Home Artikel Pendidikan Multikulturalisme Perspektif Islam

Pendidikan Multikulturalisme Perspektif Islam

1676
0

Pembumian wacana multikulturalisme pada ranah pendidikan formal (sekolah) dewasa ini semakin menggeliat. Maraknya gagasan multikulturalisme disertai dengan penyebaran isu pendahuluan:  banyaknya peristiwa bentrokan dan konflik horizontal di tengah masyarakat. Berbagai pihak kemudian menyuarakan gagasan ini lebih keras dan diimplementasikan lebih dini dalam kurikulum pendidikan.

Lebih jauh lagi, kini, paham multikulturalisme mulai diintegrasikan pada ranah pendidikan agama. Alasannya, seperti dikemukakan dalam buku Pendidikan Multikultural; Konsep dan Aplikasi, Pendidikan Agama Islam yang ada saat ini dianggap sudah tidak relevan dan telah gagal menciptakan harmoni kehidupan dan bahkan menjadi pemicu konflik di tengah masyarakat plural (Ngainun Naim dan Achmad Sauqi, 2008:15).

Kementerian Agama RI pun telah menerbitkan sebuah buku berjudul “Panduan Integrasi Nilai Multikultur dalam Pendidikan Agama Islam pada SMA dan SMK” – selanjutnya disingkat Panduan Integrasi. (Diterbitkan dengan kerjasama dengan Asosiasi Guru Pendidikan Agama Islam Indonesia (AGPAII), TIFA Foundation dan Yayasan Rahima).  
Jika ditelisik lebih jauh, penanaman paham multikulturalisme – apalagi dalam ranah Pendidikan Agama Islam – sebenarnya belum didasari oleh kajian dan penelitian yang  mendalam.  Sebab, dalam perspektif Islam, paham multikulturalisme itu perlu ditelaah secara kritis. Berikut ini sejumlah catatan kritis atas multikulturalisme:

Pertama, persoalan makna istilah. Multikulturalisme memiliki rentang definisi yang beragam mulai dari sekedar pengakuan terhadap realitas multikultural masyarakat dunia saat ini; upaya untuk menerima dan menghormati realitas itu; hingga pada pengertian yang merefleksikan relativisme kebenaran dan relativisme agama. Kecenderungan dominan dalam beberapa buku, semisal buku berjudul Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural, istilah ini merefleksikan relativisme kebenaran dan agama. Ini karena, multikulturalisme hakikatnya merupakan kelanjutan dari paham inklusivisme dan pluralisme agama (Baidhawy, 2005: 69 & 117).
Jika pada inklusivisme, integritas agama tertentu masih dipertahankan sekalipun ada pengakuan kebenaran pada yang lain, maka multikulturalisme dalam makna ini bergerak lebih jauh lagi: memungkinkan berbagi agama dengan yang lain. Dalam ide ini terkandung muatan sinkretisme agama. Bahkan,  bukan tidak mungkin,  memunculkan agama baru bernama multikulturalisme.

Kedua, kekeliruan memahami agama Islam. Konsep multikulturalisme mendudukan Islam sebagai agama yang sama dan sederajat dengan agama yang lain. Padahal Islam sebagai agama (ad-din) berbeda dengan agama-agama yang ada di dunia ini. Islam adalah satu-satunya agama wahyu yang sampai sekarang orisinalitasnya terjaga. Dalam istilah Prof. Naquib al-Attas: “Islam is the only genuine revealed religion.” (al-Attas, Prolegomena to the Metaphysic of Islam)

Islam bukan agama budaya dan bukan agama yang dihasilkan oleh proses evolusi budaya. Demikian pula, sistem nilai dan sistem pemikiran Islam bukan semata berasal dari unsur-unsur budaya dan folosofis yang dibantu sains, tetapi berasal dari sumbernya yang asli yaitu wahyu, dikonfirmasi oleh agama serta didukung oleh akal dan intuisi. Islam sebagai agama final dan matang dari sejak diturunkannya, tidak mengenal adanya proses penyempurnaan. Islam berbeda dengan agama-agama lainnya -terutama agama bumi- di dunia ini yang lahir dari sebuah evolusi. Sehingga, ketentuan-ketentuan yang sudah diatur oleh Allah dan Rasul-Nya adalah ketentuan final sebagai syari’at hidup manusia menjalani penghambaan dan pengabdiannya kepada sang Khaliq. Sebagaimana tercantum dalam surat Al-Maidah (5) ayat 3. Sementara agama lain, hanyalah berupa pengalaman spiritual seseorang atau sekelompok orang dalam mencari sisi-sisi transenden untuk melengkapi kekosongan nilai spiritual yang ada dalam dirinya.

Islam juga bukan agama sejarah (historical religion). Islam adalah agama yang mengatasi dan melintasi waktu karena sistem nilai yang dikandungnya adalah mutlak. Kebenaran nilai Islam bukan hanya untuk masa dahulu, namun juga sekarang dan akan datang. Nilai-nilai yang terdapat dalam Islam berlaku sepanjang masa. Islam memiliki pandangan-alam mutlaknya sendiri yang berbeda dengan agama lain. Pandangan-alam (worldview) ini meliputi persoalan ketuhanan, kenabian, kebenaran, alam semesta, dan lain sebagainya.

Ketiga, kekeliruan memahami konsep-konsep penting dalam agama. Pemahaman keliru ini berimbas pada sikap yang tidak tepat dalam mengatasi berbagai problema di masyarakat terkait kehidupan beragama. Konsep-konsep yang dipahami keliru itu seperti konsep Tuhan, konsep Wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits), konsep truth claim (klaim kebenaran agama), toleransi, agama sama dengan budaya, kalimatun sawa, dakwah Islamiyah, dan lain sebagainya.

Sebagai contoh, dalam pemahaman multikulturalisme, klaim kebenaran (truth claim) tidak boleh lagi digaungkan. Mereka beralasan bahwa klaim kebenaran merupakan puncak dari semangat egosentrisme, etnosentrisme, dan chauvinisme. Klaim kebenaran bagi paham ini dianggap sebagai kelainan jiwa yang disebut narsisme (sikap membanggakan dan mengunggulkan diri). Sikap klaim kebenaran inilah yang menurut kalangan penggagas pendidikan multikulturalisme ini yang akan menghasilkan friksi di masyarakat dan menimbulkan konflik. (Choirul Mahfud,2009: 9).

Padahal dalam Islam, mengakui dan meyakini bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang benar dan mempersaksikan keyakinan tersebut dihadapan Allah SWT juga di hadapan manusia lainnya adalah keniscayaan yang harus dilakukan. Selain sebagai bagian dari deklarasi kemusliman serta kesiapan untuk tunduk dan patuh, persaksian tersebut menjadi media dakwah pada manusia yang lain untuk sama-sama beriman dan berislam. Islam mengajarkan prinsip hidup toleran tanpa harus meniadakan kebenaran prinsip yang dipegang. Toleransi dalam Islam bukan berarti sepakat, setuju, membenarkan ajaran agama lain, melainkan menghormati pemeluk dan ajaran agama lain sesuai proporsinya. Proses saling menghargai dan menghormati ini dilakukan sambil menegakkan prinsip ajaran agama, nilai-nilai agama, dan kewajiban berdakwah dalam bingkai-bingkai yang dianjurkan oleh agama itu sendiri.  

Keempat, kekeliruan memahami budaya dan kesederajatan. Konsep multikulturalisme tidak dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman suku bangsa atau kebudayaan yang menjadi ciri masyarakat majemuk (plural society). Karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. (Choirul Mahfud, 2009: 95).

Pemahaman seperti ini mengharuskan masing-masing budaya manusia atau kelompok etnis diposisikan sejajar dan setara. Tidak ada yang lebih tinggi dan tidak ada yang lebih dominan. Karena semua kebudayaan pada dasarnya mempunyai kearifan tradisional yang berbeda-beda. Kearifan-kearifan (baca: ajaran, nilai-nilai, kandungan, dan lain-lain) tersebut tidak dapat dinilai sebagai positif-negatif dan tidak dapat dijelaskan melalui kacamata kebudayaan yang lain. Hal ini disebabkan oleh sudut pandang dan akar baik-buruk dari setiap kebudayaan mempunyai volume yang berbeda pula.

Budaya versi kalangan ini tidak terbatas dalam bidang seni, tetapi mencakup segala hal yang menjadi proses dan produk sebuah komunitas, meliputi agama, ideologi, sistem hukum, sistem pembangunan, dan sebagainya. (Choirul Mahfud, 2009: 205). Kalangan multikulturalis memaknai budaya secara luas, bahkan termasuk agama di dalamnya. Maka, agama Islam, Kristen, hindu, budha, jawa, sunda, batak, kapitalisme, sosialisme, dan berbagai produk komunitas lainnya adalah budaya dan posisinya sejajar dan sederajat. Islam tidak dapat menyalahkan agama lain, tidak dapat menilai baik atau buruk agama lain karena posisinya sama. Begitu pula, Islam tidak boleh mengklaim sebagai satu-satunya agama yang benar disisi Tuhan karena hal demikian akan mencenderai semangat toleransi dalam bingkai multikulturalisme.

Paham ini tidak membedakan antara budaya baik dan budaya buruk karena semuanya dalam bingkai kesederajatan. Sementara agama Islam tidaklah demikian. Islam memandang tinggi budaya baik dan memandang rendah budaya buruk. Jadi dalam Islam, persoalan budaya pun tetap dibingkai oleh nilai-nilai Ilahi yang sifatnya mutlak dan harus jadi pedoman untuk menakar kualitas budaya individu maupun kelompok.

Bahaya lebih jauh adalah persepsi bahwa budaya bukanlah suatu kemutlakan yang harus dipertahankan, termasuk agama di dalamnya. Budaya dipahami sebagai sebuah gerak (move) kreatifitas masyarakat yang dibangun oleh gerakan prinsip-prinsip yang berbeda yang kemudian membentuk sebuah kesepakatan bersama tentang nilai, pandangan, dan sikap masyarakat (reinventing). Dalam arti, budaya tumbuh dan berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat itu sendiri yang tentunya dipengaruhi oleh faktor ekstern yang mengelilingi kehidupannya (Wahid, 2001: 77).

Jika pemahaman ini diaplikasikan, maka yang terjadi adalah agama dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya bukanlah sesuatu yang mutlak dan final. Nilai-nilai atau kandungannya akan dan harus selalu berevolusi seiring sejalan dengan evolusi masyarakat yang berbeda dari waktu ke waktu. Jika demikian yang terjadi, sendi-sendi ajaran agama khususnya Islam lambat laun akan hilang dan punah. Terganti oleh nilai-nilai kreatif buatan manusia yang justeru akan membahayakan eksistensi kemanusiaannya itu sendiri dan eksistensi kehidupan secara keseluruhan.

Kelima, agenda buruk globalisasi. Pendidikan multikulturalisme dalam ranah agama patut diduga merupakan agen taktis untuk memuluskan penjajahan nilai-nilai sekular-liberal di era globalisasi. Nilai-nilai sekular-liberal dapat mengikis dan menghancurkan pemikiran dan keimanan umat Islam. Globalisasi bukan hanya melahirkan penjajahan ekonomi tetapi juga penjajahan pemikiran, budaya, nilai dan tradisi.

****
Lebih jauh lagi, gagasan multikulturalisme ini dengan tegas menyatakan bahwa negara sekuler-liberal merupakan jawaban atas keberagaman agama seperti yang terdapat di Indonesia. Yang demikian karena menurut mereka negara sekular-liberal posisinya netral dan mampu memberikan equal opportunity kepada keanekaragaman agama.
Pendidikan multikulturalisme dalam ranah agama dapat mengikis keyakinan beragama umat Islam yang benar yang bersumber dari al-Qur’an dan as-Sunnah. Keyakinan tersebut diubah dengan pemahaman keagamaan yang semata-mata rasional, memenuhi dimensi sosiologis dan antropologis manusia semata. Maka, ketika proses ini berhasil dijalankan, akan memudahkan kalangan sekular-liberal untuk melanjutkan cengkraman penjajahan peradabannya kepada negeri-negeri Muslim.

Jika konsep pendidikan multikulturalisme seperti hasil temuan penulis yang diutarakan di atas, maka pendidikan ini akan sangat berbahaya pagi siswa didik muslim. Dengan paham semacam ini, peserta didik dijauhkan dari tujuan pendidikan itu sendiri. Pendidikan agama Islam sejatinya adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, mengimani, bertaqwa, berakhlak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci Al-Qur’an dan al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran latihan, serta penggunaan pengalaman. (Ramayulis, 2010: 21).  

Pendidikan agama dalam Islam adalah pendidikan agama yang berbasis tauhidullah dilandasi oleh semangat beribadah dan semangat dakwah dalam setiap dimensi kehidupan manusia. Dalam Islam, seluruh perbuatan manusia termasuk pendidikan, dibingkai oleh motivasi penyerahan total dirinya sebagai hamba Allah dan khalifatullah. Inilah hakikat pendidikan dalam pandangan alam Islami yang perlu diejawantahkan dalam dunia pendidikan dewasa ini.

Secara konseptual dan fakta sejarah, Tauhid Islam senantiasa sinergi dengan kerukunan. Karena itu – berbeda dengan kondisi di dunia Barat – wacana multikulturalisme tidak menduduki tempat penting. Maka, seyogyanya, para cendekiawan Muslim tidak mudah hanyut dalam gegap gempita paham-paham baru yang dapat berdampak negatif pada pemahaman Islam yang benar. Wallahu’alam bil-shawab.***

Leave a Reply