Home Artikel Selamat Datang, INSISTS!

Selamat Datang, INSISTS!

3178
1

Dari redaksi:

Beberapa saat setelah INSISTS dibentuk, 14 tahun lalu, pemimpin redaksi Majalah Suara Hidayatullah, W.P. Dzikrullah, melalui medianya tersebut menuliskan sambutannya atas kedatangan kami. Kami memuat kembali tulisan itu. Semoga Allah tetap menjaga dakwah dan ukhuwah ini, dan mengantarkannya menuju capaian lebih gemilang di masa depan.

***

Izinkan saya memperkenalkan sekumpulan pemuda kepada Anda sekalian. Mereka berotak encer, dan berendah hati terhadap guru dan ulama. Mereka menguasai minimal dua bahasa asing (tidak sedikit yang kemudian menguasai Latin, Jerman, Ibrani, dan beberapa lainnya), dan sebagian di antaranya hafizh al-Qur’an. Mereka bergelar master, doktor, dan berdisiplin menjaga kehidupan ‘ubudiyah-nya serta syari’ah dalam keluarganya. Last but not least, mereka menguasai seluk-beluk pemikiran dan peradaban Barat (berikut segala manfaat yang diberikan juga penyakit-penyakit yang disebarkannya), sama kuatnya dengan penguasaan mereka tentang seluk-beluk pemikiran dan peradaban Timur, dan sudah tentu tentang ‘ulumud-Dien, Al-Islam.

Bulan-bulan ini mereka dalam proses pulang kampung setelah berkelana menimba ilmu. Sebagian besar mereka belajar di Kuala Lumpur, di tempat yang bernama ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization). Di institut ini, mereka dibawa oleh guru utamanya, Prof Syed Muhammad Naquib Al-Attas, bergaul seakrab mungkin dengan metologi dan epistemologi Barat, bukan hanya lewat buku, tetapi langsung dengan orientalis-orientalis tulen yang menjadi dosen-dosen mereka. Pada saat yang sama, Prof Al-Attas menanam kaki mereka sedalam-dalamnya pada worldview Islam, kemudian langsung membenturkan keyakinan mereka akan al-Qur’an dan Sunnah menghadapi berbagai peradaban dunia. Dengan cara itu, para pemuda ini tumbuh menjadi sangat kaya akan keterampilan dan pemahaman mengenai detil-detil kurva berbagai peradaban — termasuk Barat, namun semakin hari semakin yakin dan percaya diri, bahwa al-Islaamu ya’lu wa laa yu’la ‘alaih (Islam itu tinggi dan tak ada yang lebih tinggi daripadanya).

Tradisi ilmu

Mereka bisa menerima secara arif manfaat-manfaat yang diberikan peradaban lain — termasuk Barat, namun di saat yang sama mereka mampu mengupas koreng-korengnya yang membahayakan umat manusia. Semakin akrab mereka dengan W.C. Smith, Hans Küng, Fritjhof Schuon, Arthur Jeffery, Harvey Cox, Montgomery Watt, Derrida, Nietczhe, Mohandas Gandhi, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Annemarie Schimmel dan lain-lain, para pemuda kita ini tidak kemudian jadi nggumun (terkagum-kagum), lalu tergopoh-gopoh mematut diri agar sepantas mungkin tampil senada dengan para tokoh tersebut. Keakraban itu justeru membuat mereka kian piawai mencermati dan menempatkan secara jernih posisi masing-masing tokoh terkenal tadi –dan para pengikutnya- di atas peta peradaban dan keilmuan dunia.

Pada saat yang sama, mereka justeru semakin yakin, bahwa Muhammad Saw, para shahabat radhiallaahu ‘anhum, juga, Imam Malik, Syafi‘i, Bukhari, Muslim, al-Ghazali, al-Qurtubi, dan warasaatul anbiya’ (para pewaris nabi) berikutnya, jauh lebih pantas disegani baik dari segi akhlaq kepribadian, maupun kelas intelektualnya, dibandingkan rombongan nama yang pertama tadi. Selain itu, semakin kuat pula keyakinan mereka, bahwa Islamlah yang paling berhak mengklaim diri sebagai sumber kebenaran, dalam semua aspek keilmuan dan kehidupan.

Para pemuda ini menamakan dirinya INSISTS (Institute for the Study of Islamic Tought and Civilizations). Rumusan misi mereka sederhana, namun menjanjikan perjalanan yang panjang, berat, dan penuh tantangan sekaligus harapan. Izinkan saya mengutipnya dari salah satu e-mail dalam diskusi mereka: “..Semoga niat kita membangun tradisi ilmu dan peradaban Islam yang agung, berdasarkan khazanah intelektual Islam, dapat tercapai…”

Mengenai “tradisi ilmu dan peradaban” yang bagaimana yang hendak mereka bangun, sebagian kecil bisa dibaca di buku Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib Al-Attas (Mizan, Juli 2003). Penulisnya Prof Wan Mohd Nor Wan Daud, salah satu murid utama Prof Al-Attas, pernah berguru pada Fazlur Rahman di Chicago, sehingga berteman akrab dengan Pak Syafi’i Ma’arif, Mas Amien Rais, juga Cak Nurcholish Madjid. Ia juga mentor utama para pemuda kita tadi semasa di ISTAC.

Buku ini diterjemahkan dari “The Educational Phyilosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas” oleh tim penerjemah yang dipimpin Hamid Fahmy Zarkasyi, salah satu ahli waris Pesantren Darussalam Gontor. Mas Hamid ini diangkat teman-temannya menjadi pemimpin mereka, jabatan formalnya direktur INSISTS, sekaligus pemimpin redaksi majalah ISLAMIA.

Oh.. bukan, bukan. Buku itu bukan sebuah langkah awal membangun mazhab atau firqah baru bernama Attasiyah. Al-Attas bukan orang pergerakan yang salah satu kegiatannya menekuni dunia perebutan kekuasaan demi memenangkan anjuran-anjuran Islam melalui jalan itu. Sejauh yang saya amati, Al-Attas sadar tentang kafa’ah dan posisinya. Dia tidak beragenda jadi pemimpin di jalur kekuasaan. Dia juga bukan pemimpin tariqat atau gerakan spiritual. Lewat posisinya sebagai pemikir dan ilmuwan, dia membantu semua orang yang memperjuangkan kebenaran Islam di semua sektor.

Vienna 1683

Salah satu bab buku itu berisi uraian Prof Wan Daud mengenai, pandangan Al-Attas tentang kekusutan konsep yang terjadi dalam dunia Islam, antara apa itu “ilmu pengetahuan” dan bedanya dengan “mengetahui”. Sejak kegagalan penaklukan kota Vienna tahun 1683 oleh Khilafah Utsmaniyah, diikuti berbagai kekalahan lainnya, para ulama dan pemikir Muslim sudah mendeteksi betapa merosotnya tradisi ilmu, sains, dan teknologi di kalangan umat Islam. Karenanya kebangkitan peradaban harus dimulai dengan kebangkitan ilmu. Sayangnya, menurut Al-Attas, pada perkembangan semakin ke sini, kebangkitan ilmu itu banyak diidentikkan dengan “modernisasi” yang agenda utamanya adalah “mengejar ketertinggalan dari Barat”. Sebuah kesalahan yang dianggap fatal oleh Al-Attas, karena proyek “modernisasi” itu dalam waktu yang sama mengagendakan dipinggirkannya Islam sebagai syarat untuk menjadi modern. Islam tidak boleh menjadi sesuatu yang dominan dalam kehidupan masyarakat modern.

Bagi Al-Attas, lawan kata “ilmu” bukan hanya “kebodohan”, namun juga “ilmu yang menyesatkan manusia dari kebenaran”. Jika pengembangan sains dan teknologi dilakukan diatas landasan yang TIDAK akan membawa umat manusia pada kebenaran Islam, maka jalan dari pengembangan sains dan teknologi itu pasti membawa manusia pada kehancuran. Al-Attas, lulusan SOAS (School of Oriental and African Studies) di Universitas London, mengutip satu bagian dari Lisan al-‘Arab karya Ibnu Manzhur, bahwa kebodohan terbagi dua jenis: kebodohan ringan dan kebodohan berat. Kebodohan ringan, yaitu kurangnya ilmu mengenai apa yang seharusnya diketahui. Sedangkan kebodohan berat, yaitu keyakinan yang salah yang bertentangan dengan fakta ataupun realitas, meyakini sesuatu yang berbeda dari sesuatu itu sendiri, ataupun melakukan sesuatu dengan cara-cara yang berbeda dari bagaimana seharusnya sesuatu itu dilakukan.

Menurut uraian Wan Daud, “kebodohan ringan bisa diobati dengan pengajaran biasa atau pendidikan, tetapi kebodohan yang berat merupakan sesuatu yang sangat berbahaya dalam pembangunan keilmuan, keagamaan, dan moralitas individu dan masyarakat, sebab kebodohan jenis ini bersumber dari spiritualitas yang tidak sempurna, yang dinyatakan dengan sikap penolakan terhadap kebenaran.”

Pemuda-pemuda kita tadi berniat meletakkan pondasi konsep tradisi ilmu yang tidak kusut, baik lewat tradisi ilmu-ilmu fardhu ‘ain maupun fardhu kifayah. Tradisi yang akan membawa manusia pada kebenaran Islam. Ilmu-ilmu fardhu ‘ain adalah yang bila tidak menguasainya seseorang atau sebuah masyarakat pasti tidak akan bisa hidup sesuai anjuran Islam, sedangkan ilmu-ilmu fardhu kifayah adalah yang dengannya seseorang akan menjaga kesejahteraan hidup umat manusia. Jadi tak ada pemisahan antara “ilmu agama” dan “ilmu umum”, atau “ilmu akhirat” dan “ilmu dunia”. Tidak ada itu. Yang ada adalah pembedaan antara ilmu fardhu ‘ain dan ilmu fardhu kifayah.

Tujuan dari tradisi ilmu seperti ini, bukan menghasilkan masyarakat yang pandai “mengetahui banyak hal” di berbagai bidang, sebagaimana yang dihasilkan dunia pendidikan manapun dewasa ini. Tujuan tradisi ilmu Islam adalah menghasilkan manusia-manusia yang ber-‘adab. ‘Adab menurut Al-Attas, mencakup pengetahuan dan pengakuan tentang segala sesuatu secara benar; kualitas, sifat-sifat, dan tingkah laku yang baik untuk mendisiplinkan pikiran dan jiwa; dan penonjolan tingkah laku yang benar dan tepat sebagai kebalikan dari tingkah laku yang salah dan tidak sesuai.

Sejak awal mula proses pulang kampung para pemuda kita ini, sudah tergambar jelas ada tiga tantangan utama yang akan dihadapi INSISTS. Pertama, diri mereka sendiri. Kedua, tokoh-tokoh pemimpin Muslim dan ulama yang belum faham. Ketiga, umat Islam secara keseluruhan. Di luar ketiga tantangan ini, urusannya relatif lebih gampang.

Tantangan kedua dan ketiga akan cair dengan sendirinya, jika tantangan pertama mampu ditangani dengan baik. Tantangan pertama bagi para pemuda INSISTS secara garis besar menuntut tiga hal: satunya kata dan perbuatan, menjaga sikap rendah hati, serta meningkatkan kecanggihan (baca: kesesuaian cara dan publik yang dihadapi) dalam membahasakan gagasan.

Kesalahan membahasakan diri juga bisa jadi masalah yang tidak perlu. Misalnya, perkenalan diri yang berisi maklumat seolah-olah akan “mengoreksi” semua elemen umat Islam yang lain. Ya, ya, ya. Memang INSISTS akan melakukan banyak koreksi di tubuh umat Islam khususnya Indonesia, tapi biarkan it goes without saying. Elemen umat yang berijtihad untuk mulai bergerak di bidang politik, ekonomi, atau sosial, misalnya, sebaiknya di tahap awal jangan disalah-salahkan. Lebih maslahat jika para pemuda kita ini berkonsentrasi membantu semua elemen umat memagari diri mereka dari “kekufuran epistemologis”, yang pelan tapi pasti dan banyak tidak disadari, bisa juga diidap oleh sebagian kalangan pergerakan Islam.

Selamat datang, INSISTS!

W.P. Dzikrullah

Pemimpin Redaksi Majalah Suara Hidayatullah (2003)

1 COMMENT

  1. Assalamualaikum Wr Wb..

    Perkenalkan nama saya Rully. Izinkan saya menceritakan keluh-kesah ini. saya warga jakarta biasa sekaligus muslim pada umumnya. Saya bukan dari lingkungan akademisi ataupun peneliti. Tetapi saya (dan mungkin teman-teman muslim lain) menggemari ilmu pengetahuan dan sedang mencoba menelusuri jejak peradaban manusia dari masa lampau hingga modern. Sebelum saya kenal dengan INSISTS, saya sering mengikuti kuliah umum atau kuliah tambahan (extension course) yang bertemakan filsafat, politik dan ilmu pengetahuan. Disadari atau tidak beberapa tahun belakangan tema-tema tersebut sedang menjadi pembicaraan hangat, baik dipergaulan kelas menengah sehari-hari, dimedia massa dan tentu media sosial. Tetapi sudut pandang yang dipakai selalu memakai teropong barat. Barat yang positifistik mencoba mengubur dalam-dalam makna spiritual. Saya sebagai muslim mulai bertanya-tanya mengenai peran islam didalam peradaban, dan mencoba mencari kesana-kemari literatur yang tersedia didunia maya. Karena saya bukan dari kalangan akademis (kampus dan sejenisnya) agak kesulitan juga mencari referensi mengenai ilmu dunia khususnya filsafat, maka dunia maya menjadi pilihan saya dalam menggali segala macam hal. Sulit sekali mencari sudut pandang islam dalam memahami fenomena dunia (yang sering praktisi dari INSISTS sebut sebagai ISLAMIC worldview). Beruntung saya berjumpa dengan seorang teman lulusan dari Kuala Lumpur memberitahukan tentang INSISTS. Kemudian saya coba cari tahu melalui website dan youtube (di youtube masih sedikit sekali video dari INSISTS) dan Alhamdullilah ternyata INSISTS yang selama ini saya cari. Semoga INSISTS bisa selalu istikomah meluruskan pikiran-pikiran menyimpang yang menjadi belanu dalam kehidupan manusia khusunya para muslim dan muslimah.

Leave a Reply