Home Artikel Pendidikan Karakter Barat

Pendidikan Karakter Barat

5984
1

Oleh : Dr. Dinar Dewi Kania (Peneliti Insists)

Fritjof Capra seorang ilmuwan Barat  mengungkapkan kegelisahannya. Menurutnya saat ini,  ahli-ahli dalam berbagai bidang tidak lagi mampu menyelesaikan masalah-masalah mendesak yang muncul dalam bidang keahlian mereka. Para ekonom tidak mampu lagi memahami inflasi, Onkolog bingung tentang penyebab kanker; psikiater dikacaukan oleh schizofrenia,  dan polisi semakin tidak berdaya oleh semakin tingginya tingkat kriminalitas. (Fritjof Capra, Titik Balik Peradaban; Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan, cetakan keenam, Jakarta : Bentang Pustaka, 2004, hal. 8)

 

Problematika sosial tersebut akhirnya  memunculkan pemberontakan-pemberontakan dalam masyarakat modern.  Barat kemudian berusaha mengembangkan pendidikan nilai atau karakter   yang berorientasi kepada nilai, etika dan moralitas yang diharapkan dapat  memunculkan manusia-manusia yang  humanis.

Pendidikan karakter dikembangkan oleh Barat karena mereka percaya, sekolah memiliki peranan  penting dalam membentuk dan memperkuat karakter dasar  yang akan mendukung terciptanya  masyakarat yang baik.  Namun menurut James Arthur dalam bukunya Education with Character, berbicara tentang pendidikan karakter berarti masuk ke dalam wilayah yang rawan dengan pertentangan, yaitu pertentangan antar definisi dan ideologi.  Hal tersebut tentunya tidak mengherankan karena pendidikan  karakter  di Barat dikembangkan dan bersumber dari nilai-nilai budaya.  Nilai dalam kaitannya dengan budaya, merupakan ide tentang apa yang baik, buruk, dan memadai. Menurut para ahli sosiologi Barat,  nilai (value) dan moralitas tidak bersifat universal, namun beragam atau berbeda-beda  di tiap kultur sosial.  Premis tentang nilai pun muncul dan berubah sesuai dengan perubahan meta-ideologi dari lingkungan tempat nilai tersebut muncul. Sebagai contoh,   apabila sebuah masyarakat  lebih dominan kepada agama akan condong kepada nilai-nilai supranatural, sedangkan apabila nilai lebih berorientasi pada pada ekonomi pasar, maka moral akan cendrung kepada uang, pendapatan dan kekayaan.(Hitlin, Steven dan Stephen Vaisey (ed),  Handbook of The Sociology of Morality, New York : Springer, 2010, hal. 126)

                Peradaban Barat modern  menganggap nilai  sebagai produk rasionalitas  individu-individu, namun ketika nilai berada dalam konteks sosial dan budaya, maka nilai diartikan sebagai konsensus bersama sekelompok manusia. Sebagaimana pandangan Weber, salah seorang tokoh sosiologi Barat,  yang menyatakan bahwa nilai itu ada secara objektif dalam subjektivitas manusia dan murni menjadi milik dari pribadi-pribadi. (Ibid, hal. 39).

Dengan itu, konsepsi Barat tentang nilai, moral, dan etika bersifat relatif dan  sangat berbeda bahkan bertentangan antara satu dengan yang lainnya. Konsep tentang apa yang disebut baik dan buruk merupakan kancah pertarungan pemikiran yang tak pernah henti dari filosof-filosof Barat, sejak jaman Yunani sampai hari ini.   Dari pendidikan yang berorientasi kepada etika Kristen sebagaimana pemikiran Thomas Aquinas, kemudian berubah menjadi paham materiasme yang dikembangkan Decartes. Sejak saat itu, ilmu diaggap sebagai value free atau bebas nilai sehingga pendidikan di Barat dikembangkan “tanpa” nilai.  Moral, etika, agama, kemudian dijauhkan dari kurikulum dengan harapan manusia dapat lebih cerdas dan kreatif dalam menciptakan dan berinovasi di bidang sains dan teknologi.

                Hal tersebut  merupakan konsenkuensi dari sekularisasi yang melanda Eropa setelah hilangnya kepercayaan masyarakat Barat terhadap kepempinan gereja. Sekularisasi menyebabkan  pengukuran baik-buruk, benar-salah,  semata-mata dilakukan melalui rasio dan pengalaman indera manusia. Masyarakat Barat pada akhirnya menganggap nilai-nilai agama merupakan fenomena subjektif yang dialami oleh masing-masing individu dan tidak bersifat universal.   Konsepsi nilai dalam peradaban Barat  terus berevolusi sesuai dengan tuntutan jaman akibat ketiadaan nilai absolut yang bersumber dari wahyu yang mengatur kehidupan masyarakat dan menjadi rujukan moralitas. Konsep nilai berkembang sesuai dengan konsepsi masyarakat Barat terhadap hakikat manusia, agama dan ilmu serta kehidupan itu sendiri. Perkembangan konsep nilai ini  menunjukkan betapa Barat tidak pernah akan berhenti  merumuskan nilai-nilai  yang dianggap baik bagi kehidupan masyarakatnya. Sejarah memperlihatkan perubahan  radikal konsep nilai di Barat, dimulai dari penerimaan pada etika moral gereja, sampai akhirnya berujung kepada penghapusan unsur-unsur metafisika dalam etika moralnya. Dahulu gereja mengharamkan tindakan homoseksual karena tidak sesuai dengan nilai etika agama tersebut, namun  saat ini dunia menyaksikan  seorang homoseksual telah diangkat  menjadi Uskup di Gereja Angllikan, New Hamshire pada tahun 2003 lalu. 

                Hal tersebut tentunya berbeda dengan pendidikan karakter dalam Islam yang menekankan pada  konsep adab. Islam berbeda dengan Barat, mempunyai teladan manusia yang mempunyai karakter sempurna, yaitu Rasulullah saw.   Konsep adab dalam Islam  terkait  dengan  keyakinan  bahwa dalam melakukan tindakan, manusia mempunyai rujukan yang utama yaitu wahyu Allah  swt dan sunnah Nabi-Nya. Konsep pendidikan karakter yang bercorak sekuler-liberal tidak mungkin dapat mencetak manusia-manusia beradab. Menurut Prof al-Attas, prinsip etika yang sejati dan universal hanya dapat dibangun oleh jiwa manusia yang bersifat spiritual. Yaitu ketika jiwa mendapatkan ilmu yang benar dari Tuhannya.  Sehingga merupakan sesuatu yang memprihatinkan apabila umat Islam masih percaya bahwa  etika  universal  dapat dibangun menggunakan framework  Barat modern yang menganggap  Tuhan dan jiwa  tidak memiliki objektivitas dan nilai ilmiah sebagai sumber ilmu.*

 

1 COMMENT

  1. Lalu bagaimana kita harus menyikapinya?
    Dan yang penting bagaimana menjauhkan diri dari pengaruh buruk budaya barat tersebut?
    Bagus juga pertanyaan tersebut untuk topik bahasan artikel selanjutnya. :D

Leave a Reply