Bagi pemerhati bidang pendidikan dan pemikiran Islam, sosok Prof. Dr. Wan Mohd Nor tentu bukan nama asing. Ia dikenal luas sebagai pakar dan pegiat “Islamisasi Ilmu”. Sejumlah bukunya sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Beberapa bukunya yang terkenal antara lain: The Concept of Knowledge in Islam: Its Implications for Education in a Developing Country (1989); The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization (1998), yang juga sudah diIndonesiakan.
Wan Mohd Nor, bisa dikatakan satu-satunya ilmuwan yang sempat berguru secara serius kepada dua ilmuwan besar abad ke-20, yaitu Prof. Fazlur Rahman dan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Fazlur Rahman bukan nama asing bagi banyak cendekiawan Muslim di Indonesia. Murid-muridnya pun banyak dikenal luas, seperti Prof. Nurcholish Madjid dan Prof. A. Syafii Maarif. Di Indonesia, beberapa pemikiran Fazlur Rahman sering dijadikan rujukan oleh para pemikir liberal. Namanya identik dengan gerakan neo-modernisme.
Pada sisi lain, Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas adalah pemikir besar yang juga sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1970-an. Berbeda dengan Fazlur Rahman, sosok al-Attas sudah identik dengan pemikir yang sangat kritis terhadap paham sekularisme dan pelopor dalam gerakan Islamisasi Ilmu di dunia Islam. Pada awal 1980-an, bukunya, Islam and Secularism, sudah diterbitkan di Indonesia.
Perjumpaan Wan Mohd Nor dengan Fazlur Rahman bisa dikatakan tidak terpikirkan sebelumnya. Setelah menamatkan program S-2 di bidang Northern Illinois University (NIU), De Kalb, Illinois, USA, ia disarankan oleh seorang seniornya agar melanjutkan kajian Islam ke University of Chicago. Saat itu, ia belum mengenal pemikiran Fazlur Rahman, dan belum tahu bahwa Fazlur Rahman cukup kontroversial di Pakistan dan dikecam keras oleh para ulama dan Jamaat Islami pimpinan Abul Ala Mawdudi, sehingga terpaksa melarikan diri ke Chicago.
Sebelum berjumpa dengan Fazlur Rahman, Wan Mohd Nor sudah menjadi aktivis mahasiswa Muslim. Setelah di Chicago pun, ia menjabat President of the Muslim Students’ Association of US and Canada. Saat pertama menelepon Fazlur Rahman, ia ditanya tentang kemampuannya dalam bahasa Arab. Kata-kata Fazlur Rahman yang dia ingat adalah saat ia memberikan apresiasi terhadap karyanya Islam and Modernity. Fazlur Rahman malah balik mengingatkan: “Muhammad Nur, you must be critical…ask what are the meaning of things.”
Di Chicago itulah, Wan Mohd Nor harus menjalani kegiatan akademik yang ketat. Kursus bahasa Arab sampai tahap advanced, diselesaikan dalam 3 tahun. Dua tahun ia belajar bahasa Parsi. Sempat juga ia lulus kelas intensif bahasa German dan Perancis untuk pelajar pasca-sarjana. Kepada Fazlur Rahman, Wan Mohd Nor mengambil mata kuliah Islamic Political Thought, Islamic Modernism, Islamic Family Law, dan Islamic Theology and Philosophy, dan juga Readings in the Qur’an, Readings in Kitab al-Tauhid of Maturidi. Semua kursus Fazlur Rahman hanya diikuti 7-15 mahasiswa. Malah kelas bacaan teks Sya’ir Muhammad Iqbal dalam bahasa Farsi, yang mengambil hanya dua orang, dirinya dan Ahmad Syafi’i Maarif. Wan Mohd Nor lulus Ph.D. dengan disertasi berjudul “The Concept of Knowledge in Islam and Its Implications for Education in the Malaysian Context”.
Meskipun sama-sama dari Malaysia, Wan Mohd Nor baru mengenal al-Attas saat ia di Chicago. Suatu ketika, Fazlur Rahman meneleponnya, memberitahukan bahwa seorang “prominent scholar from Malaysia, Prof SMN al-Attas” akan datang ke universitas tersebut selama beberapa bulan untuk melakukan penyelidikan dan menggunakan perpustakaan Regenstine. Ia diharapkan bisa membantunya. Fazlur Rahman pernah bercerita pada Wan Mohd Nor bahwa al-Attas sebagai seorang genius.
Menurut Wan Mohd Nor, Fazlur Rahman berhasil menanamkan semangat pada sebagian mahasiswanya untuk terus mengembangkan ilmu yang tinggi, dan menghormati para sarjana serius. Kritikan tajam al-Attas terhadap beberapa ide Fazlur Rahman, menurutnya, dibuat dengan rasa hormat dan bertanggungjawab, bukan kerana mengikut kebencian pribadi, atau karena dengki.
Saat Fazlur Rahman wafat tahun 1988 itu, al-Attas meminta Wan Mohd Nor menelpon istri Fazlur Rahman untuk menyampaikan takziah darinya dan keluarganya sambil menyatakan ISTAC (International Institute of Islamic Thought and Civilization) berminat membeli seluruh perpustakaanya untuk memperkaya koleksi perpustakaan ISTAC dan mengekalkan nama tokoh Pakistan ini. “Saya diutus segera ke Naperville untuk menjayakan tugas itu, yang dibantu oleh Muhammad Zainiy yang masih di Chicago pada saat itu,” papar Wan Mohd Nor.
*****
Wan Mohd Nor lahir di Kelantan, Malaysia, pada 23 Desember 1955; putera sulung dari Wan Daud bin Hj Wan Abdul Rahman dan Esah binti Awang. Ia memiliki adik 12 orang. Ibunya tidak bersekolah, kecuali mempelajari agama dan menurutnya, amat baik bacaan al-Qur’annya.
“Pernah ketika kecil, saya terdengar ibu membetulkan ayah membaca al-Qur’an walaupun beliau sedang memasak di dapur,” kenangnya. Ibunya pun sangat sabar dalam mendidik anak-anaknya. “Kami tidak pernah dipukul atau disergahnya. Jika beliau amat marah, beliau akan menggulungkan lidahnya,” cerita Wan Mohd Nor lagi.
Sementara, ayahnya, Wan Daud pernah bekerja sebagai sopir mobil di Jabatan Kerja Raya (Di Indonesia: Dinas Pekerjaan Umum) di Kelantan. Meskipun begitu, darah ulama mengalir dalam diri Wan Mohd Nor. Kakeknya, yang bernama, Wan Abdul Rahman adalah sahabat Haji Nik Daud, yang aktif dalam pendidikan pondok di Tok Uban dan Kutan (keduanya dalam daerah Pasir Mas), dan di Patani, Thailand Selatan. Buyutnya, yang bernama Wan Abdul Samad, disebut sebagai seorang ulama yang selalu ke Makkah, dan wafat di sana.
Kerana ayahnya sering berkerja di pelbagai tempat pembangunan jalan, ia ditinggal dan disekolahkan oleh kakeknya itu. Beruntung, kakek dan neneknya sangat peduli dengan pendidikan, terutama pendidikan agama. Disamping menekankan pendidikan membaca al-Quran, kekeknya selalu membacakan kitab Muhammad Ali Hanafiah yang gagah berani itu. Di rumah kakeknya itulah, Wan Mohd Nor melihat berbagai kalangan alim ulama yang berkunjung.
Meskipun bersekolah di Sekolah Kebangsaan Inggeris, pendidikan agama diterimanya dengan ketat. Ia belajar selama dua-tiga jam seminggu kepada Ustaz Abdullah. “Selain itu, kami belajar dari kakek. Dan pada setiap Jumat jam 8.00-10.00 pagi, di Pondok Haji Nik Daud. Selepas itu, kalau tidak lelah, kami akan ke masjid mendengar seri kuliah agama yang diberikan oleh dosen-dosen dari Majlis Ugama Islam Kelantan, dari jam 10.30-12.00 tengah hari,” papar Wan Mohd Nor lagi.
Tradisi keilmuan di masa kecil itu tampaknya terus berbekas dan berhasil mendorongnya menjadi seorang ilmuwan pecinta ilmu dan perjuangan Islam. (Dr. Adian Husaini).