Pemimpin kaum Katolik sedunia Paus Johannes Paulus II membuat seruan dalam pidato Paskah Mingu (11 April 2004), agar para pemimpin negara menyelesaikan konflik-konflik di Iraq, Timur Tengah, dan Afrika dan mendesak para pemeluk Kristiani, Islam, dan Judaisme (Yahudi) untuk menemukan kembali persaudaraan yang mereka miliki. Paus juga berdoa agar harapan dapat mengalahkan fenomena meningkatnya terorisme yang tak berperikemanusiaan.
Seruan Paus untuk menyelesaikan konflik-konflik di dunia internasional itu tentu perlu disambut baik. Namun, Paus tidak memberikan klarifikasi yang lebih jelas, mengapa dan bagaimana konflik-konflik dan tragedi itu mestinya diselesaikan. Tahun 2003, Paus termasuk diantara tokoh dunia yang menentang invasi AS ke Iraq. Ia bahkan memperingatkan bahwa invasi pasukan AS dan koalisinya di Iraq akan memicu keretakan hubungan antara Muslim dan Kristen. Paus termasuk penentang serangan AS ke Iraq.
Tahun lalu, pada tanggal 20 April 2003, dalam rangka Minggu Paskah, Paus juga berpidato yang isinya menyerukan perdamaian di Iraq dan pencegahan ancaman konflik antarbudaya dan agama. Ketika itu, di hadapan sekitar 50 ribu orang di lapangan Basilika Santo Petrus dan jutaan pemirsa televisi, Paus menyampaikan khotbahnya tentang konflik yang masih berlangsung di Tanah Suci. Menurutnya, kekerasan yang terus berlangsung antara tentara Israel dan penduduk Palestina memperlihatkan tidak adanya usaha untuk melakukan gencatan senjata.
“Marilah kita hentikan mata rantai kebencian dan terorisme yang mengancam keberlangsungan keluarga manusia. Semoga Tuhan membebaskan kita dari pertentangan tragis antarbudaya dan agama,” katanya.
Paus Johannes Paulus II juga mengungkapkan kekhawatiran perang yang dikobarkan AS di Iraq akan dimanfaatkan oleh kelompok ekstrem yang menganggap hal ini sebagai konflik antarperadaban. “Dianggap sebagai konflik antara Barat dan Timur atau antara Kristen dan Muslim,” ungkapnya lagi, seperti diberitakan website Kompas.
Secara umum, pidato Paus itu tentu simpatik, mengajak dan mengharapkan terciptanya perdamaian dunia. Namun, dunia tentu berharap lebih jauh dari itu. Paus, sebagai “institusi wakil Kristus” seyogyanya memberikan penilaian yang lebih tegas terhadap berbagai masalah yang didoakannya. Paus seyogaynya menunjukkan dengan jelas siapa yang salah dan siapa yang benar. Seperti masalah Palestina dan Iraq. Kedua, masalah itu begitu jelas duduk persoalannya. Masalah Palestina terjadi karena pendudukan dan penjajahan Zionis Israel atas Palestina. Sedangkan masalah Iraq yang terus berkelanjutan sampai sekarang terjadi akibat serangan AS terhadap Iraq.
Mengapa Paus tidak dengan tegas mendoakan agar Zionis Israel segera menghentikan kezaliman-kezalimannya dan mundur dari wilayah yang didudukinya. Sepanjang sejarah Kepausan, sikap Paus terhadap Yahudi memiliki berbagai corak yang beragam. Pada satu sisi, Paus seperti dibayangi sejarah masa lalu yang kelam, saat Gereja melakukan berbagai tindakan sadis dan kekejaman terhadap Yahudi di Eropa. Sekarang, ada tanda-tanda, Paus tidak bersikap begitu tegas terhadap Zionis Israel. Pada 1 Desember 2003, sekelompok Yahudi sayap kanan (Yahudi Zionis), berjumpa dengan Paus untuk melakukan pembicaraan yang menentang aksi “suicide bombing” (bom syahadah). Kelompok Yahudi dari “The Simon Wiesenthal Center” itu melakukan kampanye yang mendesak dunia internasional agar menetapkan suicide bombing sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan” (crime against humanity). Mereka juga menyatakan, suicide bombing sebagai the crime of the 21st century.
Saat berjumpa Paus, ketika itu, Rabbi Marvin Hier, menyatakan, bahwa dunia sekarang berharap pada Paus untuk menyatakan, aksi bom syahadah semacam itu adalah kejahatan terhadap Tuhan dan manusia. (The world turns to you, Your Holiness, to declare such acts as both crimes against God and crimes against humanity)
Namun, Paus tidak menjawab secara tegas permintaan kelompok Yahudi sayap kanan itu, dan hanya menyatakan: “In these difficult times let us pray that all peoples everywhere will be strengthened in their commitment to mutual understanding, reconciliation and peace.”
Sikap Paus terhadap Yahudi yang memicu kontroversi juga adalah komentarnya tentang film kontroversial The Passion of the Christ karya Mel Gibson, dimana Paus diberitakan menyatakan film itu sebagai “It is at It was”. News Week edisi 16 Februari 2004 memberitakan, Paus memberikan komentarnya setelah menonton film tersebut. Secara umum, Film ini memang digarap sesuai dengan cerita dalam empat versi Perjanjian Baru. Hanya, menurut News Week, Bible itu sendiri boleh jadi merupakan sumber cerita yang problematis. Jika Paus menyatakan film itu sesuai dengan apa adanya, sebagaimana paparan dalam Bible, justru dalam film itu ditemukan berbagai penyimpangan dari cerita versi Bible.
Mel Gibson adalah penganut Roma Katolik yang ultra konservatif. Ia menafsirkan penderitaan Yesus dalam Injil secara literal. Dengan dukungan kaum Injili Amerika, yang pro-Zionis, film itu mendapat promosi gratis di kalangan jemaat gereja-gereja dan sudah mendatangkan keuntungan sekitar lebih dari 29 juta USD. Padahal, film ini memberikan gambaran yang jelas, bahwa Yahudilah yang harus bertanggung jawab terhadap terbunuhnya Jesus. Sedangkan Pilatus, penguasa Romawi, digambarkan sebagai penguasa yang lemah dan menyerah kepada tuntutan pemuka-pemuka Yahudi ketika menghukum Jesus. Juga, dalam film ini, Maria Magdalena, yang dalam Bible disebutkan sebagai saksi mata kebangkitan Jesus, diidentikkan dengan perempuan yang berzina.
Di kalangan Kristen telah muncul perdebatan keras seputar kebangkitan Jesus itu sendiri. Padahal, ini adalah masalah pokok dalam teologi atau kepercayaan mereka. Tahun 2003 lalu, dalam pidato Paskahnya, Paus menyatakan: “Jika Kristus tidak bangkit dari kematian, tidak saja iman kita menjadi sia-sia, namun kita semua juga masih akan terbelenggu iblis dan maut.”
Dalam Bible, (Markus 16:1-8, Matius 28:1-10), misalnya, diceritakan tentang kebangkitan Jesus itu. Meskipun Maria Magdalena dan Maria lainnya tidak menyaksikan langsung proses kebangkitan Jesus itu. Cerita seputar inilah yang menimbulkan perdebatan hebat di kalangan Kristen. Seorang profesor Bible, John Dominic Crossan, dalam bukunya, Who Killed Jesus?, (1995:216-217) menulis, bahwa cerita tentang kubur Jesus yang kosong adalah “satu cerita tentang Kebangkitan dan bukan kebangkitan itu sendiri”. (Empty tomb stories and physical appearance stories are perfectly valid parables expressing that faith, akin in their own way to the Good Samaritan story. They are, for me, parables of resurrection not the resurrection itself). Cerita tentang Jesus, seperti tertera dalam Bible, disusun sekitar tahun 60-90 M, atau 30-60 tahun sesudah peristiwa itu terjadi. Tentu saja, cerita-cerita itu disusun sesuai dengan kepentingan misi Kristen ketika itu. Termasuk cerita seputar penyaliban dan kebangkitan Jesus. Itulah yang dibuktikan oleh Crossan melalui bukunya tersebut. Buku ini tentu saja ditolak oleh kalangan Kristen utama. Jika buku ini diterima, maka runtuhlah fondasi utama kepercayaan Kristen.
Al-Quran sudah mengkritik salah satu pilar kepercayaan Kristen ini dan menjelaskan, bahwa orang-orang yang berselisih pendapat tentang masalah pembunuhan Jesus itu hanyalah mengikuti syak-wasangka. “Wa inna ‘lladziina ikhtalafuu fiihi lafii syakkin minhu”, (QS 4:157). “Syak” artinya tingkatan kepercayaan itu hanya sekitar 50 persen. Mereka tidak yakin akan hal itu, dan memang hingga kini mereka berkutat mempersoalkan bukti-bukti sejarah. Berbeda dengan penulisan al-Quran dan hadith yang menggunakan metodologi ilmiah yang kuat – dengan metode isnad – maka hal semacam itu tidak dijumpai dalam metodologi penulisan Bible.
Terlepas dari itu, Paskah memang menjadi hari Raya penting kaum Nasrani. Seperti biasanya, Paus juga menyampaikan pidato yang menyerukan perdamaian. Sementara pada sisi lain, tahun ini, George W. Bush, pengobar perang di Iraq, juga merayakan Paskah di pangkalan Angkatan Darat terbesar AS di Fort Hood, Texas.
Di Moskow, Presiden Rusia Vladimir Putin dan beberapa pejabat tingginya merayakan Paskah Kristen Ortodoks dipimpin Patriarkh Alexy II. Di beberapa tempat, seperti di Filipina, beberapa kalangan Kristen masih ada yang merayakan Paskah dengan meniru proses penyaliban yang dialami Yesus. Puluhan orang di sebuah desa (Cutud) di Filipina membiarkan dirinya disalib. Di Surabaya, beberapa gereja Katolik menggelar pementasan jalan salib. Di Indonesia, Paskah ditetapkan menjadi hari libur nasional. Di Malaysia tidak.
Di tengah semaraknya Paskah, di dunia Barat dan berbagai dunia, kasus Iraq menjadi semakin tidak menentu. Bush yang mengaku sebagai “Kristen yang terlahir kembali”, terus memerintahkan pasukannya melakukan pendudukan dan pembunuhan di Iraq. Keluarga Bush juga dikenal sangat dekat dengan tokoh-tokoh gereja konservatif, terutama Reverend Moon, seorang pemimpin The Unification Church. Kalangan fundamentalis Kristen inilah yang sangat dekat dengan kalangan fundamentalis Yahudi.
Karena itu, tidaklah heran, jika begitu Iraq diduduki, kalangan misionaris Kristen segera bertindak melaksanakan aksinya. Satu lembaga amal bernama Samaritan’s Purse, yang dikelola Franklin Graham, misalnya bertindak menyebarkan makanan dan Bible.
Franklin Graham adalah anak dari tokoh misionaris AS Billy Graham, yang menyatakan, bahwa Islam adalah “agama jahat” (a very evil and wicked religion).
Bagi kaum Muslim, tidaklah sulit untuk melihat, bahwa selain ada motif-motif politik, ekonomi, dan sebagainya, perang itu juga bernuansa agama. Tindakan pasukan AS dan para misionaris Kristen di Iraq tentulah sulit untuk tidak dikaitkan dengan agama. Karena itu, sangatlah tidak tepat, jika Paus mengungkapkan rasa khawatirnya, bahwa perang yang dikobarkan AS di Iraq akan dimanfaatkan oleh kelompok ekstrem yang menganggap hal ini sebagai konflik antar peradaban; dianggap sebagai konflik antara Barat dan Timur atau antara Kristen dan Muslim.
Kaum Muslim pun paham, bahwa jutaan orang Kristen dan Yahudi di negara-negara Barat sendiri juga menentang Perang terhadap Iraq itu. Namun, Paus juga perlu memahami bahwa jika rakyat Iraq bereaksi melakukan aksi jihad melawan penjajahan, itu bukanlah tindakan ekstrim. Itu adalah tindakan sah dari rakyat yang dijajah dan begitu dimuliakan dalam ajaran Islam. Pidato seperti itulah yang kita tunggu dari Paus, yang memberikan hak kepada kaum Muslim dan seluruh manusia untuk merdeka dan terlepas dari belenggu penjajahan sebagian penguasa Barat yang notabene juga memiliki kepercayaan yang sama tentang Yesus dengan Paus. (KL, 15 April 2004).