Gagasan perenialisme atau hikmah abadi (perennial wisdom) yang berujung pada upaya penyatuan agama-agama dengan jalan menjaga kearifan masa lalu (the ancient wisdom), membangun persaudaraan universal dan pengabdian terhadap kemanusiaan, sejatinya memiliki akar sejarah yang panjang di Indonesia. Catatan sejarah tersebut merujuk pada keberadaan perkumpulan Theosofi, sebuah organisasi kebatinan yang pada masa lalu gencar mempropagandakan doktrin-doktrin perenialisme dan pluralisme agama. Theosofi memiliki motto, “There is No Religion Higher Than Truth” atau “Satyan Nasti Paroh Dharma“ (Tidak Ada Agama yang Lebih Tinggi daripada Kebenaran).
Perkumpulan Theosofi (Theosophical Society) didirikan pertama kali di New York pada tahun 1875 oleh sekelompok orang yang terlibat aktif mempelajari kepercayaan-kepercayaan dan tradisi-tradisi kuno dalam okultisme, mistisisme, dan kabbalah. Pendiri dan tokoh sentral Theosofi adalah Helena Petrovna Blavatsky (1831-1891), seorang perempuan aristokrat Rusia berdarah Yahudi yang dijuluki oleh para pengikutnya sebagai “mother of new age movement” atau “founder of occult fraternities” (Pendiri Persaudaraan Okultis). Tokoh-tokoh lain yang terkenal dalam Theosofi Internasional adalah Henry Steel Olcott (1832-1907), Annie Besant (1847-1933), dan Charles Webster Leadbeater (1847-1934).
Sebelum secara resmi diakui sebagai cabang dari Perhimpunan Theosofi Internasional, keberadaan organisasi ini di Nusantara secara tidak resmi sudah terlihat dengan berdirinya The Pekalongan Theosophical Society (Masyarakat Theosofi Pekalongan) pada 1881. Keberadaan kelompok ini pada saat itu sudah mendapat penolakan dari umat Islam setempat karena dianggap menyebarkan paham mistis, kebatinan, dan sihir.
Lalu, pada 1901, dibuka loge Theosofi pertama di Semarang, di bawah pimpinan D.G van Niewenhoven Helbach. Periode selanjutnya, pada 1909 berdiri Nederlandsche Indie Onder Afdeling der Nederland Afdeling van de Theosofische Vereniging (NIONATV) atau Perhimpunan Theosofi di Hindia Belanda yang berada dalam wilayah kepengurusan Theosofi di Belanda, dan kemudian pada 1912 berubah menjadi Nederlandsche Indische Theosofische Vereniging (NITV) atau Theosofi Cabang Hindia Belanda, yang berdiri sendiri dan diakui secara resmi oleh markas Theosofi pusat sebagai cabang ke-20, dengan ketuanya Dirk van Hinloopen Labberton.
Theosofi kemudian menyebarkan ajaran-ajarannya dengan mendirikan loge-loge di berbagai daerah di Pulau Jawa dan mencetak media massa, seperti Theosofisch Maandblad voor Nederlandsch-Indie (terbit di Semarang), Koemandang Theosofi (terbit di Surakarta), Pewarta Theeosofie Boewat Tanah Hindia Nederland (terbit di Jawa Timur), Majalah Pewarta Theosofie Boeat Indonesia, Majalah Perhimpunan Theosofie Tjabang Indonesia (terbit di Batavia), Majalah Persatoean Hidoep (Terbit di Batavia dan Bandung), Majalah Dyana milik Pemuda Theosofi (terbit di Semarang), Majalah Lotus milik Pemuda Theosofi (terbit di Bandung), dan Berita PB Perwathin (Terbit di Jakarta). Media-media massa ini, selain berisi laporan masing-masing loge dan kegiatan-kegiatannya, juga banyak memuat doktrin-doktrin Theosofi yang digagas oleh Blavatsky dan Annie Besant.
Apa itu Theosofi?
Dalam The Key to Theosophy, Blavatsky mengatakan, Theosofi adalah the wisdom religion (agama kebijaksanaan) yang berusaha mempersatukan agama-agama dalam sebuah “Kesatuan Hidup” yang selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan. Tujuan Theosofi, kata Blavatsky, sama dengan apa yang dilakukan oleh seorang Yahudi bernama Ammonius Saccas, yang berusaha mengajak para gentiles (non Yahudi), para pemeluk Kristen, pemuja dewa-dewa, untuk mengenyampingkan tuntutan mereka dengan mengingat bahwa mereka memiliki kebenaran yang sama. Agama menurutnya, adalah tunas-tunas dari batang pohon yang sama, yaitu the wisdom religion. (H.P Blavatsky, Kunci Memahami Theosofi (terj), Jakarta:PB Perwathin, 1972, hal.3)
Blavatsky menegaskan, tujuan utama Theosofi adalah mendamaikan semua agama, sekte-sekte, dan bangsa-bangsa di bawah satu etika umum, yang didasarkan pada kenyataan-keyataan abadi. Theosofi mengedepankan persaudaraan universal, supremasi kemanusiaan, dan pentingnya menjadikan nilai-nilai kebaikan sebagai titik temu semua agama-agama. Apa yang dilakukan Theosofi berujung pada sinkretisme teologi, yang kemudian memunculkan banyak istilah global, seperti; agama kemanusiaan, agama universal, agama budi, agama kebijaksanaan, persaudaraan universal, pluralisme, inklusifisme, perenialisme, dan sebagainya. Pada akhirnya, sikap dan pemahaman sinkretrisme teologi itu terjerembab dalam paham netral agama, laa diniyah!
Majalah Pewarta Theosofi Boeat Indonesia, No.2, Februari 1930, mengutip pernyataan Annie Besant, yang menyatakan, “Kami berseru kepada kalian semua, marilah kita bekerja bersama-sama untuk agama ketentraman, agama kenyataan, agama kemerdekaan. Di dunia kerajaan dari surga yang sejati, inilah kita punya haluan…” Sementara pada Majalah Perhimpunan Theosofie Tjabang Indonesia (P.T.T.I), No.IV, tahun 1954, disebutkan,“Kebenaran pada pendapat kami tidak dapat dimonopoli. Setiap orang mempunyai kebenaran atau kenyataan sendiri. Begitupun Tuhan, tidak dapat dimonopoli. Tuhan ada dimana-mana, Satu, tiada yang kedua, meliputi segala dan semuanya, Tuhan tidak terbatas.”
Theosofi juga berkeyakinan tiap-tiap agama hanya berbeda pada aspek eksoterik (lahir), dan memiliki kesamaan pada aspek esoterik (batin). Mereka berkeyakinan, syariat lahir boleh berbeda, namun hakikat batin tetaplah sama, menuju pada “Yang Satu”. Bagi Theosofi, Yang Satu itu ada dalam setiap agama dan memiliki banyak nama. Dalam Pewarta Theosofi, No. 3, Februari tahun 1930, disebutkan, “Yang menciptakan barang yang ada itu dinamakan Allah, God, Tuhan, dan ada lagi nama-nama apa saja yang orang mau sebutkan.” Theosofi mengartikan kalimat “Laa Ilaaha Ilallah” dengan, “Tiada Gusti Allah, melainkan Gusti Allah.”
Dalam tulisan berbahasa Inggris, para penganut Theosofi sering menulis kata “God” dengan “Gods” (dengan tambahan huruf “s” untuk menunjukan lebih dari satu). Tuhan dalam pandangan Theosofi juga bisa termanifestasikan dengan nilai-nilai “Kebaikan” (dengan huruf “K” besar) yang dilakukan manusia. Pancaran nilai Kebaikan inilah yang disebut sebagai pletik Ilahi (God in being). Pletik Ilahi ini, menurut Theosofi, disebabkan karena manusia manunggal dengan Tuhan. Manusia sejati (ingsun sejati) dalam keyakinan Theosofi adalah pancaran dari gambaran Tuhan. Maka, ingsun sejati harus mengamalkan asas-asas Ilahi, yaitu kasih sayang, kebenaran, kesatuan hidup, dan lain-lain. Inilah yang kemudian dalam kebatinan Jawa disebut sebagai “kasampurnaning urip”
(kesempurnaan hidup).
Inti ajaran Theosofi mengarah pada perenialisme dan pluralisme agama seperti tercermin dalam motto organisasi ini. Dalam inti ajaran Theosofi, agama manapun selama menjunjung tinggi kemanusiaan dan menebarkan kebaikan, maka pada hakikatnya sama. Tidak ada kedudukannya yang lebih tinggi daripada kebenaran. Inilah yang menjadi landasan Theosofi dalam memandang agama. Tidak boleh ada klaim mutlak kebenaran (absolute truth claim) dari satu agama.
The ultimate goal dalam hidup ini bagi mereka adalah menebar kebaikan kepada sesama manusia, zonder memandang agama, suku, ras, dan golongan. Meski awalnya Theosofi mengatakan semua agama sama, tetapi pada kesempatan lain Theosofi mengatakan tak perlu beragama, cukup dengan menjalankan lelaku batin, menebar kasih sayang, kebenaran, menolong sesama manusia, dan lain-lain. Ujung-ujungnya adalah perangkap pada lubang ateisme. Bukankah ini sebuah pemurtadan yang ramah? (***)