Oleh : Bahrul Ulum (Peneliti Institut Pemikiran dan Peradaban Islam (InPAS) Surabaya)
Pada 19 Desember 1948, agresi militer Belanda II menyerang Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu. Pemimpin nasional: Soekarno, Muhamad Hatta dan Syahrir tertangkap. Segera setelah agresi itu, Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar TKR (Tentara Keamanan Rakyat) mengeluarkan perintah kilat agar seluruh tentara Indonesia melakukan gerilya melawan Belanda.
Meski sakit, Sudirman memimpin langsung gerilya. Bersama pasukannya, ia keluar masuk hutan, naik turun gunung guna menyerang pos-pos militer Belanda. Taktik gerilya itu ternyata melemahkan moral pasukan Belanda. Banyak yang putus asa dan merasa terancam keselamatannya. Sebab tanpa diduga, mereka mendapat serangan mendadak dari pasukan Jenderal Sudirman.
Belanda merasa kewalahan menghadapi pasukan Sudirman. Mereka hanya bisa menguasai perkotaan, sedangkan di luar itu, sudah masuk wilayah gerilya tentara pimpinan Sudirman. Di sisi lain, tekanan diplomatis terhadap Belanda juga bertubi-tubi, karena dunia internasional melihat ternyata tentara pimpinan Jenderal Sudirman masih eksis.
Perang gerilya yang dilakukan Pak Dirman, merupakan upaya mencontoh Rasulullah ketika hijrah ke Madinah. Dari taktik yang dipakai dapat dibaca bahwa Sudirman memahami taktik Rasulullah saat mengelabuhi orang kafir Quraisy. Saat berada di desa Karangnongko –setelah sebelumnya menetap di desa Sukarame — Sudirman menganggap desa itu tidak aman. Ia memutuskan untuk meninggalkan desa itu dengan taktik penyamaran, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah besarta para sahabatnya saat akan berhijrah.
Usai shalat Subuh, Jenderal Sudirman bersama pengawalnya pergi menuju hutan. Mantel yang biasa ia pakai ditinggal dalam rumah di desa itu, termasuk beberapa anggota rombongan yang terdiri dari Suparjo Rustam dan Heru Kesser. Pagi harinya Heru Kesser segera mengenakan mantel tersebut dan bersama Suparjo Rustam berjalan menuju arah selatan. Sampai di sebuah rumah, barulah mantel tersebut dilepas dan mereka berdua bersama beberapa orang secara hati-hati menyusul Sudirman. Ternyata, sore harinya pesawat Belanda memborbardir rumah yang sempat disinggahi Heru Kesser dan Suparjo Rustam.
Untuk menyebarluaskan semangat perjuangan jihad tersebut, Jenderal besar ini menyebarkan selebaran yang berisi seruan kepada seluruh rakyat dan tentara untuk terus berjuang melawan Belanda dengan mengutip salah satu hadits Nabi. “Insyaflah! Barangsiapa mati, padahal (sewaktu hidupnya) belum pernah ikut berperang (membela keadilan) bahkan hatinya tidak ada hasrat sedikitpun berperang, maka matinya di atas cabang kemunafikan.”
Secara khusus Sudirman juga memberi semangat pasukannya agar tidak takut dan bersedih karena Allah bersama orang-orang beriman. Di samping itu, Sudirman selalu mengingatkan pasukannya agar membersihkan hatinya dalam perjuangan tersebut. Mereka harus yakin bahwa Allah tidak akan melalaikan hamba-Nya yang memperjuangkan sesuatu yang adil berdasar kesucian batin.
Dalam perjalanan gerilya, setiap mampir di pedesaan atau kampung, Pak Dirman, demikian ia biasa dipanggil rakyat, selalu menyelenggarakan pengajian. Inilah yang membuatnya dekat dengan masyarakat. Tiap malam, meski kondisi tubuhnya sakit akibat penyakit paru-paru, ia selalu menunaikan shalat tahajud.
Dalam rangka mengobarkan semangat jihad di kalangan tentara dan masyarakat, Pak Dirman erat menjalin hubungan kerja sama dengan pesantren-pesantren. Sebagai contoh, pada waktu pertempuran di Magelang dan Ambarawa, ia bekerja sama dengan pondok pesantren di Payaman pimpinan Kyai Siraj. Pondok Pesantren ini banyak menggiring santrinya untuk berjihad dalam pertempuran Ambarawa.
Pak Dirman juga selalu menanamkan kepada tiap anak buahnya sikap hidup mulia atau mati syahid. Dalam setiap pidatonya ia selalu mengutip ayat Qur’an yang banyak mengandung kata “Jihad” seperti surah Ash-Shaff ayat 10 dan 11 serta surah al-Baqarah ayat 154. Jenderal Sudirman juga sering meneriakkan takbir “Allahu Akbar!” saat memimpin peperangan. Kurang lebih tujuh bulan ia mempimpin perang gerilya sampai akhirnya Belanda hengkang dari Yogyakarta.
Da’i yang Jenderal
Sudirman lahir dari keluarga petani kecil, di desa Bodaskarangjati, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Ayahnya seorang mandor tebu pada pabrik gula di Purwokerto. Sejak bayi ia diangkat anak oleh asisten wedana (camat) di Rembang, R. Tjokrosunaryo.
Anak yang lahir pada tanggal 24 Januari 1916 ini termasuk beruntung. Pasalnya untuk zaman itu, ia bisa mengenyam pendidikan di Sekolah Guru Muhammadiyah di Solo, meski tak sampai tamat. Namun karena pendidikannya termasuk tinggi, Sudriman bisa menjadi guru di Muhammadiyah Cilacap. Selain sebagai guru, ia juga aktif berdakwah sehingga namanya tersohor di Cilacap dan Banyumas.
Sebagai aktifis Muhammadiyah, Sudirman muda aktif di Hizbul Wathon, kepanduan milik Muhammadiyah. Ternyata, di wadah ini bakat kemiliterannya menonjol. Karena hal itu, ia kemudian masuk seleksi pendidikan tentara Pembela Tanah Air (Peta) di Bogor.
Karir militer Sudirman tergolong cepat. Lulus dari pendidikan tersebut, ia diangkat menjadi Komandan Batalyon di Kroya. Sesudah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat menjadi Panglima Divisi V/Banyumas dengan pangkat kolonel. Dalam Konferensi TKR tahun 1945, Sudirman terpilih menjadi Panglima Besar TKR dan dilantik oleh presiden dengan pangkat jenderal. Sejak itu TKR tumbuh menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Meski ia menjadi petinggi militer di Yogyakarta, ia tetap aktif mengikuti pengajian “Malam Selasa”, yang diselenggarakan oleh PP Muhammadiyah di Kauman, berdekatan dengan Masjid Besar Yogyakarta. Untuk menjaga hubungannya dengan laskar Islam, ia juga tidak segan-segan mendatangi markas mereka. Misalkan pada tahun 1946, ia mengunjungi laskar Hizbullah-Sabilillah Surakarta. Kedatangan sang Jenderal besar ini kontan menambah semangat juang anggota Hizbullah-Sabilillah yang tengah bersiap berangkat ke medan perang.
Inilah yang menjadikan sosok Jenderal ini berwibawa dan disegani. Di mata rakyat, ia seorang jenderal dan panglima besar yang istimewa. Semangat jihadnya telah mengantarkannya menjadi sosok legendaries dalam sejarah militer Indonesia.
Panglima Besar Jenderal Sudirman meninggal dunia di Magelang pada 29 Januari 1950 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki, Yogyakarta. *