Home Artikel Non-Muslim di Pentas Politik

Non-Muslim di Pentas Politik

1408
1

Iedul Adha - JawadJalai:AFP
Non-Muslim di Pentas Politik
Oleh: Syamsuddin Arif
Direktur Eksekutif INSISTS

Akhir-akhir ini sering muncul pertanyaan di masyarakat mengenai boleh tidaknya umat Islam mendukung calon bupati, walikota, atau gubernur non-Muslim. Silang pendapat antara kelompok yang berbeda kepentingan pun terjadi. Yang melarang berpegang pada ayat al-Qur’an surat al-Māʾidah ayat 51 (“Janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-wali-mu”) dan surat an-Nisāʾ ayat 144 (“Janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir sebagai wali-wali, seraya meninggalkan orang-orang beriman”). Sementara yang membolehkan tak mau kalah. Tafsir aṭ-Ṭabarī dan Ibn Katsīr dirujuk lantas menyimpulkan kata “awliyāʾ” dalam ayat di atas artinya bukan pemimpin, tetapi sekutu atau aliansi, sehingga yang dilarang itu bersekutu dan beraliansi dengan orang kafir, bukan mengangkat mereka sebagai pemimpin. Namun, benarkah begitu?

Tiga Persoalan
Dalam tradisi intelektual Islam, ada tiga persoalan yang selalu dibicarakan terkait kepemimpinan politik dalam negara. Pertama, soal pemimpin yang kurang layak (imāmatul mafḍūl). Kedua, soal pemimpin yang suka maksiat (imāmatul fāsiq). Dan ketiga, soal pemimpin non-Muslim (imāmatul kāfir). Kecuali yang disebut terakhir, persoalan-persoalan kepemimpinan politik ini timbul karena banyak kasus yang menjadi khalifah, wazir, sultan, atau amir sepanjang sejarah Islam itu umumnya ‘kurang layak’ (mafḍūl) daripada yang benar-benar layak (fāḍil). Lebih banyak yang ‘kurang taat’ (fāsiq) daripada yang sholeh. Tentu saja dengan pengecualian para Khulafā’ Rāsyidūn (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali –riḍwānullāhi ʿalayhim) dan beberapa orang yang mengikuti teladan mereka semisal ʿUmar bin ʿAbdil ʿAzīz.

Jadi memang secara historis acapkali terjadi kesenjangan antara ‘apa yang semestinya’ (das Sollen) dan ‘apa nyatanya’ (das Sein). Idealnya, seorang pemimpin itu bertaqwa, berilmu, pemberani, dan seterusnya. Namun realitasnya yang dilantik menjadi khalifah, sultan, wazir atau amir –terutama pada zaman Bani Umayyah, Bani ‘Abbasiyyah dan sesudahnya– itu seringkali memiliki kekurangan, kelemahan dan kesalahan. Maka sebagian teolog membolehkan orang yang kurang kompeten menjadi pemimpin meskipun ada orang yang lebih kompeten dan lebih pantas daripadanya. Inilah yang disebut  imāmatu’l -mafḍūl. (Lihat: Imam Abū ’l-Ḥasan al-Asyʿarī, Maqālāt al-Islāmiyyīn, ed. H. Ritter, cet. Devlet Istanbul, 1929-33, hlm. 461, dan Ibn Ḥazm, al-Faṣl fī ’l-milal wa ’l-ahwā’ wa ’n-niḥal, ed. M.I. Naṣr dan ʿA.ʿUmayrah, Dār al-Jīl Beirut, 1416/1996, juz 5, hlm. 5-9).

Sama halnya dengan imāmatu’l-fāsiq. Yakni kasus dimana seseorang yang masih suka melanggar hukum agama –entah berkat keturunan ataupun dengan kudeta militer– naik menjadi penguasa (khalifah, sultan, amir). Sebagian ulama mengakui legitimasinya dan menganjurkan umat Islam tunduk padanya selagi sang penguasa itu masih memeluk Islam, masih melaksanakan tugas-tugasnya, dan tidak menyuruh rakyat melawan perintah Allah dan sunnah Rasul-Nya. Sikap positif ini demi menghindari bencana yang lebih besar (berdasarkan kaidah akhaffu ḍararayni) yaitu timbulnya konflik horizontal dan pertumpahan darah. Pertimbangan menarik diberikan oleh Imam Aḥmad ketika ditanya mengenai dua calon pemimpin Muslim yang satu hebat tetapi masih suka maksiat dan yang satu baik tetapi lemah: “Pendosa yang memiliki kapabilitas memimpin itu kapabilitasnya berguna bagi umat Islam dan perbuatan dosanya merugikan dirinya sendiri (fa-quwwatuhu li’l-muslimīn wa fujūruhu ʿalā nafsihi), sedangkan orang baik yang tidak punya kapabilitas memimpin maka kebaikannya untuk dirinya dan kelemahannya akan merugikan umat Islam.” (Lihat kitab Ibn Taymiyyah, as-Siyāsah as-Syarʿiyyah fī iṣlāhi r-rāʿī wa r-raʿiyyah (cet. Dār al-Jīl Beirut 1413/1993, hlm. 27).

Normatif dan Historis
Soal pemimpin non-Muslim jarang sekali dibicarakan karena memang secara normatif maupun historis hal itu tidak boleh dan tidak pernah terjadi. Secara normatif, larangan memilih orang kafir sebagai pemimpin sesungguhnya telah ditegaskan oleh para ulama. Imam an-Nawawī yang merupakan ‘pentolan’ mazhab Syāfiʿī dan diakui otoritasnya sebagai ahli fiqih dan ahli hadis sekaligus, misalnya, sangat eksplisit menyatakan bahwa syarat-syarat menjadi pemimpin (syurūṭ al-imāmah) itu mesti akil baligh (kawnuhu mukallafan), orang Islam (musliman –bukan kafir!), adil, merdeka (bukan budak), laki-laki, berilmu (ʿāliman), berijtihad (mujtahidan), pemberani, mempunyai visi dan kompetensi (dzā raʾyin wa kafāʾah), dan sehat pendengaran maupun penglihatan (Lihat: Rawḍat aṭ-Ṭālibīn, ed. Syeikh ʿĀdil ʿAbdul Mawjūd dan ʿAlī M. Muʿawwaḍ, cet. Dār ʿĀlam al-Kutub, Riyadh 1423/2003, jilid 7, hlm. 262). Pernyataan senada akan kita temukan dalam literatur fiqih rujukan di kalangan Nahdlatul Ulama seperti kitab al-Iqnāʿ fī ḥalli alfāẓ Abī Syujāʿ karya al-Khaṭīb as-Syarbīnī (cet. Muṣṭafā al-Bāb al-Ḥalabī Kairo, 1359/1940, juz 2, hlm. 246).

Pun secara historis, Rasūlullāh saw tidak pernah menunjuk orang kafir (walaupun mereka itu warganegara Madinah) sebagai gubernur (dulu istilahnya ʿāmil dan wālī) ataupun panglima (amīr). Demikian juga para khulafāʾ sesudahnya dari Sayyidina Abu Bakar hingga zaman Ottoman (Usmaniyyah) tidak pernah seorang pun mengangkat orang kafir sebagai gubernur atau panglima militer –sama halnya penguasa Singapura tidak membenarkan orang Melayu warganegara itu memegang tampuk kekuasaan apalagi dalam ketentaraan. Sepanjang sejarah Islam, orang-orang non-Muslim memang dijamin keselamatannya dan dilindungi hak-haknya sebagai warganegara karena mereka itu ahlu dzimmah, kecuali jika mereka berkhianat atau melanggar perjanjian.

Relasi Non-Muslim
Apa maksud kalimat “jangan kalian jadikan orang-orang kafir itu awliyāʾ (teman, kawan, rekan, sekutu)?” Menurut Fakhruddīn ar-Rāzī dalam tafsirnya, menjalin aliansi dengan non-Muslim (muwālāt al-kāfir) mengandung tiga pengertian. Pertama, meridhoi kekufuran mereka, dan ini jelas dilarang, karena merestui kekufuran itu kufur (ar-riḍā bil kufri kufrun). Kedua, bergaul dengan mereka secara baik (al-muʿāsyarah al-jamīlah) di dunia sesuai kenyataan, dan ini tidak dilarang. Ketiga, berpihak atau condong kepada mereka (ar-rukūn ilayhim), mengulurkan bantuan (al-maʿūnah), mendukung mereka (al-muẓāharah), dan membela kepentingan mereka (an-nuṣrah), dan ini tindakan pun dilarang (manhiyyun ʿanhu), kendati tidak membuat pelakunya kafir (Lihat: at-Tafsīr al-Kabīr, juz 7, jilid 3, cet. Dār al-Fikr Beirut 1425/2005, hlm.1603-1604).

Memang secara linguistik, menjadikan mereka sebagai awliyāʾ atau wali-wali itu berarti dua hal: yaitu, memberikan dukungan dan pembelaan –jika lafaznya dibaca walāyah (dengan fathah), dan menyerahkan mandat atau memberi kekuasaan –jika lafaznya dibaca wilāyah (dengan kasrah). Demikian menurut ar-Rāghib al-Iṣfahāni dalam kitab Mufradāt Alfāẓ al-Qurʾān (ed. Ṣafwān ʿAdnān Dāwūdī, cet. Dār al-Qalam Damaskus, 1412/1992, hlm. 885). Maka secara politis dan geografis, muwālatul kuffār tidak hanya berarti menjalin kerjasama atau beraliansi, tetapi juga menyerahkan “wilayah” umat Islam kepada non-Muslim.

Non-Muslim yang Adil?
Ada orang menukil sebuah “riwayat” (yang bukan Qur’an dan bukan pula hadis) dari kitab Ibnu Taymiyyah bahwa “Allah akan menolong negara yang adil meski ia kafir dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski ia mukmin”. Memang benar, adalah ketentuan Allah (sunnatullāh) yang berlaku universal –kapanpun dan dimanapun–  bahwa pemerintah yang adil akan langgeng dan pemerintah yang zalim akan jatuh, meskipun kita semua tahu bahwa kekuasaan itu milik Allah semata, yang bisa diberikan kepada siapapun dan dicabut dari siapapun. Allah berikan kekuasaan kepada Firʿaun yang angkuh, kejam, dan kufur, dan Allah jualah yang mencabutnya tanpa ampun. Juga benar bahwa suatu negeri sekali-kali tidak akan dibinasakan oleh Allah secara zalim, selagi penduduknya masih melakukan perbaikan (QS Hūd 117).

Perlu diketahui bahwa syarat keislaman mendahului syarat keadilan, sebagaimana syarat keimanan mendahului syarat kecantikan (dalam soal pernikahan, contohnya, dimana Allah berfirman: “Sesungguhnya seorang budak wanita yang beriman itu lebih baik [untuk dinikahi] daripada wanita musyrik [yang cantik] betapa pun kalian mengaguminya ” QS al-Baqarah 221).

Syarat keadilan bagi seorang pemimpin negeri Muslim yang dimaksud adalah mampu menahan diri tidak melakukan dosa-dosa besar maupun tindakan-tindakan biasa yang bisa menjatuhkan reputasinya (Lihat: ad-Damyāṭī, Iʿānatu ’ṭ-Ṭālibīn ʿalā Fatḥi ’l-Muʿīn,  cet. al-Maʿārif Bandung, t.t., hlm.211-212). Sementara menurut al-Baghdādi, dalam konteks politik kenegaraan, syarat ‘adil’ untuk menjadi pemimpin itu artinya yang bersangkutan terpercaya, dapat diterima kesaksiannya baik sebagai penerima maupun penyampai laporan (mimman yajūzu qabūlu  syahādatihi taḥammulan wa adā’an). Lihat kitabnya, Uṣūluddīn, cet. Devlet Matbaasi Istanbul 1928, hlm. 277.

Kesimpulan
Bagi umat Islam, baik ‘pilkada’ maupun ‘pilkara’ (pemilihan kepala negara) bukan semata-mata urusan politik, akan tetapi urusan agama. Itulah sebabnya masalah kepemimpinan politik dibahas dalam kitab-kitab ʿaqāʾid dan ilmu uṣūluddīn. Sebutlah misalnya kitab ʿaqā’id an-Nasafī yang telah disalin dan diterjemahkan di kerajaan Aceh pada akhir abad ke-16 (sekitar tahun 1590 Masehi). Dinyatakan pada paragraf sebelum akhir bahwa umat Islam wajib mempunyai pemimpin yang tugasnya menegakkan Syariʿat, membangun benteng pertahanan, menyiapkan tentara, mengumpulkan zakat, menjaga keamanan dan ketertiban dengan memberantas para penjahat, pencuri dan perampok, menyelenggarakan ibadah jumʿat, merayakan hari-hari besar Islam, menyelesaikan sengketa di masyarakat, mengurus sistem peradilan dan sebagainya. Dan tujuan ‘pilkada’ maupun ‘pilkara’ bagi umat Islam adalah agar si pemimpin menjalankan misi profetik yaitu memelihara agama dan mengatur urusan-urusan dunia (al-imāmah mawḍūʿah li-khilāfati’n-nubuwwah fī ḥirāsati’d-dīn wa siyāsasti’d-dunyā). Inilah prinsipnya sebagaimana dinyatakan oleh al-Māwardī dalam al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah, ed. Khālid al-ʿAlīmī (cet. Dār al-Kitāb al-ʿArabī Beirut 1415/1994, hlm. 29). Wallāhu aʿlam.[]-Muslim di Pentas Politik

1 COMMENT

Leave a Reply