Home Artikel Perenialisme: Bukan Ajaran Nabi

Perenialisme: Bukan Ajaran Nabi

962
0

Seorang cendekiawan terkenal – yang sudah wafat – pernah menulis:  “Sebagai sebuah pandangan keagamaan, pada dasarnya Islam bersifat inklusif dan merentangkan tafsirannya ke arah yang semakin pluralis. Sebagai contoh, filsafat perenial yang belakangan banyak dibicarakan dalam dialog antar agama di Indonesia merentangkan pandangan pluralis dengan mengatakan bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah “Satu Tuhan Banyak Jalan”.”  (Lihat, buku Tiga Agama Satu Tuhan,  (Bandung: Mizan, 1999), hal. xix.).

Sang cendekiawan ini bisa dikatakan salah satu pioneer dalam penyebaran paham perenialisme di Indonesia. Sesudahnya, semakin banyak cendekiawan di Indonesia yang tergoda untuk menganut dan menyebarkan paham ini. Sadar atau tidak. Paham atau tidak, akan akibatnya. Mereka beranggapan, bahwa dengan ide inilah maka akan tercipta kerukunan umat beragama, kehidupan bangsa yang damai dan harmonis. Sebab, paham ini berhasil meredam konflik agama-agama pada tingkat yang paling dini, yaitu pada level wawasan dan cara pandang terhadap agama lain yang tidak lagi ”menghakimi” atau ”menyalahkan” agama lain.

Tahun 2010, dalam pelantikannya sebagai guru besar sosiologi agama di sebuah perguruan tinggi Islam, seorang guru besar menulis:  “Gagasan Nurcholish Madjid tentang titik temu agama-agama atau gagasan kesatuan transcendental agama-agama (the transcendent unity of religions) Frithjop Schuon, semakin memberikan afirmasi baik secara teologis maupun filosofis tentang pentingnya pengembangan studi agama berbasis multikulturalisme.”

Sepintas, gagasan kesatuan agama-agama pada level transenden (Kesatuan Transendensi Agama-agama/KTAA) tampak indah. Tapi, konsep ini sejatinya sangat serius kesalahannya. Sebab, KTAA memberikan keabsahan pada semua bentuk ibadah kepada Allah. Konsep KTAA seperti dipromosikan oleh sang profesor tersebut jelas memberikan legitimasi terhadap bentuk penyembahan terhadap Tuhan apa pun selain Allah.  

Seorang Muslim tidak mungkin berkeyakinan bahwa semua agama – apapun cara ibadahnya – adalah sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Padahal, syahadat orang Muslim sudah menegaskan, bahwa ”Tidak ada Tuhan selain Allah”. Ini artinya, seorang Muslim harus menyembah satu-satunya Tuhan, yaitu Allah, bukan Yahweh, bukan Lata, bukan Uzza, bukan Setan, dan bukan Tuyul. Jika ada agama yang memiliki ritual penyembahan Tuyul atau menyembah Tuhan dengan cara telanjang sambil berjalan mengelilingi kampus, maka ibadah seperti itu pasti batil, karena tidak sesuai dengan syariat Nabi Muhammad saw. 

Konsep Tauhid Islam seperti ini sangat bertentangan dengan konsep KTAA, seperti diuraikan sang profesor tersebut: ”Upaya mencari titik temu antar pelbagai kelompok agama secara lebih mendasar dikembangkan oleh seorang tokoh mistikus kontemporer Frithjop Schuon (1984). Gagasan Frithjop Schuon dikatakan lebih mendasar karena menjadikan dimensi transendental agama-agama. Bagi Frithjop Schuon, di balik perbedaan pada masing-masing agama, tetap ada peluang dipertemukan mengingat kesamaan pada dimensi transendentalnya. Semua agama, apapun bentuk eksoteriknya (tata cara beribadah, tempat ibadah, ungkapan-ungkapan bahasa agama, dan perbedaan bersifat simbolik lainnya), kata Frithjop Schuon, berjumpa pada ranah transendental, yaitu Tuhan. Inilah dimensi esoterik agama, sekaligus jantung semua agama (the heart of religion).” 

Teori KTAA juga sangat naïf dan absurd, karena tidak mempersoalkan aspek eksoterik (tata cara beribadah, tempat ibadah, ungkapan-ungkapan bahasa agama, dan perbedaan bersifat simbolik lainnya) dan lebih mementingkan aspek esoterik. Dalam Islam, aspek syariat (eksoterik) sangat penting. Bentuk ibadah adalah hal yang sangat mendasar dalam Islam. Islam tidak memisahkan aspek eksoterik dan aspek esoterik.  Islam secara tegas menolak segala bentuk ibadah, selain yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw.

Justru salah satu misi utama diutusnya Nabi Muhammad saw adalah untuk memberi petunjuk kepada manusia tentang bagaimana cara beribadah yang benar.  Beliau diutus untuk semua manusia, sebagai uswah hasanah. Misi Nabi Muhammad saw bukan hanya ditujukan untuk orang Islam saja (QS 34:28). Jadi, dalam Islam, aspek eksoterik dan esoterik adalah sama-sama penting. Menurut Islam, untuk menggapai esoterik yang benar, maka seseorang juga harus menjalankan tata cara ibadah yang benar, sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw.  Tuhan yang disembah pun harus jelas, yaitu Allah SWT, bukan sembarangan Tuhan.

Tidak ada cerita sama sekali, Nabi Muhammad saw mengajarkan paham semacam KTAA. Sebab, jelas, iman tidak sama dengan kekufuran; tauhid tidak sama dengan syirik; sunnah tidak sama dengan bid’ah. Justru yang kita temukan, Nabi Muhammad saw aktif mengajak saudara, kaumnya, dan juga seluruh manusia untuk beriman dan berislam. Banyak raja dan tokoh dikirimi surat oleh beliau. Salah satunya, surat kepada Kaisar Roomawi Heraclius berikut ini:

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasul Allah untuk Heraclius Kaisar Romawi yang agung. Keselamatan bagi siapa yang mengikuti petunjuk. Selain itu, sesungguhnya aku mengajak Tuan untuk masuk  Islam. Masuklah Tuan ke dalam Islam,  maka Tuan  akan selamat dan hendaklah Tuan memeluk Islam,  maka Allah memberikan pahala bagi Tuan dua kali dan jika Tuan berpaling,  maka Tuan akan menanggung dosa orang orang Romawi. “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah selain  Allah dan kita tidak menyekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang Muslim”. (QS 3:64).

Jika nabi mengajarkan paham KTAA, sulit dibayangkan para pendakwah Islam rela meninggalkan negeri dan keluarga mereka untuk mendakwahkan Islam ke berbagai penjuru dunia, sampai ke Nusantara ini. Wallahu a’lam bil-shawab. (***)

Leave a Reply