Oleh: Susiyanto (Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam, Solo)
Pendahuluan
Raden Bratakesawa, seorang tokoh muslim di Jawa, selama ini banyak disalahpahami orang. Beberapa cendekiawan Kristen, misalnya, menggambarkan pribadinya sebagai tokoh kebatinan. Dari deskripsi manipulatif inilah kesalahpahaman itu berakar. Padahal Bratakesawa adalah seorang muslim, bahkan seorang dai. Hal ini terungkap dari testimoni dan kiprahnya dalam membangun kehidupan rohani masyarakat muslim di Jawa melalui tulisan-tulisan berbobot yang dihasilkannya.
Harun Hadiwijono – doktor ilmu teologi, pendeta, dan penulis sejumlah buku tentang Kristen – memposisikan Bratakesawa masuk ke dalam jajaran tokoh Kebatinan. Ia membahas sosok dan ajaran Bratakesawa ke dalam salah satu bagian dari bukunya ”Kebatinan dan Injil”. Berpatokan pada penilaian Imam Supardi bahwa karya Bratakesawa ”berlainan sekali dengan tulisan-tulisan tentang kebatinan yang lain”, Hadiwijono menyimpulkan bahwa Bratakesawa merupakan tokoh kebatinan dan ajarannya merupakan doktrin kebatinan.[1]
Bambang Noorsena, Tokoh Kristen Orthodoks Syria (KOS), dalam buku ”Menyongsong Sang Ratu Adil: Menyongsong Sang Ratu Adil” menempatkan ”Serat Kuntji Swarga” karya Bratakesawa sebagai salah satu literatur kebatinan Jawa.[2] Karya tulis Bambang Noorsena ini kurang mengetengahkan model pembahasan yang tertib dan argumentatif. Untuk sebuah tulisan yang berusaha mengungkap relasi antara Kekristenan dan Kejawen, karya ini justru gagal mendefinisikan makna ”kebatinan” maupun ”kejawen” itu sendiri. Kegagalan terminologis ini selanjutnya secara signifikan berpengaruh terhadap proses seleksi dan deskripsi terhadap entitas yang diidentifikasi sebagai ”kebatinan” atau ”kejawen”. Diantara konsekuensi pengunaan model ini, Bambang Noorsena sering menganggap bahwa sosok Nabi Isa dalam literatur Jawa mengacu pada Yesus dalam Kekristenan dan menjadi justifikasi bagi teorinya tentang keberadaan perjumpaan antara entitas Kristen dan Jawa, meskipun sebenarnya Nabi Isa yang dimaksud lahir dari konsepsi Islam.[3]
Pandangan yang memposisikan Bratakesawa sebagai tokoh kebatinan seperti di atas, secara umum tidak memberikan garis batas yang tegas terhadap terminologi ”kebatinan” dan yang di luar itu. Bangunan argumentasinya hanya didasarkan pada karya Bratakesawa dalam kuantitas yang terbatas. Harun Hadiwijono mendasarkan pandangannya berdasarkan dua karya Bratakesawa yaitu ”Serat Kuntji Swarga” dan ”Wirid I.T.M.I.”. Sedangkan Bambang Noorsena hanya pada satu karya Bratakesawa yaitu ”Serat Kuntji Swarga”.
Kekuatan argumentasi yang dibangun dengan sedikit ”dalil” sangat jarang akan menghasilkan sebuah pandangan yang memiliki kebenaran secara meyakinkan. Apalagi dalam kasus ini, baik ”Serat Kuntji Swarga” maupun ”Wirid I.T.M.I” sejak awal justru menunjukkan diri sebagai literatur keislaman, bukannya ”kebatinan”. Kedua buku itu saja telah menunjukkan warna keislaman yang kental dari pribadi Bratakesawa. Bahasa yang digunakan oleh kedua buku tersebut juga cukup sederhana sehingga mudah dipahami dan pada titik tertentu seharusnya tidak menimbulkan kesalahpahaman.
Pemikiran Bratakesawa
Bratakesawa lahir sekitar tahun 1898 M.[4] Nama sebenarnya adalah Gatoet Sastrodiharjo. Ia mulai karernya di Klaten sebagai sekertaris kedua Insulinde Surakarta tahun 1919 dan komisaris SH Surakarta tahun 1920. selama bertugas di Klaten, Bratakesawa banyak melakukan interaksi berbagai kelompok pergerakan maupun individu. Salah satu tokoh pergerakan juga pimpinan sebuah kelompok yaitu Mangunatmaja sebagai pimpinan Sarekat Abangan sekaligus pimpinan SI Delanggu. Namun dalam bukunya “Falsafah Siti Jenar”, dia mengatakan tidak terlalu dekat maupun akrab, bahkan pengetahuannya tentang Sarekat Abangan bukan dari Mangunatmaja tetapi dari beberapa keluarga yang bergabung ke Sarekat Abangan. Selama pertemuannya dengan pimpinan Sarekat Abangan tersebut, tidak pernah membahas masalah Sarekat Abangan maupun ajarannya. Topik pembicaraan selalu masalah “politik”, bukan ilmu.
Tetapi setelah Bratakesawa pindah ke Yogyakarta tahun 1922, dan bekerja di majalah “Panggugah”yang di bina oleh R.M. Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Beliau dikunjungi Mangunatmaja sebanyak dua sampai tiga kali. Tetapi beliau tidak terpengaruh sedikitpun dengan ajaran Sarekat Abangan yang saat itu membaur dengan SI Merah. Ini bisa kita lihat dari cerita beliau pada saat mengetahui ada pertemuan di daerah Gandalayu Yogyakarta, dirumah salah satu pemimpin SI Merah sebanyak kurang lebih 25 orang. Ringkasnya demikian: “ Para hadirin semua, saya persilahkan melihat ini”, kata sang guru sambil menyalakan korek api, jres ; setelah menyala lalu di tiup mati pet. “ Cobalah anda merenungkan, nyala api dari korek api tadi dimana, terutama setelah ditiup.? Sekarang jangan ragu dan jangan pula percaya omongan orang lain yang aneh-aneh……..ya ibarat nyala korek api itulah keadaan kehidupan manusia itu. Ketika belum dititahkan (lahir) seperti nyala korek api yang belum dinyalakan. Setelah lahir ke dunia, ya seperti nyala korek api yang dinyalakan tadi. Setelah mati ? ibarat nyala api setelah di tiup angin … selesai”. Mereka yang menerima wejangan itu itu nampak senang sekali. Namun Bratakesawa tidak terpengaruh wejangan semacam itu. Ia hanya termenung, “Apa mungkin para sarjana dan cendikiawan yang saling mengejar ilmu serta menyingkirkan diri dari perbuatan dosa itu bodoh-bodoh semua ?”.[5]
Menurut cerita tersebut dapat kita simpulkan bahwa Bratakesawa belum terpengaruh murid-murid Natarata maupun ajarannya. Sehingga pada saat beliau menulis ulang Serat Siti Jenar dengan judul Falsafah Siti Jenar yang diterbitkan oleh yayasan Penerbit Joyoboyo, dapat kita jadi penafsiran yang lebih obyektif di karenakan tingkat pemahaman Bratakesawa dengan Natarata hampir sama yaitu masih berpegang teguh pada ajaran Islam. Ini dipertegas juga oleh Hasanu Simon dalam bukunya Misteri Syekh Siti Jenar yang mengatakan bahwa dalam buku Falsafah Siti Jenar, Bratakesawa menunjukkan keteguhannya dalam mengimani Islam secara benar.[6]
I’tikad Bratakesawa
Terkait banyaknya kesalahpahaman terhadap sosok dan i’tikad pribadinya terkait substansi Serat “Kuntji Swarga” dan “Wirid I.T.M.I”, sebenarnya Bratakesawa telah menyadarinya sejak awal. Pembaca tulisan-tulisannya belum semuanya memiliki dasar pemikiran yang jelas. Dalam bahasa Bratakesawa, dereng sangu paham warni-warni ingkang minangka gegaraning panimbang (belum memiliki bekal pemahaman terhadap bermacam-macam pemikiran sebagai kerangka dalam mempertimbangkan). Sehingga sebagian pembaca ini melakukan kekeliruan sebab hanya berpegang pada satu bentuk pemahaman yang belum pernah diperbandingkan dengan pemahaman lainnya (sisip sembiripun lajeng nisih, namung ngencengi salah satunggaling paham, ingkang dereng nate katanding-tanding).[7] Adanya kesalahpahaman terhadap ajarannya inilah yang memotivasi Bratakesawa untuk menjelaskan i’tikad dirinya melalui Serat “Bajanul Chaliq”[8] sebagai seorang muslim yang berusaha memegang teguh iman.[9]
Secara umum pemikiran Bratakesawa cenderung mudah untuk dilacak. Mantan wartawan ini termasuk seorang penulis yang produktif menelurkan sejumlah karya. Serat Bajanul Chaliq (baca: bayanul khaliq) merupakan salah satu buku yang mengungkapkan “keyakinan” Islam dari Bratakesawa. Buku ini sengaja ditulis oleh Bratakesawa sebagai bacaan pembanding terhadap Serat Bajanullah (baca: bayanullah) karya Raden Pandji Natarata.[10] Isi dari Serat Bajanul Chaliq ini merupakan wujud tekadnya sebagai seorang muslim yang beriman. Terungkap dalam Bajanul Chaliq sebagai berikut:
“Iktikad kula ingkang kula sumantakaken wonten ing Serat “Bajanul Chaliq” punika boten sanes kajawi iktikad kula satunggaling tiyang Islam ingkang kasandhangan iman. Jalaran saking punika, sanajan ingkang kula sarasehaken punika prakawisipun tiyang sajagad boten pilih agama, ananging pamanggih kula punika migunakaken wawaton ingkang dados cecepenganipun muslim tuwin mukmin.[11]
(Iktikad yang saya bicarakan dalam Serat “Bajanul Chaliq” ini tidak lain adalah iktikad saya sebagai penganut Islam yang memiliki iman. Oleh karena itu, walaupun apa yang saya bicarakan ini merupakan permasalahan orang sedunia tanpa memandang agama, tetapi pendapat saya tersebut menggunakan peraturan yang menjadi pedoman bagi muslim dan mukmin).
Bratakesawa menjelaskan bahwa muslim adalah orang yang memeluk Agama Islam atau Agama Nabi Muhammad (muslim punika tegesipun tiyang ingkang ngrasuk agama Islam utawi agama Muhammad). Adapun pedoman (paugeran) menjadi muslim, menurut Bratakesawa adalah dengan menjalankan Rukun Islam sebagai berikut:[12]
1) Ngucapaken kalimah sahadat: La ilaha illallah (ora ana sesembahan kajaba Allah),sldj. (= Mengucapkan kalimat syahadat: La ilaha illallah (Tiada sesembahan kecuali Allah), dan seterusnya).
2) Nindakaken salat gangsal wekdal, tuwin sanes-sanesipun ingkang nama salat wajib (= Melaksanakan ibadah shalat wajib lima waktu, dan lain-lainnya yang dinamakan shalat wajib).
3) Ambayar jakat miturut pranatan (= Membayar zakat menurut aturan)
4) Nglampahi siyam sawulan saben wulan Ramelan (= melaksanakan ibadah siyam selama sebulan setiap bulan Ramadhan)
5) Kesah Haji dateng Betullah, menawi kuwaos (= pergi haji ke Baitullah jika mampu).
Selanjutnya Bratakesawa menjelaskan bahwa mukmin adalah orang yang memiliki iman atau kepercayaan (mukmin punika tegesipun tiyang ingkang kasandangan iman (kapercayaan)). Adapun rukun iman dijelaskan oleh Bratakesawa sebagai berikut:[13]
1) Percaya wontenipun Allah ingkang nitahaken langit-langit lan bumi saisinipun sadaya (= percaya adanya Allah yang memerintah langit-langit dan bumi seisinya)
2) Percaya wontenipun malaekat-malaekating Allah (=percaya adanya malaikat-malaikat Allah)
3) Percaya wontenipun kitab-kitabing Allah (=percaya adanya kitab-kitab Allah)
4) Percaya wontenipun para rasul utusaning Allah (=percaya adanya para Rasul utusan Allah)
5) Percaya wontenipun dinten kiyamat inggih dinten patangening roh-roh saking kubur (=percaya adanya hari kiyamat yaitu hari dibangkitkannya roh-roh dari kubur)
6) Percaya wontenipun takdir awon lan takdir sae, tumrap satunggal-tunggaling titah (=percaya adanya takdir buruk dan takdir baik, bagi setiap makhluk)
Selanjutnya Bratakesawa menceritakan pengalaman pribadinya dalam menjalankan Rukun Islam dan Rukun Iman. Ia telah melakukan upaya maksimal untuk menjalankan tuntunan agama yang dianutnya. Meskipun demikian ia juga mengakui adanya “takdir” yang membuat dirinya belum bisa melaksanakan ibadah haji. Hal ini diungkapkan sebagai berikut:
Kula matur prasaja, pangriptanipun Serat “Bayanul Khaliq” anggenipun ngaken muslim lan mukmin punika boten namung aken-aken utawi lelamisan kemawon.
Istilahipun sapunika, Islam kula boten namung Islam “statistiek” kemawon, sayektosipun ugi netepi rukun-rukunipun, kajawi kesah haji ingkang dereng, amargi dereng kuwaos.
Iman kula ugi netepi rukun-rukunipun, malah percaya kula terus ing sanubari, boten namung tiru-tiru kemawon.
Dados saupami wonten saderek ingkang sanes muslim lan sanes mukmin, kapareng maos serat “Bayanul Khaliq” punika, mugi sampun cuwa ing penggalih, manawi boten cocog kaliyan iktikad kula.[14]
(Saya berkata jujur, pengarang Serat “Bayanul Khaliq” pengakuannya sebagai muslim dan mukmin itu bukan hanya mengaku-aku atau pemerah bibir belaka.
Istilah sekarang, keislaman saya bukan hanya Islam “statistik” saja, sejatinya juga menetapi rukun-rukun, kecuali naik haji karena belum mampu.
Iman saya juga menetapi rukun-rukunnya, malah percaya hingga dalam sanubari tidak sekedar meniru-niru belaka).
Tentang keyakinan hidupnya, Bratakesawa menceritakan proses dirinya hingga mengenal Islam. Pengenalan terhadap Islam tersebut melalui proses yang panjang. Pengalaman banyak berguru dan membaca buku telah menempa pribadinya untuk lebih dekat terhadap ajaran Tauhid. Pada sekitar 1920-an Bratakesawa telah banyak membaca buku-buku tentang kebatinan, bahkan menjadi salah satu anggota Perhimpunan Theosofi dan menjadi pendengar ceramah-ceramah para “gembong” theosof. Namun persentuhan dengan ajaran kebatinan dan theosofi tidak mampu memuaskan “dunia batin” dalam dirinya.[15] Bratakesawa tidak tanggung-tanggung, ia melakukan serangkaian kajian terhadap sejumlah kitab suci agama lain sebelumnya. Hasil dari proses yang demikian, mengantarkan Bratakesawa mantab memilih Islam. Serat Bajanul Chaliq” mengungkapkan sebagai berikut:
“Kula punika waunipun tiyang Islam “statistiek” ingkang babar pisan boten sinau dateng hukum lan rukuning agama Islam, dados boten wonten bedanipun kaliyan tiyang ingkang boten gadhah agama. Anggen kula lajeng ngantepi agama Islam, punika sareng sampun sepuh, sasampunipun tuwuk anggen kula maguru-maguru, maos serat-serat wirid, suluk, falsafah lan tashawwuf, punapa dene kitab-kitab agama warni-warni.[16]
(Saya ini sebelumnya adalah penganut Islam “statistik” yang sama sekali tidak mempelajari hukum dan rukun Islam, jadi tidak ada bedanya dengan manusia yang tidak beragama. Adapun kemantapan saya terhadap Islam, ini terjadi setelah usia tua, setelah kenyang berguru, membaca kitab-kitab wirid, suluk, falsafah, dan tasawwuf, juga membaca kitab-kitab dari bermacam-macam agama).