Dalam bukunya, Menjadi Saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk, (Jakarta: Penerbit Obor, 2004, hal. 15), Franz Magnis-Suseno SJ, menulis: “Dengan kata lain, Gereja, kita, mempermaklumkan kabar gembira karena kabar itu menggembirakan, dan kabar-kabar yang menggembirakan harus disebarluaskan. Gereja mempermaklumkan Yesus dan beritanya tentang Allah karena Gereja percaya dan tahu bahwa mengenal Yesus, membiarkan diri ditawan oleh-Nya, mengikuti jejak-Nya, merupakan kebahagiaan terbesar yang dapat dialami seseorang.”
Menurut Franz Magnis-Suseno, setiap orang Kristiani diharuskan menjalankan misi agamanya. “Dimana pun mereka berada, orang-orang Kristiani diutus untuk memancarkan kasih saying Yesus bagi orang-orang miskin, mereka yang membutuhkan bantuan dan kaum dosa, positivitasnya yang murni. Persis seperti itulah misi, termasuk dalam negara dengan mayoritas Muslim.” (Ibid, hal. 20).
Pada Agustus 2003 (cetakan ke-7), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) – induk kaum Katolik Indonesia – menerjemahkan dan menerbitkan “Ensiklik (Surat Edaran ) Bapa Suci Sri Paus Yohanes Paulus II” dengan judul “Redemptoris Missio” (Tugas Perutusan Sang Penebus). Ensiklik ini merupakan pidato Paus Yohanes Paulus II di Roma, 7 Desember 1990, saat peringatan Ulang Tahun ke-25 Dekrit Konsili Vatikan II tentang misi Kristen (Ad Gentes).
Dalam seruannya, Paus Yohanes Paulus II mengajak kaum Katolik untuk mengarahkan tugas misi mereka kepada orag-orang non-Kristiani. Sebab, setelah berlalu 2000 tahun, ternyata sebagian besar manusia masih belum menerima pewartaan tentang Yesus Kristus. Kata Paus Yohanes Paulus II:
“Pertumbuhan penduduk di negara-negara Non-Kristen di Selatan dan di Timur terus menerus meningkatkan jumlah orang yang tetap tidak menyadari adanya Penebusan Kristus. Karena itu, kita perlu mengarahkan perhatian kita kepada wilayah-wilayah geografis itu dan lingkungan-lingkungan kebudayaan yang masih tetap tidak terpengaruh oleh Injil. Semua orang yang percaya akan Kristus hendaknya merasakan sebagai suatu bagian utuh dari iman mereka, suatu kepedulian rasuli untuk meneruskan cahaya dan kegembiraan ini kepada orang-orang lain. Kepedulian ini mesti menjadi seakan-akan suatu rasa lapar dan haus untuk memperkenalkan Tuhan, karena demikian maha-luaslah dunia non-Kristen itu.” (hal. 51).
Pun, KWI sudah menebitkan Imbauan Apostolik Paus Paulus VI tentang “Karya Pewartaan Injil di Jaman Modern, (Evagelii Nuntiandi)”, yang disampaikan Paus pada 8 Desember 1975. Dalam imbauan ini, Paus Paulus VI pun menekankan keharusan kaum Katolik untuk mengarahkan misinya, terutama kepada kaum bukan Kristen. Paus menyatakan:
“Pewartaan pertama juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk agama-agama bukan Kristen. Gereja menghormati dan menghargai agama-agama non-Kristen sebab mereka merupakan ungkapan hidup dari jiwa kelompok besar umat manusia. agama-agama tadi mengandung gema usaha mencari Allah selama ribuan tahun, suatu usaha mencari yang tidak pernah lengkap tapi kerap kali dilakukan dengan ketulusan yang besar dan kelurusan hati… Kami mau menunjukkan, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun penghargaan terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen. Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui kekayaan misteri Kristus.” (Evangelii Nuntiandi, Jakarta: KWI, 2005, cetakan ke-24, hal. 44-45).
Banyak buku menjelaskan jenis dan bentuk-bentuk misi Katolik yang harus dilakukan. Salah satunya ditulis oleh Pdt. Widi Artanto, M.Th., melalui bukunya, Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia, (Yogya: Taman Pustaka Kristen, 2008). Buku ini merumuskan bentuk-bentuk implementasi misi Gereja di Indonesia, yakni: misi penciptaan, misi pembebasan, misi kehambaan, misi rekonsiliasi, dan misi kerajaan Allah.
*****
Tentu saja, sebagai tokoh Katolik, sosok dan kiprah Soegija tidak bisa terlepas dari tugas utamanya untuk menjalankan misi Katolik di Indonesia. Dalam bukunya, Katolik di Masa Revolusi Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 1999, hal. 40-41), Jan Bank menceritakan, bahwa Soegija – nama lengkapnya Albertus Soegijapranata — lahir di Solo, 25 November 1896. Ia masuk agama Katolik saat belajar di sekolah guru di Muntilan yang didirikan oleh Pater Van Lith. Tahun 1919 ia dikirim ke Belanda dan tahun 1922 memasuki Ordo Yesuit. Di sana ia menjadi murid Rektor Willekens. Pada 15 Agustus 1931, Soegija ditahbiskan sebagai pastor oleh Uskup Van Roermond di Maastrict. Tahun 1933, Soegija kembali ke Indonesia dan pada 1934, ia diangkat menjadi kapelan (pastor pembantu) di Bintaran, sebuah kampung di Yogyakarta. Dua tahun kemudian, ia diangkat mejadi pastor. Tahun 1940, ia diangkat menjadi Uskup.
Sosok Soegija memang tak bisa dilepaskan dari sosok Frans Van Lith, tokoh Yesuit yang sangat aktif melakukan kegiatan misi melalui pendidikan dan budaya Jawa. Buku “Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia 1860-an sampai Sekarang” karya Dr. Th. Van den End dan Dr. J. Weitjens SJ (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002, hal. 440) menuliskan sekilas kisah Soegija bersekolah guru dan mengubah agama menjadi Katolik di bawah asuhan van Lith: “Ada beberapa hal yang diutamakan Pastur van Lith: murid-murid Muntilan hidup dalam internaat-asrama supaya pendidikan sungguh-sungguh membina orang dewasa berkeribadian. Pastur sendiri kerap kali pergi ke Yogya, Solo, dan tempat-tempat lain untuk mencari murid: Kasimo dan Soegija adalah di antara murid-muridnya yang terkenal. Waktu masuk Muntilan, Soegija menyatakan dia ingin sekolah, tak mau jadi Katolik, tetapi pada tanggal 24 Desember 1909 Albertus Soegijapranata dibaptis.”
Posisi sekolah guru (kweekschool) asuhan van Lith diuntungkan oleh kebijakan pemerintah penjajah Belanda, khususnya di bawah Gubernur Jenderal AF van Idenburg (1909-1916) yang sangat berpihak kepada misi Kristen di Hindia Belanda (Indonesia). Lulusan sekolah ini diberi hak yang sama dengan sekolah milik Belanda untuk menjadi guru di sekolah-sekolah negeri. Perlu dicatat, bahwa bagi masyarakat pada umumnya, saat itu merupakan suatu yang bergengsi jika seseorang dapat diangkat sebagai guru di sekolah-sekolah milik pemerintahan penjajah Belanda. Dalam buku “Ragi Carita” disebutkan, bahwa lulusan kweekschool Muntilan “harus berani berkecimpung di seluruh masyarakat Indonesia, menjadi ragi di mana pun mereka bekerja.” (Ibid).
Perkembangan Katolik di Jawa lumayan pesat. Pada tahun 1940 sudah ada sekitar 500 sekolah Katolik, dengan sekitar 56.000 murid dan lebih dari 1.300 guru pribumi. Pada situasi seperti itulah, pada 4 Agustus 1940, Paus Pius XII mengangkat Albertus Soegijapranata SJ, sebagai Vikaris Apostolik Semarang, sebagai uskup pribumi pertama. Pada 1939, Soegija diangkat sebagai consultor (penasehat) pribumi pertama bagi Superior Serikat Yesus (SJ). (Ibid, hal. 442).
Tentang strategi misi dalam membawa orang-orang Jawa kepada Katolik, Frans van Lith menekankan perlunya para misionaris mempelajari bahasa dan budaya lokal:
“Jika para misionaris ingin membawa orang non-Kristen kepada Kristus, mereka harus menemukan titik awal bagi penginjilan. Di dalam agama merekalah terletak hati dari orang-orang ini. Kalau para misionaris mengabaikan ini, mereka juga akan kehilangan titik temu untuk menawarkan kabar gembira dalam hati mereka. Di Pulau Jawa, khususnya, di mana penduduk yang paling maju dari seluruh kepulauan ini tinggal, mempelajari Hinduisme, Budhisme, Islam, dan budaya Jawa adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditunda. Agama-agama ini telah berkembang, tetapi agama asli tidak pernah tercabut dari hati orang-orang ini.” (Lihat buku “Van Lith, Pembuka Pendidikan Guru di Jawa, Sejarah 150 th Serikat Jesus di Indonesia” oleh Fl. Hasto Rosariyanto SJ, Yogya: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2009, hal. 151-152).
Untuk meminta dukungan pemerintah Belanda, Pastor van Lith harus pergi ke Bogor menemui Gubernur Jenderal van Idenburg. Kerja kerasnya berhasil, sehingga pada 11 Oktober 1911, Kweekschool-B di Muntilan menerima kunjungan resmi dari Gubernur Jenderal. Setahun kemudian, sekolah ini menerima status disamakan dari pemerintah Belanda. Buku “van Lith” menceritakan bahwa sekolah di Muntilan dan Mendut menjadi tujuan para pelajar dari berbagai daerah. Mereka dating denga satu hasrat: “mendapatkan pendidikan yang berkualitas agar nantinya memperoleh sebuah pekerjaan yang lebih baik.” (Ibid, hal. 162).
Digambarkan, bahwa saat itu, di Muntilan ada 350 siswa non-asrama dan 150 siswa asrama. Pola kristenisasi melalui pendidikan, sebagaimana dilakukan van Lith, ternyata cukup efektif. Diceritakan dalam surat Pater I. Vogels kepada para Pater Jesuit di Oudenbosch, tertanggal 24 Oktober 1910: “Jumat lalu ada 53 siswa yang mengikuti ujian masuk, tetapi yang diterima hanya 28 karena kapasitasnya memang tidak bisa lebih dari 115 orang. Sampai sekarang para siswa ini datang sebagai Moslem dan hampir semua dari mereka di kemudian hari menjadi Katolik. Juga 28 siswa yang baru saja diterima itu sebagian besar masih Moslem.” (Ibid, hal. 162).
Pater van Lith memang sangat menekankan pentingnya misi Katolik melalui pendidikan. Bahkan, ia berpendapat, masa depan Gereja Katolik di Indonesia akan ditentukan oleh sumbangannya terhadap pendidikan pribumi. Kata van Lith: “Karya misi mana pun yang tidak mulai dengan atau yang tidak berakar pada pendidikan akan menemui kegagalan.” (Ibid, hal. 206).
Dalam menjalankan misinya, van Lith juga sangat fanatik terhadap budaya dan bahasa Jawa sembari mengritik keras pengembangan bahasa Melayu di Jawa. Padahal, saat itu, bahasa Melayu semakin menjadi sarana penting untuk menumbuhkan identitas nasional di antara gerakan-gerakan nasional. Akan tetapi, menurut van Lith, bahasa Melayu tidak akan berkembang, dan perannya akan digantikan dengan bahasa Belanda. Dalam sebuah kongres bahasa Jawa, van Lith memperingatkan agar orang Jawa berbangga dengan bahasa Jawa dan menghapus bahasa Melayu dari sekolah-sekolah. Ia berpegang pada pepatah: “sebuah bangsa yang tidak memiliki karya sastranya sendiri akan tetap tinggal sebagai bangsa kelas dua.” (Ibid, hal. 173).
Saat Kristen atau Katolik menjalankan misinya di Tanah Jawa, sebenarnya penduduk Jawa sudah muslim. Setidaknya, budaya Islam sudah berakar di Tanah Jawa. Bahkan, pemerintah penjajah Belanda pun menganggap “semua Jawa adalah muslim”. Karena itu, Belanda hanya memberikan wewenang kepada penghulu untuk mencatat perkawinan di Jawa. Ketika itu, pemuda Jawa yang berpindah agama menjadi Kristen/Katolik sampai mengalami kesulitan dalam mengurus pencatatan perkawinan. Dalam suratnya kepada Mgr. E. Luypen, tahun 1902, van Lith menyebutkan, bahwa pemuda Katolik yang menikah akhirnya meninggalkan Gereja Katolik karena setelah perkawinan mereka, “mereka menjadi bagian dari kawanan muslim.” Untuk itu, van Lith meminta ijin pemerintah Belanda, agar ia dibolehkan melakukan pencatatan perkawinan. (Ibid, hal. 234-235).
Contoh lain kuatnya pengaruh Islam dalam budaya Jawa adalah masalah khitan. Kaum Katolik pada umumnya, berpegang kepada surat Paulus kepada penduduk Galatia (Gal 5, 2): “Sesungguhnya aku, Paulus, berkata kepadamu: jikalau kamu menyunatkan dirimu, Kristus sama sekali tidak akan berguna bagimu.” Dengan berbagai pertimbangan, van Lith tidak menentang praktik sunat di kalangan Katolik di Jawa, karena sunat itu tidak lagi memiliki makna keagamaan. Akan tetapi, van Lith menentang tambahan doa Arab dalam sunatan atau sunat sebagai bentuk pertobatan menjadi Muslim.
Sejak tahun 1876, seluruh misi Katolik dipercayakan kepada Jesuit Belanda meskipun Vikarisnya masih tetap seorang diosesan. Tahun 1893, diangkatlah seorang Jesuit, Mgr. W. Staal, sebagai Vikaris Batavia. Saat itu ada sekitar 30 Jesuit yang bekerja di wilayah Indonesia. “Mgr. Soegijapranata merupakan salah satu dari Jesuit-jesuit pertama yang lulus dari Kolese Xaverius Mantilan.” (hal. 91).
Mgr. I. Suharyo, dalam tulisannya bertajuk “Refleksi Perjalanan dan Arah ke Depan Keuskupan Agung Semarang” menyebutkan bahwa Soegija sangat mencitakan terwujudnya Gereja yang mengakar dalam budaya setempat. Tahun 1956, Soegija mengizinkan penerimaan sakramen baptis dengan menggunakan bahasa Jawa atau Indonesia. “Kesenian tradisional seperti wayang, ketoprak, slawatan digunakan sebagai media untuk pewartaan. Gamelan dianjurkan digunakan dalam liturgi. Segala usaha ini didukung dengan memajukan bidang pendidikan yang tetap sebagai bidang pelayanan yang akan berdampak jauh ke masa depan.”
Lalu, disimpulkan: “Yang dicita-citakan adalah Gereja yang dengan bahasa Injil, benar-benar menjadi garam di dalam masyarakat. Dan tidak boleh dilupakan, Gereja di wilayah Keuskupan Agung Semarang ini berkembang secara menakjubkan berkat darah para martir yang telah menyuburkan benih-benih iman, harapan, dan kasih Kristiani yang telah disebarkan oleh begitu banyak orang.” (Lihat buku Bercermin pada Wajah-wajah Keuskupan Gereja Katolik Indonesia, ed. Dr. F.Hasto Rosariyanto SJ, Yogya: Kanisius, 2001, hal. 292). (Depok, 28 Juni 2012).