Home Diskusi Sabtu Undangan Diskusi Insists, Diundur 17 November 2012

Undangan Diskusi Insists, Diundur 17 November 2012

882
0

Assalaamualaikum,

Mengundang sahabat sekalian untuk hadir pada Diskusi Dua Mingguan Insists, pada:
Hari/tgl : Sabtu, 17 November 2012 / 3 Muharam 1434H
Tempat : Sekretariat Insists, Jl Kalibata Utara II, No. 84, Jakarta Selatan, 021-7940381
Pembicara : Dr. Adian Husaini
Tema : Konsep Pendidikan Islam, Menurut Syed Mohammad Naquib al Attas

Jam  : 09.00-12.00

Demikian undangan dari kami, semoga sahabat sekalian dapat menghadirinya. Jazaakumullah khairan katsiiran.

Wassalam,
Humas Insists
Lebih lanjut bisa hubungi Yudha 081382357453/085282403058

000

Pendidikan Karakter Saja Tidak cukup!

Jika bangsa Cina maju sebagai hasil pendidikan karakter, lalu apa bedanya orang
komunis yang berkarakter dengan orang muslim yang berkarakter? Orang komunis, atau
ateis, bisa saja menjadi pribadi yang jujur, pekerja keras, berani, bertanggung jawab,
mencintai kebersihan, dan sebagainya. Orang muslim juga bisa seperti itu. Dimana letak
bedanya?

Bedanya pada konsep adab. Yang diperlukan oleh kaum Muslim Indonesia bukan
hanya menjadi seorang yang berkarakter, tetapi harus menjadi seorang yang berkarakter dan
beradab. Pendiri Nahdlatul Ulama, KH Hasyim Asy’ari, misalnya, dalam kitabnya, Ādabul
Ālim wal-Muta’allim, mengutip pendapat Imam al-Syafi’i yang menjelaskan begitu
pentingnya kedudukan adab dalam Islam. Bahkan, Sang Imam menyatakan, beliau mengejar
adab laksana seorang ibu yang mengejar anak satu-satunya yang hilang.
Lalu, Syaikh Hasyim Asy’ari mengutip pendapat sebagian ulama: ”at-Tawhīdu yūjibul
īmāna, faman lā īmāna lahū lā tawhīda lahū; wal-īmānu yūjibu al-syarī’ata, faman lā
syarī’ata lahū, lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū; wa al-syarī’atu yūjibu al-adaba, faman lā
ādaba lahū, lā syarī’ata lahū wa lā īmāna lahū wa lā tawhīda lahū.” (Hasyim Asy’ari,
Ādabul Ālim wal-Muta’allim, Jombang: Maktabah Turats Islamiy, 1415 H). hal. 11).
Jadi, secara umum, menurut Kyai Hasyim Asy’ari, Tauhid mewajibkan wujudnya
iman. Barangsiapa tidak beriman, maka dia tidak bertauhid; dan iman mewajibkan syariat,
maka barangsiapa yang tidak ada syariat padanya, maka dia tidak memiliki iman dan tidak
bertauhid; dan syariat mewajibkan adanya adab; maka barangsiapa yang tidak beradab maka
(pada hakekatnya) tiada syariat, tiada iman, dan tiada tauhid padanya.

Jadi, betapa pentingnya kedudukan adab dalam ajaran Islam. Lalu, apa sebenarnya
konsep adab? Uraian yang lebih rinci tentang konsep adab dalam Islam disampaikan oleh
Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, pakar filsafat dan sejarah Melayu. Menurut Prof.
Naquib al-Attas, adab adalah “pengenalan serta pengakuan akan hak keadaan sesuatu dan
kedudukan seseorang, dalam rencana susunan berperingkat martabat dan darjat, yang
merupakan suatu hakikat yang berlaku dalam tabiat semesta.” Pengenalan adalah ilmu;
pengakuan adalah amal. Maka, pengenalan tanpa pengakuan seperti ilmu tanpa amal; dan
pengakuan tanpa pengenalan seperti amal tanpa ilmu. ”Keduanya sia-sia kerana yang satu
mensifatkan keingkaran dan keangkuhan, dan yang satu lagi mensifatkan ketiadasedaran dan
kejahilan,” demikian Prof. Naquib al-Attas. (SM Naquib al-Attas, Risalah untuk Kaum
Muslimin, (ISTAC, 2001).

Begitu pentingnya masalah adab ini, maka bisa dikatakan, jatuh-bangunnya umat
Islam, tergantung sejauh mana mereka dapat memahami dan menerapkan konsep adab ini
dalam kehidupan mereka. Manusia yang beradab terhadap orang lain akan paham bagaimana
mengenali dan mengakui seseorang sesuai harkat dan martabatnya. Martabat ulama yang
shalih beda dengan martabat orang fasik yang durhaka kepada Allah. Jika al-Quran
menyebutkan, bahwa manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling taqwa (QS
49:13), maka seorang yang beradab tidak akan lebih menghormat kepada penguasa yang
zalim ketimbang guru ngaji di kampung yang shalih. Dalam masyarakat yang beradab,
seorang penghibur tidak akan lebih dihormati ketimbang pelajar yang memenangkan
Olimpiade fisika. Seorang pelacur atau pezina ditempatkan pada tempatnya, yang seharusnya
tidak lebih tinggi martabatnya dibandingkan muslimah-muslimah yang shalihah. Itulah adab
kepada sesama manusia.

Adab juga terkait dengan ketauhidan, sebab adab kepada Allah mengharuskan seorang
manusia tidak menserikatkan Allah dengan yang lain. Tindakan menyamakan al-Khaliq
dengan makhluk merupakan tindakan yang tidak beradab. Karena itulah, maka dalam al-
Quran disebutkan, Allah murka karena Nabi Isa a.s. diangkat derajatnya dengan al-Khaliq,
padahal dia adalah makhluk. Tauhid adalah konsep dasar bagi pembangunan manusia
beradab. Menurut pandangan Islam, masyarakat beradab haruslah meletakkan al-Khaliq pada
tempat-Nya sebagai al-Khaliq, jangan disamakan dengan makhluq.

Itulah adab kepada Allah SWT. Nabi Muhammad saw adalah juga manusia. Tetapi,
beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau adalah utusan Allah. Sesama manusia
saja tidak diperlakukan sama. Seorang presiden dihormati, diberi pengawalan khusus,
diberikan gaji yang lebih tinggi dari gaji guru ngaji, dan sering disanjung-sanjung, meskipun
kadangkala keliru. Orang berebut untuk menjadi Presiden karena dianggap jika menjadi
Presiden akan menjadi orang terhormat atau memiliki kekuasaan besar sehingga dapat
melakukan perubahan.

Sebagai konsekuensi adab kepada Allah, maka adab kepada Rasul-Nya, tentu saja
adalah dengan cara menghormati, mencintai, dan menjadikan Sang Nabi saw sebagai suri
tauladan kehidupan (uswah hasanah). Setelah beradab kepada Nabi Muhammad saw,
maka adab berikutnya adalah adab kepada ulama. Ulama adalah pewaris nabi. Maka,
kewajiban kaum Muslim adalah mengenai, siapa ulama yang benar-benar menjalankan
amanah risalah, dan siapa ulama ”palsu” atau ”ulama jahat (ulama su’). Ulama jahat harus
dijauhi, sedangkan ulama yang baik harus dijadikan panutan dan dihormati sebagai ulama.
Mereka tidak lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan para umara. Maka, sangatlah
keliru jika seorang ulama merasa lebih rendah martabatnya dibandingkan dengan penguasa.
Adab adalah kemampuan dan kemauan untuk mengenali segala sesuatu sesuai dengan
martabatnya. Ulama harusnya dihormati karena ilmunya dan ketaqwaannya, bukan karena
kepintaran bicara, kepandaian menghibur, dan banyaknya pengikut. Maka, manusia beradab
dalam pandangan Islam adalah yang mampu mengenali siapa ulama pewaris nabi dan siapa
ulama yang palsu sehingga dia bisa meletakkan ulama sejati pada tempatnya sebagai tempat
rujukan.

Syekh Wan Ahmad al Fathani dari Pattani, Thailand Selatan, (1856-1908), dalam
kitabnya Hadiqatul Azhar war Rayahin (Terj. Oleh Wan Shaghir Abdullah), berpesan agar
seseorang mempunyai adab, maka ia harus selalu dekat dengan majelis ilmu. Syekh Wan
Ahmad menyatakan : “Jadikan olehmu akan yang sekedudukan engkau itu (majelis)
perhimpunan ilmu yang engkau muthalaah akan dia. Supaya mengambil guna engkau
daripada segala adab dan hikmah.”

Karena itulah, sudah sepatutnya dunia pendidikan kita sangat menekankan proses
ta’dib, sebuah proses pendidikan yang mengarahkan para siswanya menjadi orang-orang yang
beradab. Sebab, jika adab hilang pada diri seseorang, maka akan mengakibatkan kezaliman,
kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Karena itu, adab mesti ditanamkan pada
seluruh manusia dalam berbagai lapisan, pada murid, guru, pemimpin rumah tangga,
pemimpin bisnis, pemimpin masyarakat dan lainnya.

Islam memandang kedudukan ilmu sangatlah penting, sebagai jalan mengenal Allah
dan beribadah kepada-Nya. Ilmu juga satu-satunya jalan meraih adab. Orang yang berilmu
(ulama) adalah pewaris nabi. Karena itu, dalam Bidayatul Hidayah, Imam Al-Ghazali
mengingatkan, orang yang mecari ilmu dengan niat yang salah, untuk mencari keuntungan
duniawi dan pujian manusia, sama saja dengan menghancurkan agama. Dalam kitabnya,
Adabul ‘Alim wal-Muta’allim, KH Hasyim Asy’ari juga mengutip hadits Rasulullah saw:
“Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah atau ia mengharapkan selain keridhaan
Allah Ta’ala, maka bersiaplah dia mendapatkan tempat di neraka.”

Ibnul Qayyim al-Jauziyah, murid terkemuka Syaikhul Islam Ibn Taimiyah, juga
menulis sebuah buku berjudul Al-Ilmu. Beliau mengutip ungkapan Abu Darda’ r.a. yang
menyatakan: “Barangsiapa berpendapat bahwa pergi menuntut ilmu bukan merupakan jihad,
sesungguhnya ia kurang akalnya.” Abu Hatim bin Hibban juga meriwayatkan hadits dari
Abu Hurairah r.a., yang pernah mendengar Rasulullah saw bersabda: “Barangsiapa masuk ke
masjid ku ini untuk belajar kebaikan atau untuk mengajarkannya, maka ia laksana orang yang
berjihad di jalan Allah.”

Karena begitu mulianya kedudukan ilmu dalam Islam, maka seorang yang beradab
tidak akan menyia-nyiakan umurnya untuk menjauhi ilmu, atau mengejar ilmu yang tidak
bermanfaat, atau salah niat dalam meraih ilmu. Sebab, akibatnya sangat fatal. Ia tidak akan
pernah mengenal Allah, tidak akan pernah meraih kebahagiaan sejati. Lebih fatal lagi, jika
manusia yang tidak beradab itu kemudian merasa tahu, padahal dia sebenarnya ia tidak tahu.
Dengan adab inilah, seorang Muslim dapat menempatkan karakter pada tempatnya?
Kapan dia harus jujur, kapan dia boleh berbohong, untuk apa dia bekerja dan belajar keras?
Dalam pandangan Islam, jika semua itu dilakukan untuk tujuan-tujuan pragmatis duniawi,
maka tindakan itu termasuk kategori “tidak beradab”, alias biadab. Jadi, setiap Muslim harus
berusaha menjalani pendidikan karakter, sekaligus menjadikan dirinya sebagai manusia
beradab. Seharusnya, program mencetak manusia berkarakter dan beradab ini masuk dalam
program resmi Pendidikan Nasional, sesuai dengan sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang
adil dan beradab.

Itulah hakekat dari tujuan pendidikan, menurut Islam, yakni mencetak manusia yang
baik, sebagaimana dirumuskan oleh Prof. S.M.Naquib al-Attas dalam bukunya, Islam and
Secularism: “The purpose for seeking knowledge in Islam is to inculcate goodness or justice
in man as man and individual self. The aim of education in Islam is therefore to produce a
goodman… the fundamental element inherent in the Islamic concept of education is the
inculcation of adab…”

“Orang baik” atau good man, tentunya adalah manusia yang berkarakter dan beradab.
Tidak cukup seorang memiliki berbagai nilai keutamaan dalam dirinya, tetapi dia tidak ikhlas
dalam mencari ilmu, enggan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan suka mengumbar
aurat dan maksiat. Pendidikan, menurut Islam, haruslah bertujuan membangun karakter dan
adab sekaligus!

Moh. Iqbal dengan indah menggambarkan sosok pribadi Muslim yang tangguh karena
ketundukannya kepada Allah:
“Biarlah cinta membakar semua ragu dan syak wasangka,
Hanyalah kepada yang Esa kau tunduk, agar kau menjadi singa.” (adian husaini)

Leave a Reply