Home Headline Tazkiyah An-Nafs

Tazkiyah An-Nafs

4198
0

doa-630x336

Salah satu misi mengapa Allah mengutus para Rasul adalah untuk pensucian diri atau “tazkiyatunnafs” (QS. Al-Jum’ah 2). Mengapa diri manusia harus disucikan? Alasannya sesuai dengan watak jiwa manusia yang diciptakan dengan sebaik-baik ciptaan. Namun manusia diberi potensi untuk berbuat kebaikan (taqwa) dan kejahatan (fujur) ” (QS. Al-Shams 7-8). Maka dari itu manusia tidak luput dari berbuat salah dan dosa, sekecil apapun. Itu semua bisa terjadi ribuan kali dalam sehari semalam.

Tapi seorang Muslim tidak perlu khawatir. Islam memberi jalan atau cara atau alat untuk menghapus dosa-dosa kecil itu. Jalan atau cara penghapusan dosa-dosa itu adalah syariah. Syariah dalam arti luas mengandung aqidah, hukum-hukum, akhlaq dsb.

Maka dari itu para ulama sepakat bahwa “Setiap syariat Islam memiliki tujuan dan mengandung maslahat”. Tujuannya beribadah kepada Allah dan maslahatnya adalah kembali kepada kepentingan jiwa manusia.

Syariat Islam yang utama memiliki lima rukun. Hikmah dari perintah menjalankan rukun Islam yang lima itu ternyata adalah pensucian diri. Diri yangt suci adalah yang bebas dari dosa-dosa. Orang yang berkata “La ilaha illallah” akan dihapus dosa-dosanya. Syariat shalat lima waktu, puasa dibulan Ramadhan, zakat dan haji adalah alat penghapus dosa-dosa alias alat pensucian diri.

Shalat adalah ibarat kerja bersih-bersih yang rutin setiap hari. Sebab seperti rumah, kamar atau kantor dsb., jika lama tidak dibersihkan tentu akan banyak debu dan kotoran. Jiwa manusia Maka yang selalu menimbun kotoran dosa-dosa kecil perlu dibersihkan setiap hari, dan itulah fungsi shalat. Nabi bersabda:”sesungguhnya shalat lima waktu itu menghilangkan dosa-dosa sebagaimana air sungai menghilangkan kotoran dalam tubuh kalian” (al-hadith)

Shalat adalah juga merupakan proses untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Maka siapapun yang selalu bersuci dan mendekatkan diri pada Yang Maha Suci Allah maka jiwanya akan menjadi bersih. Jiwa yang bersih akan menghasilkan perbuatan yang baik. Maka shalat pun menjadi standar amal seseorang.

“…..Jika baik shalatnya maka baik pula seluruh  amalnya, namun jika rusak shalatnya maka rusak pulalah seluruh amalnya. (H.R. Tabrani)

Begitulah, berislam dengan melakukan shalat adalah pensucian diri. Namun jika shalat lima waktu tidak cukup efektif menghapus dosa-dosa seseorang dalam sehari semalam, maka Allah memberi alat satu lagi yaitu shalat Jum’at sebagai menghapus dosa-dosa selama seminggu. Namun jika shalat Jum’at juga tidak efektif, karena keteledoran manusia pula, sehingga dosa-dosa kecil itu berakumulasi dalam masa satu tahun menjadi jutaan jumlahnya,  Islam masih memberi jalan lain yaitu dengan berpuasa.  Dalam hadith Nabi diterangkan

Shalat lima waktu, dari Jum’at ke Jum’at, dari Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa-dosa kecil (yang terjadi) diantara waktu-waktu itu selama tidak melakukan dosa-dosa besar. (HR. Muslim)

Puasa juga dapat disebut sebagai pembersih diri atau zakat diri. Jika harta seseorang yang mencapai nisab wajib dizakati, maka badan manusia juga perlu dizakati. Ini dengan secara gamblang disampaikan oleh Nabi:

Segala sesuatu itu ada zakatnya dan zakat badan itu adalah puasa, dan puasa asalah separoh dari kesabaran (HR.Bukhari)

Dengan berpuasa seorang Muslim sedang mengosongkan dirinya dari kecenderungan fisik manusia yang umumnya didominasi oleh nafsu hewani (nafsu-l-ammarah bissu’). Dengan memberhentikan makan dan minum dalam sehari maka kekuatan fisiknya akan melemah dan diikuti oleh melemahnya dorongan jiwa hewani tersebut. Ketika jiwa hewani melemah maka jiwa yang tenang (nafs al-mutma’innah) akan menguat dan dominan. Dalam teori al-Ghazzali ketika dorongan fisik seseorang dipenuhi oleh nafsu hewani diganti atau dikuasai oleh akalnya atau oleh jiwanya yang tenang, maka manusia akan melakukan tindakan-tindakan yang positif.

Meski pembersihan badan berdampak pada jiwa manusia, puasa ternyata bukan pembersihan badan saja. Berpuasa tidak cukup hanya dengan meninggalkan makan minum di siang hari.Puasa juga puasa batin. Puasa batin adalah puasa mulut dari perkataan kotor, puasa mata dari melihat sesuatu yang haram, puasa hati dengan menahan diri dari rasa marah, dari nafsu syahwat, puasa telinga dengan menahan diri dari mendengar sesuatu yang diharamkan dan lain sebagainya. Jadi karena jiwa dan raga manusia itu saling berhubungan maka kesucian jasmani harus disertai kesucian rohani. Dosa-dosa jasmani harus disucikan secara serentak dengan dosa-dosa rohani.

Orang yang berpuasa tapi “tidak bisa meninggalkan diri dari ucapan palsu (jelek) dan tetap mengerjakannya, maka puasanya itu tidak berguna bagi Allah” (HR Bukhari – Muslim). Itulah sebabnya sejak awal Nabi telah mewanti-wanti “Banyak orang yang berpuasa tidak mendapatkan pahala kecuali lapar, dan banyak orang yang shalat (malam) tidak mendapat pahalanya kecuali berjaga” (HR Al Hakim).

Meskipun jiwa manusia disucikan dengan shalat dan puasa, namun Islam masih menyediakan alat pensucian lagi yaitu zakat, infaq dan shadaqah. Zakat adalah pensucian diri manusia melalui harta bendanya. Meski tidak berkatian langsung dengan jiwa manusia, namun tanggung jawab dan keikhlasan memberi atau mengeluarkan zakat itu sungguh berpengaruh pada jiwa pemberinya.

Hadith-hadith Nabi jelas-jelas menyatakan bawha shadaqah ternyata juga pemadam api kekhilafan dan dosa manusia sebagaimana air mematikan api. Dan terakhir adalah haji. Di dalam penjelasan Nabi pula haji mabrur berfungsi seabgai penghapus dosa-dosa. Saking bersihnya dosa-dosa yang berhaji mabrur itu maka jiwanya sama seperti hari diwaktu ia dilahirkan .

Begitulah, berislam dengan menjalankan syariatnya bermuara pada tazkiyatunnafsi (pensucian diri). Dengan dosa yang terhapus jiwa menjadi jernih, hati menjadi tenang, kesulitan hidup menjadi kemudahan, pikiran menjadi positif. Al-Qur’an memberi kabar baik “Beruntunglah orang yang membersihkan diri dan mengingat asma Tuhannya dan shalat. (QS al-A’la 14-15). Dan Nabi mengajari kita doa “Ya Allah berilah aku rezeki hati yang bersih, dan lidah yang jujur”.