Home Artikel Problematika Pendidikan Islam Kontemporer (1)

Problematika Pendidikan Islam Kontemporer (1)

6265
0

Oleh : Dr. Nirwan Syafrin Manurung (Dosen Pasca Sarjana UIKA Bogor)

 

Upaya untuk mengidentifikasi akar persoalan ini sudah sekian lama dilakukan oleh para aktivis, pendidik, dan kaum cerdik pandai dan pemikir Muslim. Krisis yang dialami umat saat ini tidak berakar pada persaolan ekonomi, politik, atau teknologi. Umat Islam hari ini dihinggapi krisis intelektualisme atau pemikiran. Maka keberhasilan apa pun dan dalam bidang apa pun yang dilakukan hanya akan bersifat sementara dan tidak akan langgeng selama aspek pemikiran masyarakatnya belum diperbaharui.

Jika pemikiran adalah produk pendidikan, dan pemikiran itu saat ini mengalami kemandekan, maka jelaslah bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikan kita. Artinya jika ingin menyederhanakan permasalahan umat hari ini, ia tersimpul pada kata pendidikan.

Sementara pendidikan di Indonesia saat ini banyak menghadapi problem, mulai dari menyebarnya faham materialisme, sekulerisme dan liberalisme.

 

Pendahuluan

Sejatinya pendidikan anak adalah menjadi tugas dan tanggung jawab orang tua, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw. bahwa seorang anak dilahirkan dalam kondisi fitrah; orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.  Namun, dalam prakteknya, entah itu disebabkan oleh keterbatasan waktu dan tenaga, atau mungkin juga karena kekurangan ilmu dan keahlian, saat ini hampir semua orang tua mengantar anak-anak mereka ke sekolah atau lembaga pendidikan formal lainnya untuk dididik, dibentuk kepribadiannya dan karakternya, dan dibekali dengan berbagai ilmu pengetahuan agar kelak ketika dewasa akan menjadi manusia yang baik serta memperoleh kehidupan yang layak. Akan tetapi seiring dengan revolusi informasi dan teknologi yang berkembang pada terakhir ini, banya pihak yang mulai ragu dengan kemampuan sekolah untuk mengemban tugas yang kami sebutkan di atas, seiring dengan maraknya pelbagai persoalan moralitas yang melibatkan remaja usia sekolah. Beberapa hasil survei belakangan ini menunjukkan tingginya angka keterlibatan remaja dalam aksi poronograpi, mulai dari menonton atau mengakses pornografi sampai hubungan badan alias zina, dan aborsi. Ditambah lagi kejahatan narkoba, perampokan, premanisme, tawuran dan tindak kriminalitas lain yang tidak jarang menimbulkan korban jiwa. Wajar saja jika banyak orang tua mulai merasa cemas untuk menitipkan anak-anak mereka di lembaga-lembaga pendidikan formal. Dengan demikian, merekapun mulai mencari jalur alternatif seperti home schooling. Apa sesungguhnya persoalan yang sedang melilit dunia pendidikan kita, khususnya pendidikan Islam, sehingga munculnya persoalan di atas, inilah tema pokok yang coba diangkat makalah sederhana ini. 

 

PENDIDIKAN AKAR PROBLEMATIKA UMAT

Al-Qur’an mendiskripsikan umat Islam sebagai khayra ummah (ummat terbaik) dan ummatan wasatan yang menjadi saksi kepada seluruh manusia (Ali-‘Imran: 110 dan al-Baqarah: 142); akan tetapi kondisi dan realitas umat saat ini jauh dari deskripsi yang diberikan al-Qur’an tersebut; dunia dan masyarakat Islam hari ini jatuh terpuruk dalam krisis akut multidimensi. Hampir seluruh sendi kehidupan umat mengalami krisis: sosial, budaya, politik, ekonomi, moral, pendidikan, bahkan agama. Begitu parahnya kondisi ini sampai-sampai Isma’il Raji al-Faruqi sekitar tiga puluh tahun silam pernah menyatakan bahwa “tidak ada satu bangsa lain pun didunia saat ini yang mengalami kekalahan dan kehinaan seperti yang dialami kaum Muslimin.”

The Muslims were defeated, massacred, robbed of their land and wealth, of their life and hope. They were double-crossed, colonized and exploited; proselytized and forcefully or bribefully converted to other faiths. And they were secularized, westernized and de-Islamized by internal and external agents of their enemies… they enjoy the worst possible ‘image’ in the world today. The ummah presently stands at the lowest rung of the ladder of nations.[1]

           

Gambaran ini mungkin tidak terlalu berlebihan jika melihat kondisi umat saat ini yang meskipun memiliki sumber daya alam dan manusia yang berlimpah ruah, masih banyak masyarakatnya yang hidup pada garis kemiskinan. Meski memiliki kiblat yang satu, berpegang pada Kitab Suci yang satu, namun masyarakat Muslimlah hari ini yang paling banyak teribat konflik sektarianisme, perang, perpecahan, terfragmentasi menjadi kelompok-kelompok kecil.

Melihat kondisi ini, Abdul Hamid Abu Sulayman, mantan rektor Universitas Islam Internasional Malaysia, mungkin tidak berlebihan menyatakan bahwa abad modern adalah tragedi bagi masyarakat Muslim (for Muslims, all of modern history is a tragedy).[2] Memasuki pertengahan abad ke-19, hampir tidak ada satu pun dunia Islam yang terlepas dari tampuk penjajahan; dari Maroko sampai Merauke, masyarakat Islam hidup dalam penjajahan. Tragisnya, para penjajah tersebut bukan merampas dan menguras kekayaan alam bangsa Muslim, mereka juga menjajah nilai kehidupan social-budaya, politik, ekonomi, dan agama yang dianut oleh masyarakat tersebut. Lihatlah bagaimana sistem peradilan dan pendidikan mereka diubah. Sejak sekian lama, Syari’ah Islam telah menjadi sistem yang mengatur kehidupan sosial, budaya, politik, umat Muslim. Akan tetapi sejak masuknya penjajah ke dunia Islam, sistem ini pun lambat laun terpinggirkan bahkan menjadi asing di tengah masyarakatnya sendiri. Hari ini hampir kebanyakan dunia Islam memakai sistem peradilan Barat termasuk Indonesia. Yang tak kalah pentingnya adalah perubahan yang berlaku dalam sistem pendidikan Islam yang telah termarjinalkan seiring dengan munculnya sistem pendidikan sekuler.

Pertanyaannya adalah ada apa dan kenapa dengan umat ini? Sebuah pertanyaan yang, saya yakin, menghampiri hampir seluruh seluruh kalangan yang mempunyai perhatian terhadap umat. Pertanyaan ini pernah diringkas seorang penulis Arab, Syakib Arsalan, dalam judul bukunya yang terkenal Limadza ta’akhkharal muslimuna wa taqaddama ghayruhum?

Upaya untuk mengidentifikasi akar persoalan ini sudah sekian lama dilakukan oleh para aktivis, pendidik, dan kaum cerdik pandai dan pemikir Muslim. Dari sekian banyak jawaban yang ditemukan, hampir kebanyakan sepakat bahwa krisis yang dialami umat saat ini tidak berakar pada persaolan ekonomi, politik, atau teknologi. Artinya umat ini mundur bukan semata karena lemahnya penguasaan sains dan teknologi mereka, atau rendahnya tingkat produksi mereka. Lebih dari itu, umat Islam hari ini dihinggapi krisis intelektualisme, pemikiran, atau penalaran, dalam arti yang luas atau oleh Abu Sulayman disebut dengan “crisis of thought”.[3] Oleh sebab itu, maka keberhasilan apa pun dan dalam bidang apa pun yang dilakukan baik ekonomi, militer, politik, dan lain sebagainya hanya akan bersifat sementara dan tidak akan langgeng selama aspek pemikiran masyarakatnya belum diperbaharui.[4]

Pemikiran adalah produk dari proses berpikir. Setiap orang yang dikaruniai akal dan panca indera pasti bisa berpikir, meski tidak sedikit orang yang enggan menggunakan karunia ilahi ini untuk berpikir. Kebanyakan cendekiawan Muslim berpendapat bahwa mundur dan runtuhnya kedigdayaan Peradaban Islam bermula ketika virus taqlid mulai merebak dan menyobek independensi intelektual kaum terdidiknya. Upaya intelektual yang sebelumnya mendapat tempat dan penghargaan yang tinggi di kalangan masyarakat dan penguasa entah kenapa tiba-tiba kehilangan momentum.[5] Pintu ijtihad tiba-tiba dikatakan tertutup,[6] para cendekiawan pun tidak ada yang tampil ke permukaan dengan gagasan besar seperti pendahulu. Kemandekan intelektual ini tentu menimbulkan tanda tanya besar: apa sesungguhnya yang menyebabkan vitalitas intelektual Islam yang sejak dini bergeliat sedemikian gesit, kok tiba-tiba kehilangan rentaknya.

Faktor politik selalu dijadikan alasan: serangan bangsa Mongol atas dinasti ‘Abbasiyah kerap dirujuk sebagai titik awal kejatuhan Peradaban Islam. Meski demikian, menurut hemat penulis, faktor pendidikan tidak kalah pentingnya dalam proses dekadensi ini. Tidak bisa dinafikan bahwa pemikiran brilian tidak mungkin lahir dari pribadi yang lemah, ia pasti lahir dari seorang yang memiliki kepribadian yang tangguh. Dan pribadi tangguh sudah pasti lahir dari dari pendidikan yang tangguh juga. Kalau kita berkaca pada pemikir dan cendekiawan Muslim masa silam, kita melihat kehebatan sekolah dan guru-guru yang menghasilkan mereka. Seorang Imam besar bernama Syafi’i adalah hasil adonan dari guru-guru terhebat pada masanya; dia adalah murid seorang Imam hadits terkenal pada masa itu bernama Imam Malik. Demikian juga al-Ghazali, dia adalah produk asuhan cendekiawan terkenal ketika itu Imam al-Haramain al-Juwani. Ibn Sina tidak mungkin bisa melahirkan karya tulis yang mencapai 450 judul jika dia tidak mendapat pendidikan awal yang paripurna. Lihatlah siapa guru yang telah mendidiknya serta lingkungan sekolah yang telah membesarkan, seluruhnya telah memainkan peran dalam pembentukan kepribadiannya. Ibn Sina (atau yang dikenal di Barat dengan Avicenna) dikatakan telah hafal al-Qur’an pada usia 10 tahun seperti juga kebanyakan cendekiawan Muslim yang lain yang sezaman dengannya. Ketika remaja, dia pun telah bergelut dengan Metaphysicsnya Aristotle. Menurut satu riwayat dia telah membaca buku ini sebanyak 40 kali hingga diapun hafal kata perkata dari isi buku tersebut, karena tingginya tingkat kesulitan yang dihadapinya dalam memahami karya ini. Cendekiawan seperti Syafi’i, Ibn Sina, dan Ghazali bisa menjadi tokoh seperti itu tidak terlepas dari sistem pendidikan yang telah mengasuh mereka. Sejak kecil mereka telah disuguhkan kurikulum pendidikan yang hebat; mereka di ajarkan berbagai disiplin ilmu keIslaman dan disiplin ilmu lain sehingga ketika mereka menginjak dewasa mereka sudah memiliki bekal untuk menggali dan mengharungi dalamnya lautan ilmu.[7]

Jika pemikiran adalah produk pendidikan, dan pemikiran itu saat ini mengalami kemandekan, maka jelaslah bahwa ada yang salah dalam sistem pendidikan kita. Artinya jika ingin menyederhanakan permasalahan umat hari ini, ia tersimpul pada kata pendidikan. Hal ini telah banyak ditegaskan oleh para pemikir Muslim. Sebut saja Syed Muhammad Naquib al-Attas. Tokoh ini berkata bahwa “The basic problem, therefore, is that of education – the lack of proper and adequate Islamic education – for such education, rightly systematized assuredly prevent the occurrence of general confusion leading to aberrations and excesses in belief and in practice.”[8]  Pernyataan ini dipertegas oleh Isma’il Raji al-Faruqi bahwa:

There can be no doubt that the main locus and core of the Ummah’s malaise is the prevalent educational system. It is the breeding ground of the disease. It is in schools and colleges that self-estrangement from Islam and from its legacy and style are generated and perpetuated.[9]

 

Lebih jauh Faruqi menyatakan bahwa selama dunia pendidikan kita belum diperbaiki,  maka jangan berharap umat ini bisa akan mencapai kebangkitan yang sesungguhnya. (There can be no hope of a genuine revival of the umma unless the educational system is revamped and its faults corrected)[10]

 

ADA APA DENGAN PENDIDIKAN KITA?

Jika pendidikan adalah akar kemunduran Islam, pertanyaan selanjutnya adalah ada apa dengan pendidikan kita? Tentu saja jawaban atas pertanyaan ini sangat komplek dan bervariasi tergantung pada sudut pandang dari mana kita melihatnya. Dan menurut hemat diantara sekian banyak persoalan yang melilit pendidikan kita, hilangnya unsur ruhaniyah dan ‘ubudiyyah, baik dalam diri anak didik maupun pada diri pendidiknya, merupakan salah satu persoalan yang mendasar.

Dunia pendidikan hari ini dihadapkan dengan pelbagai persoalan: ledakan informasi teknologi, industrialisasi, globalisasi, dan liberalisasi. Ditengah ini semua, dunia pendidikan dituntut untuk bersikap lebih realistik dan pragmatik dalam arti kata bisa memenuhi kebutuhan pasar: mensupply tenaga kerja yang siap pakai. Untuk tujuan ini, tidak sedikit sekolah dan institusi-institusi pendidikan yang banting stir, mengorbankan idealismenya, mengubur cita-cita luhurnya. Karena mereka khawatir jika mereka tidak mengikuti selera pasar, maka mereka harus siap ditinggal para “consumer”nya alias berpindah kepada lembaga pendidikan lain yang lebih menjanjikan. Hari ini, sekolah atau universitas yang baik dilihat dari tingkat keterserapan alumninya di pasar kerja: semakin banyak alumninya yang diterima bekerja, semakin tinggi rating dan kualitas lembaga pendidikan tersebut, sebaliknya semakin sedikit jebolannya bisa memasuki pasar kerja, semakin rendah pulalah kredibilitasnya. Jadi kualitas sama dengan keterserapan alumninya ke dalam lapangan kerja.

Lebih celaka lagi sesungguhnya adalah jika citra “berkualitas dan berating tinggi” tersebut dicapai dengan menempuh dengan segala cara seperti yang terjadi belakangan ini di banyak lembaga pendidikan formal mulai dari SD, SMP, SMA, hingga universitas. Untuk mengejar target lulus 100% banyak sekolah hari ini yang mengatrol nilai rapot atau hasil ujian sekolah anak didik mereka. Ada juga sekolah yang secara khusus menugaskan tenaga pendidiknya untuk memperbaiki jawaban murid-muridnya. Semua ini dilakukan demi pencitraan bahwa sekolah tersebut berhasil mengantarkan murid-muridnya lulus Ujian Akhir Nasional (UAN) 100%. Ironisnya keadaan ini berkembang pada saat pemerintah menjadikan pendidikan karakter sebagai landasan filosofis pendidikan. Jika keadaannya seperti yang baru saja dideskripsikan, karakter apa sesungguhnya yang sedang ditanamkan pada para peserta didik tersebut. Bagaimana kita bisa berharap anak memiliki sifat jujur dan tanggung jawab, jika para pendidik dan pengelola sekolah terlibat dengan aksi ketidakjujuran. Maka wajar saja jika kejahatan remaja usia sekolah terus meningkat karena memang lembaga pendidikan tidak lagi berorientasi pada pembinaan akhlak, penguatan moral dan penanaman adab dan iman, tapi pada pencarian selembar kertas yang bernama ijazah. Perlahan tapi pasti, lembaga pendidikan kita hari ini telah beralih fungsi dari pencetak manusia unggulan berkarakter dan berada mulia menjadi pabrik penghasil “barang” bernama manusia. Ringkasnya kebanyakan lembaga pendidikan hari ini cenderung menjadi wadah bisnis, tempat berburu keuntungan dan kekayaan. Jika keadaan guru sudah seperti ini, maka bisa dibayangkan manusia seperti apa yang akan di hasilkannya.

Kenyataan ini tentu kontras sekali dengan pandangan hidup Islam (Islamic Worldview) dimana tugas pendidik adalah untuk melahirkan manusia-manusia yang memiliki keilmuan yang mumpuni serta beradab sementara tugas peserta didik adalah mencari ilmu. Adab dalam konteks ini bukan hanya berarti moral seperti yang biasa kita pahami dalam bahasa Indonesia. Adab yang kami maksud disini adalah seperti yang dijelaskan oleh S. M. Naquib al-Attas yang berkonotasi ilmu, yaitu:

the discipline of body, mind, and soul; the discipline that assures the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s self, society, and Community; the recognition and acknowledgement of one’s proper place in relation to one’s physical, intellectual, and spiritual capacities and potentials, the recognition and acknowledgment of the fact that knowledge and being are order hierarchically.[11]

Ilmu dalam pandangan hidup (worldview) Islam menempati posisi sentral sampai-sampai Franz Rosenthal berkesimpulan bahwa ilmu adalah Islam itu sendiri (’ilm is Islam), karena menurutnya, “there is no other concept that has been operative as a determinant of Muslim civilization in all its aspects to the same extent as ‘ilm.”[12] (tidak ada konsep yang bekerja sebagai penentu Peradaban Islam dalam seluruj aspeknya sebagaimana halnya ‘ilm.) Mungkin hanya Islamlah satu-satunya agama yang memberikan apresiasi sedemikian besar terhadap ilmu. Hal ini terlihat dari penghargaan yang diberikan al-Qur’an dan Hadits kepada mereka yang menuntut ilmu. Al-Qur’an menempatkan kedudukan orang berilmu sebaris dengan orang beriman dan malaikat. Bahkan kemulian Adam as pun tidak terlepas dari keilmuan yang ia miliki yang ia peroleh dari Allah SWT. Para pencari ilmu, disebutkan dalam salah sebuah Hadits, turut didoakan oleh seluruh yang ada di langit dan dibumi; mereka juga dilapangkan jalannya masuk ke surga. Sedemikian utamanya ilmu, al-Qur’anpun tetap memerintahkan sekelompok orang untuk tetap bergiat dalam bidang keilmuan meski kondisi darurat perang.


[1] “Kaum Muslimin dikalahkan, dibantai; negeri dan kekayaannya dirampas, demikian juga kehidupan dan harapannya. Mereka ditipu, dijajah dan diperas, ditarik dan dipaksa atau melalui penyuapan ke dalam agama-agama lain. Dan mereka disekulerkan, di Baratkan, dan di de-islamisasikan oleh agen-agen musuh mereka di dalam dan di luar diri mereka… pada hari ini mereka mempunyai “citra” yang sangat buruk. Dan pada saat ini ummat berada pada tingkat terendah dibanding negara-negara yang ada.” Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan (Virginia, Herndon: International Institute of Islamic Thought, 1402/1982), 1.

[2] ‘Abdul Hāmid Abu Sulaymān, Towards an Islamic heory of International Relations (Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought, 1993), 1.

[3] Abdul Hamid Abu Sulayman, A Crisis of Muslim Mind (Virginia: IIIT), 28

[4] Abdul Hamid Abu Sulayman, Towards an Islamic Theory of International Relations (Virginia: IIIT), xiv

[5] Ada beberapa teori yang mengemuka terkait dengan faktor dan kapan mulainya sains dalam peradaban Islam mengalami stagnansi. Untuk keterangan lanjut silakan rujuk: Ahmad Y. al-Hassan, “Factor Behind the Decline of Islamic Science After the Sixteenth Century,” in Sharifah Shifa al-Attas (ed.), Islam and the Challenge of Modernity (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1996), 351-389 dan Mohamad Abdalla, “Ibn Khaldun On The Fate of Islamic Science After the 11th Century,” Islam & Science, vol. 5, No. 1 (Summer 2007), 61-70. 

[6] Lihat misalnya: Sobhi Mahmassani, “Muslims: Decadence and Renaissance,” The Muslim World, Vol. XLIV, No. 3 and 4, July and October 1954, 185-201; Taha  Jabir al-‘Alwani, “Taqlid and The Stagnation of the Muslim Mind,” The American Journal of Islamic Social Sciences, vol. 8, No. 3, 1991: 513-524; idem, “The Crisis in Fiqh and The Methodology of Ijtihad,” The American Journal of Islamic Social Sciences, Vol. 8, No. 2, 1991: 317-337. Wael Hallaq bagaimanapun juga mempertanyakan teori yang menyatakan bahwa pintu ijtihad pernah tertutup. Katanya pendapat ini tidak berdasarkan bukti di lapangan, melainkan hanya berlandaskan spekulasi. LihatWael B. Hallaq, “Was the gate of Ijtihad closed,” The International Journal of Middle East Studies, No. 8 (1984), 3-43.

[7] Untuk keterangan lebih lanjut tentang sistem pendidikan dan mata pelajaran yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan ketika itu lihat George Makdisi, The Rise of Colleges Institutions of Learning in Islam and the West (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981)

[8] S. M. Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: ISTAC), 118.

[9] Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge, 5; idem, “Islamization of Knowledge: Problems, Principles and Perspectives,” dalam Islam: Source and Purpose of Knowledge (Herdon: IIIT, 1981), 22. 

[10] Isma’il Raji al-Faruqi, Islamization of Knowledge, 8-9.

[11] Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization, 1993), 105.

[12] Franz Rosenthal, Knowledge Triumphant: The Concept of Knowledge in Medieval Islam (Leiden and Boston: E. J. Brill, 2007), 2. 

Leave a Reply