Si kecil itu tidak banyak bermain. Jika ia bermain terlalu lama dengan kawan-kawannya, ayahnya selalu mengingatkan,”Jangan lupa belajar nak, PR nya sudah dikerjakan belum?” Mendapat teguran ayahnya seperti itu, ia pun segera pulang. Tapi ia tidak belajar karena paksaan. Ayah ibunya memang telah mendidiknya untuk cinta buku di rumahnya..
Hampir saban malam ia mengaji di surau dekat rumahnya. Di rumah, ibunya selalu mengingatkan membaca Al Qur’an. “Sewaktu kecil, saya membaca Al Qur’an dengan ibu,” kenang Nirwan. Ia bersyukur di waktu kecil acara-acara TV tidak mengganggu belajarnya, karena saat itu yang ada hanya TVRI. “Saya hanya nonton di hari minggu dan itupun bareng-bareng dengan tetangga,” kisahnya.
Begitu pula bila Ramadhan tiba. Orang tua selalu mengajaknya untuk rajin-rajin shalat di malam-malam penuh barakah itu. “Kita sering nunggu berjaga-jaga malam lailatul qadar,” ujarnya kepada Islamia-Republika.
Tradisi ngaji memang begitu kuat di kampungnya saat itu. Ketika duduk di bangku Tsanawiyah (SMP), Nirwan kecil sudah mengaji ”kitab kuning” di surau desanya, Tanjang Balai-Asahan. Saat menginjak bangku Aliyah, Nirwan pindah ke Padang Panjang, masuk ke Madrasah Aliyah Program Khusus. Tapi ia tidak puas sekolah di situ, karena materi pendidikan Islamnya mengulang seperti di Tsanawiyah. Ia pun memutuskan pindah ke Madrasah Muallimin al-Washliyah di Medan. Di situ ia merasa nyaman, karena ia mendapat pelajaran yang selama ini ia cari.
Di al-Washliyah ia mendapat pendidikan bahasa Arab yang bagus. Di situ ia sudah mengkaji kitab nahwu Syarah Ibnul Aqil, Minhajut Thalibin, Tafsir Jalalain, al-Luma’ dan lain-lain. Lulus dari Madrasah Aliyah, ia mendaftar ke Universitas al Azhar lewat tes di Departemen Agama. Niwar diterima. Tapi, karena orang tuanya kurang mampu, ia tidak sanggup pergi ke Mesir. Ia tidak mempunyai bekal yang cukup untuk bolak-balik Jakarta dan pergi Mesir.
Gagal melanjutkan kuliah di Al Azhar ia tidak putus asa. Ia terus mencari informasi kuliah di luar negeri. Kebetulan ia membaca sebuah majalah Islam tentang universitas Islam di Malaysia yang namanya sedang bersinar di Indonesia, Universitas Islam Antarbangsa atau International Islamic University Malaysia (IIUM). Lewat gurunya di Aliyah, Nizar Syarief ia dikenalkan dengan Ustadz Umar Thabii di Malaysia.
Dari situlah ia kemudian masuk IIUM. Tahun 1992 ia resmi menjadi mahasiswa dan harus mengambil matrikulasi bahasa Arab dan bahasa Inggris. Pendidikan bahasa Arabnya yang baik sedari tsanawiyah, menjadikan dosen-dosen di IIUM, sering memuji kebagusan bahasa Arabnya. Beasiswa dari IIUM menjadikan Nirwan betah kuliah di sana mengambil sarjana S1 dan program Master.
Nirwan mendapat gelar dua sarjana muda ketika S1. Bachelor dalam Human Sciences (Philosophy) dan Bachelor dalam Islamic Revealed Knowledge and Heritage. Ketika S2 ia menyelesaikan Master dalam Islamic Revealed Knowledge dengan tesis tentang pemikiran keagamaan Nurcholish Madjid dan Abdurrahman Wahid.
Mengambil program doktor ia pindah kuliah ke ISTAC-IIUM yang saat itu dipimpin oleh Prof Naquib al Attas dan wakil-nya, Prof Wan Mohd Nor Wan Daud. Nirwan ingin lebih mendalami pemikiran Islam. “Pendidikan Islam di ISTAC lebih serius lagi. Dari segi ruangan kuliah dan bangunannya saja sudah terlihat. Saya harus mengambil 16 mata kuliah ketika S3 di sana,” paparnya. ISTAC juga menyediakan bagi mahasiswa pascasarjanya, pelajaran bahasa Inggris, Arab, Jerman, Latin, Turki dan lain-lain.
Mengenang pendidikan di ISTAC, laki-laki kelahiran 18 September 1972 ini bertutur: “Saya mendapatkan framework dalam berfikir. Prof Alatas memberikan confidence kepada kita dan kita merasakan kenyamanan dalam agama kita dan bangga dengan warisan Islam serta relevansinya dengan dunia kontemporer saat ini.”
Sewaktu kuliah di S2 dan S3, Nirwan harus kerja keras membiayai hidupnya sehari-hari. Karena ia hanya mendapat beasiswa uang kuliah (SPP) saja. “Kerja yang dikerjakan cukup banyak, dari kerja yang memerlukan kekuatan fisik sampai yang mengandalkan intelektual. Saya pernah kerja di perpustakaan, di research centre, yang paling lama menjadi research assisstant Prof. Hashim Kamali,” kenangnya.
*****
Pada 28 April 2010 lalu, Nirwan meraih gelar doktornya dalam bidang pemikiran Islam. Ia berhasil lulus dengan predikat excellent, setelah mempertahankan disertasinya yang berjudul : “A Critique of Reason in Contemporary Arab Philosopical Discourse with Special Reference to Muhammad Abid al Jabiri”. Para pengujinya adalah Prof Dr Abdel Rahim (Profesor Pemikiran Politik di ISTAC-IIUM), Prof Dr Fachruddin Abdul Mukti (Head Department of Islamic Studies, Universities Malaya). Dua profesor lain yang mengujinya adalah Assoc Prof Dr Nasruddin dan Prof Dr Muhammad Zuhdi Abdul Majid. Disertasinya dinyatakan lulus tanpa koreksi.
Disertasi Nirwan ini dikatakan Prof. Dr. Muddathir Abdel Rahim, salah satu penguji asal Sudan, sebagai sebuah disertasi yang sangat baik. Lebih jauh, kata Prof. Muddathir: ”In general, this is a very good thesis. The candidate has chosen an important topic for his thesis. He has read widely and intelligently the various aspects of the topic in question and has demonstrated good ability in analyzing and evaluating the many issues involved.”
Kepada mahasiswa dan santri-santrinya, Nirwan sering berpesan, “Dalam belajar diperlukan kesabaran dan ketabahan di samping tentunya ketekunan dan kerajinan.” Memang, selain mengisi undangan diskusi dan seminar, Dr. Nirwan juga mengajar di program pascasarjana Universitas Ibn Khaldun Bogor, Universitas Muhammadiyah Surakarta, dan Program Kader Ulama ISID Gontor. Disamping itu, lelaki Batak berputra satu ini, sehari-harinya juga diamanahi mertuanya, K.H. A. Cholil Ridwan, salah satu Ketua MUI, untuk mengelola Pesantren Husnayain di Sukabumi. “Saya ingin mewujudkan satu pendidikan Islam yang ideal, yang menghasilkan lulusan yang baik menurut Islam.”
Prof. Dr. Wan Mohd Nor Wan Daud, salah satu guru Dr. Nirwan di Malaysia, memberikan nasehat khusus kepada Dr. Nirwan, agar menjadi ilmuwan Muslim yang selalu ikhlas dan sabar dalam memikul tugas para anbiya’. Menjadi ilmuwan Muslim, pesan Prof. Wan Mohd Nor, ”Bukan untuk disanjung manusia, terutama yang sesat; atau untuk berbantah dengan yang jahil dan degil; atau untuk mengemis kepada yang kaya, dan takut kepada penguasa; dan juga jangan cemburu dengan kemasyhuran dan kejayaan ilmuwan duniawi atau ulama su’ (ulama jahat).!”