Home Artikel Pembaruan Ala Syahrur

Pembaruan Ala Syahrur

862
0

Tajdid bukan asal membuat yang baru. Tajdid bukan merusak pemikiran dan metodologi ijtihad yang shahih. ”Pembaruan” yang asal baru, bisa berujung pada bid’ah, membuat perkara baru yang bathil dalam Islam. Salah seorang pegiat pembaruan yang sangat kontroversial, misalnya, adalah pembaruan ala Muhammad Syahrūr, asal Syria. Ia melakukan pembacaan Al-Qur’an dengan menggunakan metode linguistik-historis-ilmiah (al-manhaj al-lughawī al-tārikhī al-‘ilmī) dengan menggunakan linguistika modern dengan tetap bersandar pada syair-syair jahiliyyah. (Syahrūr: 1990).

Pendekatan linguistiknya menuai kritik karena di banyak tempat ia melakukan kesalahan. Sebagai contoh, Syahrūr menyatakan bahwa Al-Qur’ān berasal dari kata istiqrā’ (eksplorasi). Syahrūr jelas keliru. Tidak mungkin kata “tsulātsī mujarrad” (qara’a-qur’ān) diambil dari tsulātsī mazīd (istiqrā’).  (Mahir al-Munajjid: 1994). Oleh karena itu, Yusuf al-Shaidawi misalnya, ia mengarang buku baidhat al-Dīk (telur ayam jantan),  sebagai analogi bahwa Syahrūr tidak pernah benar dalam menjelaskan asal-usul bahasa, kecuali dalam satu kasus, yakni al-Kitāb berasal dari kataba. (al-Shaidawi: tt)

Dengan metode linguistik-historis-ilmiahnya tersebut, Syahrūr melakukan beberapa langkah yang berakhir dengan dekonstruksi hukum Islam. Pertama, menafikan al-Sunnah sebagai wahyu kedua. Ia menganggap sunnah rasul SAW. sebagai pemahaman awal terhadap Al-Qur’ān. (Syahrur: 2000). Oleh karenanya, keputusan hukum akan senantiasa berubah sesuai dengan perubahan ruang dan waktu. Dalam hal ini, Syahrūr melanggar iman kepada rasul Allah dan syahādah ”Muhammad Rasūlullāh”.

Kedua, keyakinannya kepada anti sinonimitas istilah dalam al-Qur’an. Misalnya ia membedakan al-hanafiyyah yang diartikannya gerak berubah dan al-istiqāmah (lurus tetap). Menurutnya, al-hanafiyyah berlaku untuk ayat-ayat hukum. Dengan kata lain hukum akan selalu berubah. Padahal kata hanīf di dalam Al-Qur’an (misalnya QS. [2]: 135) ataupun di dalam kamus (Tājul Urūs, Lisān ’Arab, al-Muhīth, Maqāyis al-Lughah) menunjukan arti tetap, lurus, dan istiqamah.

Ketiga, memaparkan tiga teori filsafat dalam menginterpretasi ayat-ayat ahkām, yakni kondisi berada (kaynūnah), kondisi berproses (sayrūrah), dan kondisi menjadi (shayrūrah). Dengan relasi ketiga kondisi ini, dalam hubungannya dengan ayat-ayat hukum, akan melahirkan hukum yang akan terus berubah-ubah mengikuti perkembangan masa ke masa. Syahrūr menyebut kondisi perubahan hukum ini dengan hukum dialektika negatif. Dalam hal ini Syahrūr tidak memperhatikan aspek ayat yang qath’ī dan zhannī al-dilālah yang disepakati para ’ulama. Dimana ayat qath’ī al-tsubūt hanya dipahami dengan satu tafsir.

Keempat, melahirkan teori aplikatif, nazhariyyah al-hudūd (teori batas) yang meliputi enam bentuk. Diantaranya, bentuk  keempat menyatakan ketentuan batas bawah dan atas berada pada satu titik atau tidak ada alternatif lain dan tidak boleh kurang atau lebih. Berlaku pada hukum zina dengan seratus kali jilid (QS. [24]: 2). Sedang bentuk kelima adalah  ketentuan yang memiliki batas bawah dan atas sekaligus, tetapi keduanya tidak boleh disentuh, jika menyentuhnya berarti telah melanggar aturan Tuhan. Berlaku pada hubungan laki-laki dan perempuan. Jika antara laki-laki dan perempuan melakukan perbuatan mendekati zina tetapi belum berzina, maka keduanya belum terjatuh pada batas-batas hudūd Allah.

Teori batas pada bentuk keempat dan kelima tersebut, Syahrūr melanggarnya sendiri dengan mengeluarkan ”fatwa” pada tahun 2008 dengan menyatakan bahwa ”kumpul kebo” adalah halal secara syar’i, karena hal itu pengganti dari pernikahan. (www.hidayatullah.com publikasi 29-01-2008).

Oleh karena itu, konsep pembaruan Syahrūr, mulai dari dasar metodologi, langkah pertama, kedua, ketiga, dan keempat dinyatakan gagal, baik secara syar’i maupun ilmiah. (***)

Leave a Reply