Home Artikel Studi Kristologi

Studi Kristologi

1553
0

Sejak kemunculan Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw, Islam sudah harus berhadapan dengan berbagai agama yang eksis sebelumnya. Salah satunya adalah agama Kristen, yang saat itu sudah menyebar di berbagai wilayah di Jazirah Arab. Al-Quran juga memberikan banyak penjelasan tentang agama ini. Nabi Muhammad saw mengirimkan delegasi pengungsi Muslim, hijrah dari Mekkah ke Habsyah (Ethiopia) untuk mencari suaka pada Raja Najasyi yang kala itu masih beragama Kristen.

Kaum Quraisy yang tidak rela dengan kepergian kaum Muslim segera mengirimkan utusan khusus kepada Najasyi agar mengusir kembali kaum Muslim tersebut. Raja Najasyi diprovokasi. Kepada Najasyi dan para pendeta Kristen, Amr bin Ash dan Amarah – dua utusan Quraisy —  menyatakan, bahwa orang-orang Islam tidak akan mau bersujud kepada Raja. Ketika kaum Muslim dipanggil menghadap Raja, mereka diperintahkan, “Bersujudlah kalian kepada Raja!”.  Dengan tegas Ja’far menjawab, “Kami tidak bersujud kecuali kepada Allah semata.”

Memang, dalam pandangan Islam, tugas terpenting dari misi kenabian adalah menegakkan kalimah tauhid (QS 16:36), dan memberantas kesyirikan. Dalam al-Quran disebutkan, Lukmanul Hakim mengajarkan anaknya agar jangan melaksanakan dosa syirik, sebab syirik adalah kezaliman yang besar. (QS 31:13). Menyekutukan Allah adalah tindakan yang tidak terampuni dan tidak beradab. Allah adalah al-Khaliq dan manusia adalah makhluk. Manusia tidak patut disetarakan dengan Allah. Di antara manusia saja – antara pejabat dan rakyat – misalnya, dibeda-bedakan status dan perlakuannya. Apalagi, antara makhluk dengan al-Khaliq, tentulah ada status yang sangat berbeda.

Salah satu titik sentral dari penjelasan al-Quran tentang agama Kristen terletak pada status Nabi Isa a.s., yang dalam Islam diakui sebagai Nabi dan Rasul; bukan Tuhan dan bukan anak Tuhan. Bahkan, Al-Quran menyebutkan, bahwa Allah SWT sangat murka karena dituduh punya anak. (QS 19:88-91). Polemik soal ini sudah berlangsung sejak zaman Nabi Muhammad saw, saat Nabi saw melayani diskusi dan debat dengan delegasi Kristen Najran.

Toleransi
Meskipun secara tegas mengoreksi berbagai dasar-dasar kepercayaan Kristen, umat Islam tidak menolak kehadiran dan keberadaan kaum Kristen. Sejarah Islam diwarnai dengan berbagai bentuk interaksi antara pemeluk kedua agama ini. Al-Quran tidak melarang kaum Muslim untuk berbuat baik terhadap kaum agama lain. Sejak awal, umat Islam sudah diajarkan untuk menerima kesadaran akan keberagaman dalam agama (pluralitas). Misalnya, dalam surat Al Mumtahanah ayat 8 disebutkan, “Allah tidak mencegahmu berbuat baik kepada mereka yang tidak memerangimu dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu.” Bahkan, Nabi Muhammad saw berpesan, “Barangsiapa menyakiti seorang dzimmi, maka sungguh ia menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku, berarti ia menyakiti Allah.” (HR Thabrani).

Prestasi Rasulullah saw dalam membangun peradaban yang unggul di Madinah dalam soal membangun toleransi beragama kemudian diikuti oleh Umar bin Khattab yang pada tahun 636 M menandatangani Perjanjian Aelia dengan kaum Kristen di Jerusalem. Sebagai pihak yang menang Perang, Umar bin Khathab tidak menerapkan politik pembantaian terhadap pihak Kristen. Karen Armstrong memuji sikap Umar bin Khatab dan ketinggian sikap Islam dalam menaklukkan Jerusalem, yang belum pernah dilakukan para penguasa mana pun sebelumnya. Karen Armstrong mencatat:

Umar juga mengekspresikan sikap ideal kasih sayang dari penganut (agama) monoteistik, dibandingkan dengan semua penakluk Jerusalem lainnya, dengan kemungkinan perkecualian pada Raja Daud.  Ia memimpin satu penaklukan yang sangat damai dan tanpa tetesan darah, yang Kota itu belum pernah menyaksikannya sepanjang sejarahnya yang panjang dan sering tragis. Saat ketika kaum Kristen menyerah, tidak ada pembunuhan di sana, tidak ada penghancuran properti, tidak ada pembakaran symbol-simbol agama lain, tidak ada pengusiran atau pengambialihan, dan tidak ada usaha untuk memaksa penduduk Jerusalem memeluk Islam. Jika sikap respek terhadap penduduk yang ditaklukkan dari Kota Jarusalem itu dijadikan sebagai tanda integritas kekuatan monoteistik, maka Islam telah memulainya untuk masa yang panjang di Jerusalem, dengan sangat baik tentunya.”  (Dikutip dan diterjemahkan dari buku Karen Arsmtrong, A History of Jerusalem: One City, Three Faiths, (London: Harper Collins Publishers, 1997)

Studi kristologi
Disamping catatan-catatan indah tentang sejarah toleransi antar umat beragama, sejarah Islam juga dipenuhi dengan munculnya ribuan ilmuwan dalam studi agama-agama lain, khususnya studi Kristen (Kristologi) di berbagai penjuru dunia. Penjelasan yang cukup melimpah tentang Kristen dan kaum Nasrani dalam al-Quran dan hadits Nabi Muhammad saw, telah mendorong banyak ilmuwan Muslim menekuni secara serius studi Kristologi. Imam Syahrastani, Abul Qahir al-Baghdadi, Ibn Hazm, al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi, Ibn Taimiyah, dan sebagainya adalah sebagian kecil dari ulama Islam yang ’bertungkus lumus’ dalam mengkaji bidang Kristologi.

Uniknya, dalam mengkaji berbagai agama, para ulama Islam tetap mengacu kepada perspektif Tauhid, bukan pada perspektif humanisme sekuler yang netral agama. Dalam perspektif ini, unsur subjektif dan objektif dipadukan sekaligus. Para ulama Islam, tetap melakukan studi agama-agama secara objektif, yakni mengkaji fakta dengan seobjektif mungkin. Tetapi, ketika menilai fakta itu, maka mereka menggunakan posisi (cara pandang) Islam, bukan cara pandang netral agama.

Contoh yang menarik adalah kajian yang dilakukan oleh ilmuwan ’ensiklopedik’ Abu Rayhan Muhammad Ibn Ahmad al-Biruni (362/973-443/1051), yang lebih dikenal dengan nama al-Biruni. Dalam disertasi doktornya di International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, yang berjudul Early Muslim Scholarship in Religionswissenschaft, Dr. Kamaroniah Kamaruzaman menyatakan, bahwa metode studi agama yang digunakan oleh al-Biruni dalam studi agama-agama masih sangat relevan digunakan sampai saat ini. Studi agama-agama model al-Biruni – dan para ulama Islam lainnya – mampu memadukan antara objektivitas dan akurasi dengan keyakinan akan kebenaran Islam itu sendiri. Dengan kata lain, al-Biruni mengkaji berbagai agama, tanpa harus meninggalkan keyakinannya sebagai Muslim.

Perlu dicatat, al-Biruni adalah ilmuwan multi-disiplin ilmu. Prof. Mulyadi Kartanegara, dalam bukunya, Pengantar Epistemologi Islam, (2003), mencatat, bahwa pada abad ke-11 itu al-Biruni, dengan menggunakan rumus-rumus matematika,  sudah mampu menghitung keliling bumi sebesar 24.778,5 mil. Ilmu pengetahuan modern sekarang mencatat, keliling bumi adalah 24.585 mil. Sedangkan diameter bumi diukurnya sebesar 7.878 mil. Kini, ilmuwan modern menemukan diameter bumi adalah 7.902 mil.

Di tengah berbagai kegiatan penelitian ilmiahnya di bidang sains, al-Biruni juga menyempatkan diri menekuni bidang studi agama-agama selama bertahun-tahun dan menulis kitab yang monumental di bidang ini, yakni Kitab al-Hind dan Kitab al-Atsar.  Dalam Kitab  al-Hind, al-Biruni menegaskan,  bahwa  agama yang haq hanya satu, yakni ad-Dinul Islam. Kata al-Biruni: ”Fainna maa ‘adaa al-haqq zaaigh wa al-kufru millah wahidah min al-inhiraaf ‘anhu.”

Di Indonesia, studi Kristologi sudah berlangsung berabad-abad lalu. Salah satu karya monumental di bidang ini adalah kitab Tibyan Fii Ma’rifatil Adyan, karya ulama Aceh Nuruddin ar-Raniry. Kitab Tibyan ditulis Raniry atas permintaan Sulthanah Safiyyah al-Din Shah, sekitar tahun 1642-1644. Tujuannya tak lain untuk menjaga aqidah umat. Kitab ini mengkaji berbagai jenis agama dan kepercayaan selain Islam. Pakar pendidikan dan epistemology Melayu, Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud menilai ditulisnya kitab Tibyan Fii Ma’rifatil Adyan sebagai bentuk kepedulian dan kepekaan penguasa terhadap kesucian agama, dengan merujuk kepada ulama yang paling hebat dan berpengaruh kala itu.

Kedatangan penjajah Belanda di Indonesia semakin menyuburkan kajian-kajian Kristologi di Tanah Air Indonesia.  Catatan sejarah menunjukkan, bahwa Pangeran Diponegoro  memilih untuk meninggalkan istana Mataram juga dipicu oleh kesadaran agamanya.   Dalam Babad Cakranegara disebutkan, adalah Pangeran Diponegoro sendiri yang menolak gelar putra mahkota Kerajaan Mataram dan merelakan tahta untuk adiknya R.M Ambyah. Latar belakangnya, untuk menjadi Raja,  yang mengangkat adalah orang kafir (Belanda).  Diponegoro tidak ingin dimasukkan kepada golongan orang-orang murtad. Ini merupakan hasil tafakkurnya di Parangkusuma. Dikutip dalam buku Dakwah Dinasti Mataram: “Rakhmanudin dan kau Akhmad, jadilah saksi saya, kalau-kalau saya lupa, ingatkan padaku, bahwa saya bertekad tak mau dijadikan pangeran mahkota, walaupun seterusnya akan diangkat jadi raja, seperti ayah atau nenenda. Saya sendiri tidak ingin. Saya bertaubat kepada Tuhan Yang Maha Besar, berapa lamanya hidup di dunia, tak urung menanggung dosa (Babad Diponegoro, jilid 1 hal. 39-40).

Arus besar Kristenisasi di Indonesia pada awal abad ke-20 semakin menggalakkan banyak ulama dan kaum Muslim untuk melakukan studi Kristologi.  Tujuannya tak lain untuk membendung arus Kristenisasi. Dalam disertasi doktornya yang kemudian diterbitkan sebagai buku dengan judul Membendung Arus: Repons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Dr. Alwi Shihab mencatat:  “… sebagai organisasi yang paling aktif membendung misi-misi Kristenisasi, Muhammadiyah secara terbuka berupaya menganggulangi pasang naik kegiatan misionaris Kristen dalam berbagai cara.”
Juga, tulis Alwi Shihab: ”kehadiran misi Kristen dan penetrasi mereka ke negeri ini, serta pengaruh yang mereka desakkan, menjadi faktor pendorong utama yang memicu munculnya semangat keagamaan KH Ahmad Dahlan yang menggebu-gebu, yang pada gilirannya menyebabkan lahirnya Muhammadiyah. Kehadiran dan penetrasi Kristen terutama adalah hasil upaya kolonialisme Belanda dalam memupuk semangat misi Kristen.”

Semangat membendung arus Kristenisasi di Indonesia itulah yang antara lain banyak mendorong lahirnya ratusan – mungkin ribuan — Kristolog-kristolog Muslim di Indonesia.  Tentu saja, sejalan dengan dinamika dan tantangan zaman, studi-studi kristologi di Indonesia perlu ditingkatkan lebih serius, baik dari segi isi, metodologi, maupun sistametika. Apa yang telah dirintis oleh para kristolog terdahulu sudah seharusnya dikaji ulang, dan jika perlu dikembangkan lebih baik lagi. (***)

Leave a Reply