Kontroversi gagasan “Kesetaraan Gender” mencuat kembali sejalan dengan pembahasan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU KKG) di DPR RI. Pembaca yang akrab dengan wacana feminisme dan gender, akan memahami, bahwa RUU ini cenderung seksis, yakni hanya mengutamakan salah satu jenis kelamin saja. Yang dikedepankan adalah isu ketertindasan kaum perempuan.
RUU ini sangat kental dengan ideologi feminisme yang tidak ada hubungannya dengan pembangunan bangsa Indonesia yang bermartabat. Bahkan sebagiannya hanyalah terjemahan dari Convention on the Elimination of all forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Misalnya tentang definisi diskriminasi terhadap perempuan.
Dalam Bab I pasal 1 ayat 4 Draft RUU KKG menyebutkan: “Diskriminasi adalah segala bentuk pembedaan, pengucilan, atau pembatasan, dan segala bentuk kekerasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin tertentu, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan manfaat atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau bidang lainnya terlepas dari status perkawinan, atas dasar persamaan antara perempuan dan laki-laki.”
Definisi ini tidak jauh berbeda dengan part I article I CEDAW yang berbunyi: “…discrimination against women shall mean any distinction, exclusion or restriction made on the basis of sex which has the effect or purpose of impairing or nullifying the recognition, enjoyment or exercise by women, irrespective of their marital status, on a basis of equality of men and women, of human rights and fundamental freedoms in the political, economic, social, cultural, civil or any other field.”
Definisi di atas, dalam batasan tertentu, mengesankan muatan spirit dekonstruksi dan provokasi sekaligus. Sebab dalam ilmu sosial, aturan maupun undang-undang biasanya dibuat untuk menyikapi dan mengantisipasi gejala sosial yang ada atau mungkin akan terjadi. Lalu apakah selama ini di Indonesia secara umum telah berlangsung pemasungan dan perampasan hak-hak perempuan di segala bidang kehidupan sehingga RUU ini sangat mendesak untuk disahkan? Apakah perempuan menginginkannya? Dan apakah perempuan juga harus menginginkannya? Ataukah hal ini karena sebagai konsekwensi logis dari keikutsertaan Indonesia menandatangani konvensi CEDAW pada tahun 1980, sehingga tidak diperlukan kontekstualisasi keindonesiaan dalam mengimplementasikan butir-butir yang termaktub dalam CEDAW?
Redaksi pengertian “diskriminasi” dalam RUU di atas bisa diinterpretasikan untuk membuka perlindungan terhadap segala bentuk kebebasan yang dikehendaki perempuan dan mengesampingkan batasan-batasan agama, keluarga dan ikatan perkawinan. Termasuk hak perempuan untuk memiliki dan mengelola tubuhnya sendiri tanpa diintervensi oleh undang-undang dan kitab suci, seperti yang selalu didendangkan kaum feminis: My body, my choice, my pleasure.
Konsekuensinya, negara harus melegalkan undang-undang tentang hak melakukan aborsi bagi perempuan yang berusia 18 tahun keatas, pernikahan beda agama dan pernikahan sesama jenis. Termasuk juga hak istri mengadukan suaminya kepada pihak berwajib atas tuduhan pemerkosaan. Dalam wacana gender, isu ini dikenal dengan istilah marital rape, yaitu hubungan seksual yang tidak dikehendaki atau tanpa persetujuan sang istri.
Dengan munculnya RUU KKG ini semakin memperjelas bahwa istilah “gender” tidak lagi bersifat netral. Gender hanya digunakan untuk perempuan dan “membela” kepentingan kalangan elitis perempuan. Gender bukanlah konsep keadilan yang ditegakkan terhadap laki-laki dan perempuan secara setara. Kesetaraan gender hanya digunakan untuk memerangi ketidakadilan yang menimpa perempuan. Maka tidak mengherankan dengan digulirkannya RUU ini, nuansa seksisme dalam perundang-undangan di Indonesia semakin menguat. Simak saja misalnya berjubelnya ungkapan dalam RUU ini yang hanya terfokus pada hak-hak perempuan, perlindungan terhadap perempuan, peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan perempuan, peningkatan keterlibatan dan partisipasi aktif perempuan dalam semua bidang kehidupan terutama dalam proses perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan publik di semua tingkat kelembagaan, dan lain-lain.
Daripada merombak konsep-konsep dasar dalam hubungan laki-laki dan perempuan yang telah ditetapkan dalam Islam, para aktivis KKG sebaiknya lebih menfokuskan kepada pembelaan terhadap masalah-masalah riil yang dihadapi kaum perempuan dan semua pihak saat ini. Misalnya, masalah pemberantasan human trafficking dan rehabilitasi kesehatan mental para korban, memperbanyak tersedianya ruang menyusui di mal-mal, terminal, tempat kerja dan fasilitas publik lainnya (nursing room for breastfeeding mothers), memberikan masa cuti bergaji bagi yang hamil dan melahirkan minimal selama setahun, cuti haid, menerapkan masa kerja yang lebih fleksibel bagi ibu-ibu yang berkarier, memperjuangkan subsidi bulanan bagi ibu kurang mampu yang mempunyai bayi hingga usia lima tahun atau lebih, menyediakan persalinan yang mudah, aman, sehat dan murah, dan lain sebagainya.
Jika demikian, anggapan bahwa RUU KKG ini disusun untuk memenuhi ambisi perempuan dari kalangan elitis tertentu otomatis akan terbantahkan. Dalam masalah cuti bersalin (maternity leave) kita bisa meniru beberapa negara di Eropa Tengah. Mereka tidak tunduk dengan kepentingan perusahaan-perusahaan internasional yang beroperasi di negaranya. Di Republik Ceko dan Slovakia, standar cuti hamil yang diberikan selama tiga tahun untuk setiap anak. Ibu-ibu bisa memilih masa cuti hamil selama 2, 3 atau 4 tahun. Gaji selama masa cuti dibayar oleh negara. Di Slovakia masa cuti hamil standar adalah 3 tahun. Tapi bisa diperpanjang hingga 6 tahun jika anaknya cacat. Negara membayar gaji cuti hamil sebesar EUR. 256 (sekitar Rp. 3.051.520) per bulan selama dua tahun pertama. Setelah periode ini tunjangan yang diberikan sebesar EUR. 164,22 (sekitar Rp. 1.957.502) per bulan. Demikian halnya di Austria. Sedangkan Swedia memberi masa cuti hamil selama 16 bulan untuk setiap anak. Gaji selama cuti ditanggung antara majikan dan negara. (lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Parental_leave)
Kita berharap, para para anggota dewan yang terhormat – apalagi yang Muslim — tidak akan mengesahkan segala bentuk Undang-undang yang tidak berpihak pada pembangunan masyarakat yang adil dan beradab. Sebab, kata Iwan Fals, “Saudara dipilih bukan dilotre.” (***)
makasih yah atas artikelnya,,menarik untuk dibaca