NAMA lengkapnya Muhammad Zuhdi Safari. Sekarang, di kawasan Batumarta, dia biasa dipanggil Mbah Safari. Usianya terbilang sudah sangat lanjut, yakni 78 tahun. Mbah Safari dikaruniai 7 anak, 20 cucu, dan 1 cicit. Di usianya yang setua itu, ia masih aktif mengajar. Di pesantren Luqmanul Hakim, Mbah Safari mengajar Ilmu Tajwid dan Qishashul Anbiya. Berbagai aktivitas pengajian juga masih terus dihadirinya.
Mbah Safari termasuk generasi awal para mujahid yang mengembangkan dakwah Islam di lokasi Transmigrasi Batumarta. Ia bertransmigrasi tahun 1976. Ketika itu, dia sudah menjadi pegawai negeri sipil (PNS), dan sudah menjadi guru selama 20 tahun di daerah Bumiayu, Jawa Tengah. Pendidikan formalnya ditempuh di SPG. Pernah juga mengambil D-1 Bahasa Indonesia dan selama tiga tahun kuliah di Perguruan Tinggi Dakwah Islam (cabang) Purwokerto. Perguruan Islam PTDI didirikan oleh Letjen TNI Purn Sudirman, ayah dari Basofi Sudirman, yang pernah manjabat Gubernur Jawa Timur.
“Sejak awal, niat saya bertransmigrasi, disamping untuk urusan ma’isyah, juga untuk dakwah,” kata Mbah Safari. Dunia dakwah bukan hal asing baginya. Selama aktif sebagai guru di daerah Bumiayu, Safari juga sudah aktif sebagai dai Muhammadiyah. Ia sering berkeliling dari kampung ke kampung, menyampaikan dakwah ke masyarakat.
Barangkali, karena naluri dakwah yang sudah melekat dalam dirinya itulah, maka saat menjabat Kepala Sekolah SDN Batumarta 2, Safari tidak bisa menerima begitu saja, tatkala ada pihak misi Kristen yang mengedarkan selebaran tentang Kristen dan Yesus ke rumah dan sekolah orang Muslim. Ia berusaha menjawab selebaran itu dengan edaran tertutup. Itupun hanya diedarkan ke sekitar 16 Gereja dalam amplop tertutup, melalui pos. “Saya tergerak untuk membalas selebaran itu,” kata Safari.
Surat setebal enam halaman yang ditujukan kepada kaum Kristiani itu diambil dari buku Isa dalam al-Quran dan Muhammad dalam Injil. Judul edaran itu ialah: ”Hadiah Natal dan Tahun Baru.” Menurut Mbah Safari, melalui surat itu, ia ingin memberikan pelajaran, bahwa seharusnya kaum misi Kristen itu memahami, intervensi pada agama lain itu tidak boleh. “Jadi, itu untuk membalas saja,” Mbah Safari kembali menekankan.
Tapi, sekitar 15 hari kemudian, suatu malam, Safari didatangi seorang petugas. Katanya, mereka, Safari diundang untuk musyawarah di kantor aparat keamanan. Ternyata, musyawarah itu tidak pernah ada. Esoknya, Safari tidak diperbolehkan pulang. Ia harus menginap selama 60 hari. Setelah itu, barulah dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Selama 60 hari itu, setiap hari keluarganya datang mengantar makanan. “Saya rasakan waktu itu seperti main-main saja,” papar Mbah Safari.
Sebagai seorang aktivis dakwah yang sudah terbiasa berkecimpung di tengah umat, Safari dengan cermat mengamati perkembangan misi Kristen di daerah transmigrasi, khususnya Proyek Tegalarum yang secara aktif menyebarkan misi di daerah Transmigrasi. “Alhamdulillah, bisa dikatakan, misi mereka gagal untuk mengkonversi agama penduduk transmigran,” kata Safari.
Safari tidak rela dikatakan bersalah dalam tindakannya. Melalui kuasa hukumnya, Askodar, ia terus melakukan banding sampai kasasi. Di tingkat kasasi itulah, Safari diputus bebas. Ia dinyatakan tidak bersalah. Akhirnya, Safari bisa menarik nafas lega. Sebenarnya, ia sudah menerima salinan pemgangkatan dirinya sebagai penilik sekolah. Tapi, setelah diurusnya sampai ke Palembang bahkan ke BAKN, SK pengangkatan dirinya itu tidak diteruskan padanya. Akhirnya, Safari memilih bertugas di bagian perpustakaan sebuah SMA Negeri. Pada saat usianya mencapai 55 tahun, ia memilih mengajukan pensiun dan aktif secara penuh berdakwah di tengah masyarakat. Diantaranya, ia aktif di Majlis Tabligh dan Majlis Tarjih Muhammadiyah.
Bersama Safari, ada empat orang lagi yang ditahan berkaitan dengan edaran Natal dan Tahun Baru tersebut, yakni Suryadi, Ahmad Ramadhan, Sodirin dan Zainuddin. Disamping merupakan sebuah ujian bagi kehidupan dan dakwah, kehadiran mereka di penjara justru menjadi berkah. Di lembaga pemasyarakatan itu, mereka bisa aktif mengajar mengaji dan berkhotbah.
Rintisan dakwah dari para mujahid dakwah itulah yang kini membuahkan hasil. Di daerah Batumarta sekarang sudah berdiri tujuh pondok pesantren. Dulunya, warga transmigrasi rata-rata berpendidikan rendah; 80 persen lulusan SD; yang SMP dan SMA hanya 10 persen. Sampai tahun 1983, yang sarjana baru lima orang. Sekarang, putra-putra transmigran banyak yang mengenyam pendidikan sampai jenjang S1 dan S2. Tapi, ada aspek lain yang diprihatinkan Mbah Safari. Banyak sarjana agama dan sarjana dakwah yang dilihatnya kurang bersemangat berdakwah di tengah masyarakat, tetapi lebih bersemangat menjadi pegawai.
Sebagaimana Suryadi, Mbah Safari terus menjalani aktivitas dakwahnya dengan bersemangat. Usianya yang sudah sangat lanjut tidak menghalanginya untuk belajar dan mengajar. Para mujahid dakwah seperti inilah yang sebenarnya menjadi tonggak tegaknya Islam di Nusantara. Berbagai upaya untuk memurtadkan umat Islam, meskipun di dukung dengan dana yang sangat besar, tetapi berhasil dihambat; bahkan cahaya Islam justru bersinar di daerah yang dulunya tidak berpenduduk ini.
Kehidupan dan perjuangan Mbah Safari – sebagaimana Suryadi – adalah sebuah keteladanan. Mereka belajar dan mengamalkan ilmunya di tengah masyarakat. Mereka tidak menumpuk-numpuk ilmu untuk kepentingan duniawi. Kehidupan mereka dipenuhi dengan nafas perjuangan yang tiada henti. Semangat jihadnya terus mengalir. Bukan hanya bicara, tetapi berbuat terus-menerus demi kejayaan Islam.
Kisah perjuangan Suryadi, Safari, Ramadhan, dan sebagainya di Batumarta mengandung hikmah yang sangat besar bagi perjalanan dakwah Islam di Indonesia. Dunia pendidikan, dakwah, dan jihad dipadukan menjadi satu. Belajar dan mengajar dimaknai sebagai suatu aktivitas jihad fi sabulillah.
Rasulullah saw bersabda: “Jahidil-mushrikina bi-amwalikum wa-anfusikum wa-alsinatikum”. (Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan hartamu, jiwamu, dan lisan-lisanmu). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa’i, Ahmad, al-Darimi, dengan sanad yang sangat kuat. Ibn Hibban, al-Hakim, and an-Nawawiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih.
Perjuangan Islam sejatinya merupakan sebuah proses yang simultan dalam menghadapi berbagai masalah kehidupan. Karena itu, perjuangan yang ideal perlu memadukan dan mensinergikan berbagai aspek, yakni aspek keilmuan, kejiwaan, harta benda, dan sebagainya. Jihad melawan hawa nafsu atau berjuang dalam bidang keilmuan dan pendidikan, tidak perlu dipertentangkan dengan jihad melawan musuh dalam arena peperangan secara fisik. Semua perlu dipadukan, sebagaimana telah dilakukan di zaman Rasulullah saw, saat Perang Salib, dan berbagai medan jihad lainnya, sehingga kaum Muslim berhasil mengukir kemenangan yang gemilang dalam berbagai arena perjuangan.
Rasulullah saw menekankan pentingnya kaum Muslimin melakukan jihad secara komprehensif, dengan menggunakan berbagai potensi yang dimiliki, baik harta, jiwa, maupun lisan. Dalam arena perjuangan, atau arena jihad, sebenarnya tiga aspek: harta, jiwa, dan lisan, saling terkait satu dengan yang lain. Peperangan fisik adalah salah satu bagian dari sebuah perjuangan yang luas dan panjang antara al-haq dan al-bathil.
Bahkan, dalam hadits lainnya, Rasulullah saw juga menekankan pentingnya jihad melawan hawa nafsu. Rasulullah saw bersabda: “Al-Mujahid man jahada nafsahu fi-Allah ‘Azza wa-Jalla”. (Mujahid adalah seseorang yang melakukan jihad melawan hawa nafsunya di jalan Allah). Al-Iraqiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih, dan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi.
Jadi, dalam arena perjuangan atau arena jihad, kaum Muslim sebenarnya diminta untuk menggabungkan seluruh kemampuan atau potensi – baik potensi jiwa, harta, maupun lisan (intelektual) dan menempatkan masing-masing pada proporsi yang sebenarnya. Kapan kekuatan fisik digunakan, kapan kemampuan intelektual, dan kapan potensi harta benda diperlukan. Semua itu harus dilandasi dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Semua potensi jihad itu tidak bisa digunakan jika manusia dikuasai oleh hawa nafsunya. Maka, perang melawan hawa nafsu secara otomatis menjadi faktor penting dalam bentuk-bentuk perjuangan lainnya. Jika kaum Muslim mampu menggabungkan semua potensi tersebut, maka dalam sejarahnya, kaum Muslim mampu tampil sebagai umat yang hebat, gemilang dan terbilang. Jika potensi itu terpecah belah dan tidak teratur dengan baik, maka kekalahan menimpa kaum Muslimin.
Sepeninggal Rasulullah saw, umat Islam ditinggali dua perkara, yang jika keduanya dipegang teguh, maka umat Islam tidak akan tersesat selamanya. Keduanya, yakni, al-Quran dan Sunnah Rasululullah. Tapi, disamping itu, Rasulullah saw juga mewariskan para ulama kepada umat Islam. Ulama adalah pewaris nabi. Ulama-ulamalah yang diamanahkan untuk menjabarkan, mengaktualkan, membimbing, menerangi, dan memimpin umat dalam bidang kehidupan.
Peran para ulama sebagai pelanjut perjuangan Nabi Muhammad saw itulah yang perlu mendapatkan perhatian serius dari umat Islam. Umat Islam harus memperhatikan masalah kualitas dan kuantitas ulama. Jika melanjutkan perjuangan Rasulullah saw adalah merupakan suatu kewajiban, maka tentunya, mewujudkan ulama sebagai pewaris Nabi adalah juga suatu kewajiban. Ulama tidaklah turun dari langit. Ulama muncul melalui proses pendidikan. Karena itu, ulama bisa dilahirkan dan bisa dibentuk. Dalam perspektif inilah, pentingnya umat Islam, khususnya lembaga-lembaga pendidikan Islam perlu menyadari tugas mereka sebagai institusi yang bertanggung jawab untuk melahirkan ulama.
Adalah musibah dan fitnah besar, jika dari institusi Pendidikan Islam justru lahir ulama-ulama jahat (ulama su’) yang bodoh atau yang buruk akhlaknya. Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk buku Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan “Kitab” dan “Besi” sebagai sarana untuk tegaknya agama Allah. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergukan besi) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS al-Hadid: 25).
Kasus Batumarta menunjukkan, bagaimana para mujahid dakwah telah meletakkan rintisan yang sangat besar dalam meletakkan fondasi dakwah, sehingga terwujud sejumlah institusi pendidikan Islam. Kini, dibutuhkan para mujahid-mujahid berikutnya yang harus meneruskan bahkan mengembangkan apa yang telah dicapai oleh para mujahid sebelumnya.