari abad ke-9 dan ke-10 M, yang memberikan manfaat kepada warisan saintifik Yunani, ke abad ke-13 dan ke-14. Pada periode ini, sains Islam sejati – sesuatu yang lebih sesuai dengan keperluan keagamaan dan kemasyarakatan – hadir dalam wujud yang sesungguhnya sebagaimana dapat dilihat pada karya al-Jazari (m. 1205) di dalam mekanik, Athir al-Din al-Abhari (c. 1240) di dalam astronomi, Mu’ayyad al-Din al-‘Urdi (m. 1266) di dalam astronomi, Nasir al-Din al-Tusi (m. 1274) di dalam astronomi dan matematika, Qutb al-Din al-Shirazi (m. 1311) di dalam astronomi, Ibn al-Shatir (m. 1375) di dalam astronomi, Kamal al-Din al-Farisi (m. 1320) di dalam Optik, Ibn al-Baytar (m. 1248) di dalam pharmakologi, and Ibn al-Nafis (m. 1288) di dalam kedokteran.

Zaman Keemasan Islam yang sebenar, yang mencerminkan sifat dan ruh sejati manusia berdasarkan Islam didefinisikan dan diukur dengan standar dan kriteria ruhani dan akhlak yang digariskan oleh Nabi dan generasi awal Muslim. Justeru itu zaman Nabi adalah Zaman Keemasan Islam yang sebenar. Prof. Naquib Al-Attas mengingatkan bahwa, “Konsep-konsep seperti perkembangan, dan kemajuan dan kesempurnaan ketika diterapkan kepada kehidupan dan sejarah dan nasib manusia tentu harus merujuk, di dalam Islam, akhirnya kepada sifat sejati dan ruhani manusia.” (al-Attas, Islam and Secularism, 1978 ). Jika tidak, maka itu hanya akan berarti “pengembangan, kemajuan, dan kesempurnaan hewaniah pada manusia.” (Ibid, hlm. 81-82). Kriteria dan standar ruhani dan keunggulan akhlak telah disempurnakan. Kesempurnaan budi pekerti yang suci dari manusia telah dicapai oleh Nabi dan seorang Teladan telah ada mapan untuk sepanjang zaman dan tempat, tiada lapuk oleh waktu  (timeless).

Kebanyakan, jika tidak semua, pencapaian besar peradaban Islam di masa lalu, apakah dalam menghidupkan kembali dan memperbaiki karya-karya dan aspek-aspek tertentu peradaban terdahulu seperti Yunani, Parsi, Cina dan India atau dalam menciptakan karya-karya asli di dalam pelbagai bidang sains, kesenian, kedokteran, dan teknologi, telah banyak dilampaui oleh sumbangan dari bangsa-bangsa dan peradaban lain, khususnya Barat modern. Tetapi pencapaian Islam di dalam sisi akhlak dan ruhani yang telah dicapai oleh Nabi dan para sahabatnya tetap menjadi standar percapaian tertinggi di dalam sejarah manusia.

Oleh karena itu, julukan yang diberikan oleh Marshall Hodgson kepada Muslim pada Zaman kenabian sebagai “Muslim Primitif” dan “Khalifah Primitif” sebagai sesuatu yang sangat menyesatkan karena istilah “primitif” memberikan kesan bahwa agama ini akan mengalami proses perkembangan yang menunggu untuk mencapai kematangan akhir. (Lihat, M.S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization. 3 jilid, 1974, 1: 196; 198-230. 529). Islam pada Zaman Kenabian sudah merupakan Islam yang sempurna, dan Muslim di dalamnya sebagai sebuah keseluruhan merupakan kelompok manusia yang terbaik di kalangan manusia sebagaimana disaksikan oleh al-Qur’an itu sendiri.

Tetapi, Peradaban Islam bukan hanya peradaban akhlak (ethical-moral), karena akhlak, sebagaimana dalam kasus Yunani Kuno dan Barat Modern Sekular, dapat dihasilkan dari akal pikiran dan kesepakatan sosial demokratis. Dalam pandangan saya, projek akhlak modern seperti Global Ethics nampaknya didasarkan kepada pemahaman sekular yang dalam beberapa hal penting, bercanggah dengan dasar-dasar agama. Begitu juga Deklarasi Hak Asasi Manusia dari PBB, yang semuanya tidak menolak dasar suci dan keagamaan sejauh tidak bertentangan dengan kerangka filosofis dan akhlak sekular.

Al-Hadharah al-Fadhilah

Oleh karena dasar peradaban Islam adalah teks suci al-Qur’an dan Sunnah Nabi, dan setiap tindakan dan niat membawa kesucian budi pekerti keagamaan (fadhilah), peradaban Islam dapat disebut sebagai peradaban berbudi pekerti yang berbasis rohani (al-hadharah al-fadhilah). Nabi telah berhasil memberi contoh historis dan mendirikan dasar yang kuat untuk peradaban tersebut. Beliau secara terus menerus mengingatkan para sahabatnya tentang nilai yang sangat penting tentang sisi kualititatif – sisi ruhani dan akhlak – dibandingkan dengan yang bersifat kuantitatif. Nabi Muhamad telah menubuwatkan, meramalkan tentang hal ini setidaknya di dalam dua peristiwa.

Beliau mengatakan bahwa akan ada di masa depan ketika jumlah Muslim akan sangat banyak tetapi kualitas akhlaknya rendah karena cinta mereka terhadap dunia dan takut akan mati: “Kalian akan seperti buih dan sampah yang dibawa oleh aliran air yang deras, dan Allah akan mengambil perasaan takut dari dadamu tentang musuhmu dan memasukkan kelemahan mental dan akhlak ke dalam dadamu.” (HR Abu Daud).

Generasi awal Islam secara terus menerus diingatkan oleh sifat sejati akhlak dan ruhani di dalam perjuangan mereka. Pada masa awal misi beliau, orang-orang kafir menawarkan kepada Nabi ganjaran duniawi dan pada keadaan yang lain, mereka bahkan meminta beliau untuk berdoa kepada Tuhan untuk memberikan kepada dirinya sendiri taman-taman, istana-istana, dan harta emas dan perak; yang secara alamiah ditolaknya, dan menjawab bahwa beliau tidak ditunjuk untuk memperoleh hal-hal tersebut.

Penulis tradisional seperti Ibn Khaldun (m. 1406) dan Jalaludin al-Suyuti (m. 1505) memahami peran utama komponen ruhani dan akhlak di dalam kepemimpinan dan pemerintahan. Analisis ibn Khaldun yang terkenal tentang bangkit dan runtuhnya peradaban khususnya berakar pada kekuatan kualitas ruhani dan akhlak para pemimpin kunci, yang menentukan kualitas kekuatan kelompok tersebut. Bahkan, dia pada dasarnya menggemakan peringatan al-Qur’an dan kenabian bahwa perkembangan sains sekular dan kekayaan kebendaan dari sebuah peradaban yang mapan dapat menyumbang kepada pelemahan kekuatan ruhani dan akhlak, dan solidaritas kelompok. (       A.R. ibn Khaldun, Muqaddimah, terjemahan dengan catatan oleh Franz Rosenthal. 3 jilid. 1958, khususnya. 1: 249-310.)

Seabad kemudian, buku Jalaluddin al-Suyuti yang besar tentang sejarah khalifah sejak pemerintahan Abu Bakar (m. 634 CE) hingga Abdul Aziz al-Mutawakkil ala’lLah Khalifah Abbasiyah yang terakhir (m. 1497), mengandung catatan yang berguna tentang kualitas ruhani, akhlak, intelektual, dan budaya dari individu-individu tersebut, selain dari kekuatan militer dan politik. (     Abd al-Rahman (Jalal Din) al-Suyuti, History of the Caliphs, terjemahan dari bahasa Arab asli oleh H. S. Jarrett. Pertama kali diterbitkan pada 1881, (1970).

Karya-karya yang tertulis mencerminkan genre Cermin bagi para Pangeran (Mirror for the Princes), oleh praktisi seperti Siyasat Nameh oleh Nizam al-Mulk (m. 1092), dan khususnya oleh sarjana-fiqh seperti Nasihat al-Muluk al-Ghazzali (m. 1111) dan karya Melayu dari Nuruddin al-Raniri, Bustan al-Salatin (m. 1648) dan oleh Jawhari al-Bukhari, Taj al-Salatin (yang digunakan oleh alam Melayu sejak awal abad ke-17), jelas menggarisbawahi dasar akhlak yang suci dari pemerintahan politik, yang menyediakan struktur yang menyeluruh dari peradaban Islam. (Lihat, Nizam al-Mulk al-Tusi, Siyar al-Muluk/ Siyasat Nameh (Book of Government), terjemahan dari bahasa Persia oleh by Huber Drake, 1978); Abu Hamid al-Ghazzali, Nasihat al-Muluk (Counsels for Kings), terjemahan dari bahasa Persia oleh F.R.C.Bagley, 1964); Bukhari al-Jauhari, Taj al-Salatin, dirumikan oleh Khalid Hussain,1966).

Kegagalan dari Modernitas Pertama (First Modernity) Barat dan hasil peradaban industrial dan teknologis telah secara berkala menghasilkan krisis ekonomi, ketidakseimbangan ekologis, ekstremitas sosial dan politik, dan ancaman peran nuklir. Cina secara aktif berusaha untuk menjadi peradaban ekologis pertama yang mencoba menggantikan peradaban barat modern. Tetapi, utamanya adalah untuk menangani tantangan ekologisnya sendiri yang muncul dari perubahan teknologis dan ekonomi yang berjalan cepat. Sebagian corak dasar dari sebuah peradaban ekologis sebagaimana didukung oleh kepemimpinan Cina sekarang ini adalah bahwa manusia seharusnya tidak memandang diri mereka sendiri lebih tinggi dari bagian lain dari alam; bahwa hubungan antara manusia dan yang lain seharusnya bersifat setara, bersahabat, dan kesalingbergantungan; bahwa manusia seharusnya merasa berutang kepada alam sebagai sumber asal kita dan untuk memperlakukannya dengan baik; bahwa alam seharusnya tidak dieksploitasi secara berlebihan; bahwa lingkungan dan ekosistem alamiah harus dihormati secara tepat; bahwa prinsip akhlak mesti diikuti untuk menjamin kewajaran antara orang-orang, bangsa-bangsa dan generasi-generasi; bahwa perkembangan yang bersinambungan seharusnya dibuat sebagai tujuan nasional tertinggi sebagaimana hal tersebut bertentangan dengan tujuan perkembangan jangka pendek dan eksploitasi terhadap sumber daya secara berlebihan; dan bahwa hasil dari perkembangan harus dinikmati oleh seluruh anggota masyarakat, bukan hanya oleh kelompok kecil. (Lihat Jiang Chunyun, “Creating an Ecological Civilization”. www.climateandcapitalism.com/2013/03/31/chinese-leader-calls-for-ecological-civilization/accessed 9/6/2015).

Seluruh sifat umum di atas perlu diwujudkan ke dalam pengalaman dan dicontohkan pada tingkat pribadi dan kemasyarakatan, yang mengandaikan sebuah perubahan ruhani dan akhlak secara batin. Hal itu melibatkan perubahan mendasar pada pandangan alam orang-orang mengenai sifat dan nasib manusia dan alam semesta, makna kebahagiaan sejati, dan sebuah perubahan radikal terhadap gaya hidup bermasyarakat. Tidak begitu pasti pula bagaimana pemerintah Cina berencana untuk melaksanakan perubahan menyeluruh dan mendasar ini. Dibandingkan — baik dengan peradaban Barat dan Cina — peradaban Islam, peradaban fadhilah merupakan sebuah peradaban berbudi pekerti yang berbasis rohani. Orang-orang Muslim harus selalu berusaha untuk mendirikannya dan menjaga coraknya yang abadi dan menyeluruh. (***)

Leave a Reply