Home Uncategorized Tasawuf: Muasal dan Perkembangan – Seri Esai Tasawuf #2

Tasawuf: Muasal dan Perkembangan – Seri Esai Tasawuf #2

2969
0

Oleh: Reisya Callista

Sebagai usaha untuk memahami tasawuf secara utuh, telaah historis atasnya tentu termasuk hal yang penting untuk dilakukan. Oleh sebab itu, pada pertemuan kedua Seri Kuliah Tasawuf  INSISTS (24/08/2022), pengampu materi kuliah ini, Dr. Syamsuddin Arif, memilih asal-usul dan perkembangan sebagai topik yang dikaji pada malam itu. Penulis Islam dan Diabolisme intelektual tersebut menyebutkan bahwa setidaknya ada lima teori yang berkembang di kalangan Orientalis terkait muasal dari tasawuf.

Teori pertama adalah yang diusung oleh Margaret Smith. Ia mengatakan bahwa tasawuf adalah produk sampingan yang muncul setelah persinggungan antara Islam dengan tradisi dan agama yang lebih tua di lingkungannya, terutama Kristen. Menurut Smith, hal tersebut bisa terjadi karena kala itu umat Islam saat itu masih terbelakang sehingga bergantung dalam segala urusan kepada umat Kristen.

Berbeda dengan teori pertama, teori kedua menelusuri akar tasawuf dan mengaitkannya dengan ajaran Upanishad dan Vedanta dalam Hinduisme. Para pengusung teori ini diantaranya adalah Alfred von Kremer, R. C. Zaehner dan Max Horten. Memiliki alasan yang sama dengan ketiga Orientalis tersebut, Ignaz Goldziher juga turut memunculkan ajaran Buddhisme sebagai akar dari tasawuf. Menurut mereka, tradisi tasawuf memiliki ciri yang sama dengan Hinduisme dan Buddhisme, seperti pada aspek penghindaran bahkan penolakan terhadap kenikmatan dunia serta pola hidup sederhana.

Teori ketiga mengaitkan muasal tasawuf dengan Hellenisme abad pertengahan. Adalbert Merx menyampaikan pendapatnya bahwa doktrin tasawuf mirip dengan ajaran mistik dan gnostik Yunani serta Yahudi, seperti pseudo-Dionysius Areopagita, Stephen bar Sudaili, dan lain-lain. Sejalan dengan itu, Reynold Nicholson menyatakan dalam tulisannya bahwa terdapat  jejak-jejak Neo-Platonisme dan Aristotelianisme dalam pemikiran Sufi (316-319: 1906).

Selain dari Yunani, teori keempat menisbahkan tradisi Persia kuno sebagai muasal dari tasawuf. Menurut para pengusung teori ini, tasawuf merupakan reaksi nasionalisme bangsa Persia terhadap dominasi Arab dengan agama Islamnya. Tidak heran, sebagian orang berpendapat bahwa tasaawuf adalah ekspresi sikap beragama dan cara masyarakat dalam meluapkan keyakinan terpendam dalam rangka kembali menghidupkan Zoroastrianisme, Manicheanisme dan Mazdaisme.

Dalam disertasinya di University of Oxford, seorang filsuf modern, Muhammad Iqbal memberikan contoh terkait teori tersebut, seperti syatahat Abu Yazid al-Bustami dan konsep hullul dan ittihad dari al-Hallaj. Sedangkan teori terakhir menyebutkan bahwa muasal dari tasawuf adalah sinkretisme dari semua unsur dalam teori-teori sebelumnya, termasuk unsur-unsur Islam itu sendiri. Dua diantara beberapa pengusung teori ini adalah Richard Hartmann dan Martin Scheireiner.

Tidak sepakat dengan kelima teori tersebut, Dr. Syam menyebutkan bahwa muasal tasawuf sebagai tradisi berakar di Baghdad. Akan tetapi inspirasinya telah ada lebih awal, yakni termaktub dalam al-Qur’an. Sedangkan bibitnya, dapat kita temukan dalam aktivitas ahlus suffah di Madinah. Kala itu, aktivitas yang sehari-hari dilakukan oleh ahlus suffah belum dikenal sebagai tasawuf. Sebab, pada masa itu istilah tasawuf belum hadir. Akan tetapi, tasawuf sebagai realitas sebenarnya telah hadir sejak lama dalam wujud etos beragama. Meski ada sebagian orang yang mendebatkan apakah tasawuf secara valid berasal dari Baghdad atau Madinah, Imam al-Qushayri dalam bagian pengantar Risalah menyimpulkan bahwa tasawuf berasal dari Islam yang sumbernya adalah al-Qur’an dan hadis, meskipun kala itu belum ada istilah tasawuf.

Jika dikatakan tasawuf itu mulai sejak abad pertama hijriah, maka kita dapat meninjau perkembangan tasawuf ketika konsepnya – menurut Dr. Syam – masih “cair”. Sebab kala itu belum ada istilah tasawuf.  Bila ditelusuri ke belakang, jelas bahwa pelopor tasawuf adalah Rasulullah Saw. Kita tentu tahu bagaimana kesederhadanaan Rasulullah. Beliau tidak tidur di kasur yang empuk. Bahkan beliau seringkali berpuasa sebab tidak ada makanan di rumahnya. Di sisi lain, kita juga mengetahui fakta bahwa beliau seringkali beribadah hingga kakinya bengkak. Ini jelas menunjukkan praktik sufi sekalipun kala itu belum ada istilah khusus untuk penyebutannya. Dr. Syam menyebutkan bahwa Rasulullah dapat kita katakan sebagai seorang Sufi par exellence.

Tidak hanya Rasulullah, para sahabat Rasulullah seperti Abu Bakar dan Ali bin Abi Thalib juga dapat dikatakan sebagai seorang Sufi. Selain Rasulullah dan para sahabat “besar” beliau, pada masa itu ahlus suffah juga dapat kita sebut sebagai prototype Sufi. Mereka adalah Abu Hurayrah, Salman al-Farisi, Abu Dzarr al-Ghifari dan beberapa sahabat lain. Sedangkan pada abad kedua hijriah tokoh Sufi yang terkenal kala itu diantaranya adalah Hasan al-Bashri, Malik bin Dinar, Ibrahim bin Adham. Hasan al-Bashri terkenal dengan ajaran wara’. Sedangkan Malik bin Dinar dikenal dengan ajarannya tentang taubat. Berbeda dengan keduanya, Ibrahim bin Adham terkenal karena ia meninggalkan fasilitas yang disediakan oleh keluarganya dan memilih hidup sederhana.

Berbeda dengan perkembangan pada abad-abad sebelumnya, abad ketiga adalah awal munculnya kitab tentang tasawuf. Orang pertama yang menulis kitab tersebut adalah al-Harits al-Muhasibi. Di dalam kitabnya, al-Muhasibi membahas terkait hak tentang Allah. Menurut Dr. Syam, pembahasan ini dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan baru di masa itu. Sebelum al-Muhasibi belum ada tokoh lain pada masanya yang menulis hal serupa. Selain al-Muhasibi, beberapa tokoh lain yang juga turut mewarnai perkembangan tasawuf abad ini adalah Bisyr al-Hafi, Dzun-Nun al-Misri, Sari as-Saqati dan Abu Yazid al-Bistami.

Pada abad keempat, semakin banyak orang yang bertasawuf dan merumuskan serta menuliskan apa yang mereka amalkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Beberapa diantaranya adalah al-Hallaj yang menulis kitab Tawasim. Guru Imam al-Ghazali, Abu Thalib al-Makki juga menulis Futhul Qulub yang kemudian menjadi inspirasi bagi al-Ghazali. Tasawuf terus mengalami perkembangan pada abad-abad berikutnya. Pada abad kelima, ada Imam al-Ghazali, as-Sulami yang menulis Thabaqatus Sufiyyah yang berisi daftar biografi para ahli tasawuf dan al-Qushayri yang menulis kitab ar-Risalah.

Pada abad keenam, Abdul Qadir al-Jilani merintis madrasah tasawuf pertama. Tujuan didirikannya madrasah tersebut untuk menjadi pusat pembelajaran tasawuf. Abad inilah masa dimana bermulanya tarekat. Sebab tarekat Qadiriyyah yang dinisbahkan kepada beliau bermula pada masa ini. Sesudah itu, murid-murid Muhammad bin Ali Ba’alawi juga merumuskan ajarannya hingga menjadi tarekat Ba’alawiyyah. Pada masa Abdul Khaliq al-Bujdawani juga merintis tarekat Naqshabandiyyah.

Jika sebelumnya karya-karya tasawuf berkutat pada bentuk yang sama, pada abad ketujuh karya tasawuf yang muncul semakin bervariasi. Mulai dari berbentuk sajak hingga prosa. Salah satunya adalah kitab Futuhat al-Makkiyyah yang merupakan gabungan antara prosa, puisi serta narasi. Tidak berhenti sampai di sana, tasawuf masih terus berkembang dan terus memunculkan tokoh-tokoh baru yang berkontribusi dalam perkembangannya.

Dr. Syam menyederhanakan fase perkembangan tasawuf dengan metafora sebuah pohon. Abad pertama adalah pembenihan; abad kedua adalah pertumbuhan; abad ketiga adalah perkembangan; abad keempat adalah pembuahan; abad kelima adalah pematangan; abad keenam adalah perpecahan;  terakhir adalah abad ketujuh dan seterusnya adalah abad penyebaran. Di sisi lain, ada juga yang meringkas fase perkembangan tasawuf menjadi tiga, yakni masa awal (early tasawuf), masa puncak (classical tasawuf) dan masa modern (later sufism).

Berdasarkan kehidupan para Sufi yang tercermin dalam perkembangan tasawuf, setidaknya dapat disimpulkan tiga poin yang menjadi karateristik para Sufi. Pertama, zuhud serta tidak lagi larut dengan segala sesuatu yang terjadi di masyarakat. Kedua, biasanya menyendiri dan mengasingkan diri ke kampung atau pinggiran kota. Mereka juga banyak berpuasa sebab hanya mau mengkonsumsi makanan yang sepenuhnya halal. Ketiga, senantiasa membesarkan, menguatkan serta membersihkan batinnya.  Dari pengalaman dan pendalaman tersebut, para Sufi kemudian mampu menyimpulkan bagaimana cara-cara untuk mendekat kepada Allah yang coba mereka rumuskan menjadi sebuah ajaran. Sedangkan untuk karakteristik terakhir para Sufi ialah mereka yang senantiasa menekankan jiwa sebagai tempat untuk berzikir kepada Allah.

Leave a Reply