Sekali waktu, cobalah tengok berbagai berita tentang pemikiran dan aktivitas Yahudi Liberal (Liberal Judaism). Simaklah, misalnya, sebuah berita di http://www.pinknews.co.uk, yang berjudul ”Liberal Judaism launches gay marriage ceremonies in Britain.” (25-11-2005). Dalam berita yang ditulis oleh Benjamin Cohen ini, disebutkan, bahwa Yahudi Liberal merupakan kelompok agama Yahudi pertama yang memberikan pelayanan jasa perkawinan homoseks. Di kalangan Yahudi Liberal, memang sudah banyak pemuka-pemuka agama (rabbi) yang gay maupun lesbian. Dengan diadakannya seremoni perkawinan sejenis tersebut, maka perkawinan sejenis (homoseksual) bagi kaum Yahudi sudah diakui sama statusnya dengan perkawinan lain jenis (heteroseksual) di kalangan otoritas Rabbi Liberal (Liberal Rabbinic authorities).
Kita, umat Islam, perlu mencermati perkembangan kaum Yahudi liberal tersebut. Sebab, apa yang sudah terjadi pada kaum dan agama Yahudi, kini sedang diterapkan untuk Islam. Di sejumlah situs internet, kita bisa menyaksikan, kaum Yahudi liberal sudah melakukan perombakan besar-besaran terhadap agama mereka, agar agama mereka bisa menyesuaikan dengan nilai-nilai Barat modern. Pengesahan perkawinan homoseksual adalah salah satu contohnya. Di Inggris, misalnya, kaum Yahudi liberal juga sudah memiliki sinagog sendiri, terpisah dengan aliran-aliran Yahudi lainnya.
Kaum Yahudi Ortodoks yang dipimpin oleh Rabbi Sir Jonathan Sacks, menyatakan, bahwa kelompoknya tidak akan mengikuti tindakan kaum Yahudi liberal tersebut. Seorang jurbicaranya menyatakan, “Tidak ada harapan arus utama Yahudi Ortodoks akan mengizinkan perkawinan sesama jenis.”
Dari 31 pemuka agama Yahudi (rabbi) yang menjadi anggota penuh “Konferensi Rabbi Yahudi Liberal” (Liberal Judaism’s Rabbinic Conference), empat diantaranya adalah lesbian dan dua orang gay. Kaum Yahudi Liberal memiliki lebih dari 30 kongegrasi dan 10.000 anggota. Melalui apa yang disebut sebagai “The Civil Partnership Law” maka kaum Yahudi memiliki sejarah baru yang memberikan jaminan pengesahan perkawinan homoseksual dan lesbian.
Begitulah tindakan kaum Yahudi Liberal yang sekarang sudah secara resmi menjadi bagian dari agama Yahudi. Sama dengan Yahudi Ortodoks, Yahudi konservatif, dan sebagainya. Agama Yahudi tidak lagi menjadi satu. Tapi sudah terpecah-pecah menjadi agama yang banyak. Mereka juga dengan ‘kreasinya’ sendiri, mengubah-ubah hukum perkawinan sejenis yang sudah ditegaskan di dalam Bibel mereka sendiri, bahwa tindakan homoseksual adalah tindakan jahat yang harus dijatuhi hukuman berat. Dalam Kitab Imamat: 13, dikatakan: “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan suatu kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.”
Tetapi, karena kaum Yahudi Liberal ini ingin agamanya menyesuaikan dengan perkembangan zaman, mereka memandang, tidak ada yang tetap dalam agama mereka. Hukum-hukum agama yang sudah jelas pun mereka ubah-ubah, sesuai dengan keinginan mereka. Bahkan, mereka buat sinagog sendiri, yang akhirnya juga menjadi tempat upacara perkawinan sejenis. Selain sinagog sendiri, kaum Yahudi liberal juga sudah memiliki media massa dan penerbitan buku sendiri.
Apakah Yahudi Liberal itu? Dalam situsnya, www.ulps.org, mereka menjelaskan, bahwa Yahdudi Liberal (Liberal Judaism) mulai muncul pada abad ke-19, sebagai satu upaya untuk menyesuaikan dasar-dasar ajaran agama Yahudi dengan nilai-nilai zaman pencerahan Eropa (Enlightenment) tentang pemikiran rasional dan bukti-bukti sains. Kaum Yahudi liberal berharap mereka dapat menyesuaikan agama mereka dengan masyarakat modern. Kaum Yahudi liberal juga percaya bahwa Kitab-kitab Yahudi (Hebrew Scriptures) – termasuk Taurat – adalah upaya manusia untuk memahami Kehendak Tuhan, dan karena itu, mereka menggunakan Kitab-kitab itu sebagai titik awal dalam pengambilan keputusan. Mereka pun sadar akan kemungkinan kesalahan Kitab mereka dan menghargai nilai-nilai pengetahuan diluar Kitab agama mereka. (Liberal Judaism believes that the Hebrew Scriptures including the Torah are a human attempt to understand the Divine Will, and therefore uses Scripture as the starting point for Jewish decision making, conscious of the fallibility of scripture and of the value of knowledge outside of Scripture).
Organisasi Yahudi Liberal didirikan tahun 1902 oleh orang-orang Yahudi yang memiliki komitmen terhadap filsafat liberal, dengan tujuan memelihara kepercayaan, tradisi, praktik ritual, dan etika Yahudi dalam dunia kontemporer. Kaum Yahudi liberal bertekad bahwa mereka adalah bagian dari sejarah perjalanan dan dinamika agama Yahudi. Mereka mengaku siap berdialog dengan aliran-aliran lain dalam agama Yahudi, atau dengan agama lain, atau dengan sekularisme. Dan, yang penting, mereka juga selalu siap untuk senantiasa meninjau kembali, memodifikasi dan melakukan inovasi dalam agama Yahudi. Kata mereka: “Ini adalah agama Yahudi yang dulu yang sedang dalam proses menjadi agama Yahudi masa depan.” (It is the Judaism of the past in process of becoming the Judaism of the future). |
Itulah sekilas tentang Yahudi Liberal. Serupa dengan Yahudi Liberal adalah gerakan Kristen Liberal. Dalam agama Kristen, sudah lama dikenal juga para teolog Kristen liberal. Sebuah gagasan Kristen Liberal di Amerika Serikat, misalnya, mendasarkan gagasannya pada ‘progresivitas politik’, ‘kepercayaan pada akal, sains, dan demokrasi’ serta ’rekonstruksi iman Kristen’. Kata kunci pada upaya rekonstruksi agama Kristen dilakukan dengan menggunakan metode sosio-historis. Teologi liberal ini juga memandang agama Kristen sebagai gerakan sosio-historis. Charles A. Briggs, seorang Kristen Liberal, menyatakan: “It is sufficient that Bibel gives us the material for all ages, and leaves to an the noble task of shaping the material so as to suit the wants of his own time.” (Lihat, Alister E. McGrath, The Blackwell Encyclopedia of Modern Christian Thought, (Oxford: Blackwell, 1993).
Jika kita cermati pemikiran dan praktik kaum Yahudi dan Kristen Liberal, mereka sama-sama memandang agama mereka sebagai ‘agama sejarah’, agama yang ‘evolutif’, agama yang senantisa berkembang mengikuti zaman dan tempat. Tidak ada yang tetap dalam agama mereka, sehingga boleh saja diubah-ubah. Maka, seperti telah kita ketahui, mereka tidak segan-segan mengubah konsep teologi dan hukum-hukum yang sebelumnya sudah begitu jelas ditetapkan dalam Bibel. Jika sebelumnya mereka menegaskan, di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus), maka kemudian mereka mengubah ‘semua agama adalah jalan keselamatan’ (pluralisme). Jika dalam Bibel begitu banyak terdapat perintah menerapkan hukuman mati bagi berbagai jenis kejahatan, maka kemudian mereka juga menghapuskan hukuman mati. Itulah yang disebut sebagai agama sejarah atau ‘historical religion’.
Jika kita cermati ide-ide kaum liberal di Indonesia dari kalangan Muslim, kita bisa melihat adanya ’penjiplakan’ gagasan dari kaum Yahudi Liberal tersebut. Konsep historisitas dalam studi Islam yang diperkenalkan oleh banyak cendekiawan dan dosen saat ini — yang mengadopsi gagasan Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd dan lain-lain — sama persis dengan gagasan kaum Yahudi Liberal dalam memandang agama dan Kitab agama mereka. Upaya menampatkan al-Quran sebagai ‘teks bahasa’, ‘teks manusia’ dan ‘teks budaya’, atau ‘teks sejarah’ sama persis dengan cara pandang kaum Yahudi Liberal terhadap Kitab-kitab Yahudi.
Karena itu, kita bisa melihat upaya kaum liberal dari kalangan Muslim untuk menyama-nyamakan Islam dengan agama lain. Kaum liberal ini juga sedang bergerak untuk mencontoh kaum Yahudi Liberal dengan mengubah (merusak) konsep-konsep pokok dalam Islam. Mereka sudah mengubah aqidah Islam dengan menyebarkan paham Pluralisme Agama. Mereka merusak syariat Islam, bahkan menyatakan bahwa tidak ada yang disebut sebagai hukum Tuhan, yang ada – kata mereka – adalah hukum karangan manusia. Karena itu, mereka tidak segan-segan menghalalkan perkawinan homoseksual. Pada sampul belakang buku “Indahnya Kawin Sesama Jenis” yang ditulis sejumlah mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang dikatakan:
“Dan sebagai warga negara yang hak-haknya dilindungi UUD, sudah semestinya kaum homoseksual diberi hak dan perlindungan untuk bisa menikah secara absah dengan mendapat payung hukum tetap dari negara. Karena itu, kami memandang sangat penting untuk dilakukan revisi UU Perkawinan No 1 Th. 1974 dengan memasukkan poin perlindungan dan pengabsahan kawin sesama jenis. Orang yang tidak mendukung perkawinan sesama jenis adalah orang-orang egois, keras kepala dan serakah, yang tidak layak hidup di bumi ini.”
Para mahasiswa itu juga menutup bukunya tersebut dengan catatan penutup berjudul “HOMOSEKSUALITAS DAN PERNIKAHAN GAY: SUARA DARI IAIN”. Jadi, anak-anak itulah yang mengaku dan mengklaim bahwa suara mereka adalah suara dari IAIN, dimana mereka menyatakan: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.”
Pemikiran-pemikiran yang jelas-jelas menghancurkan syariat dan aqidah Islam itulah yang dikatakan para mahasiswa Fakultas Syariah IAIN itu sebagai “suara dari IAIN”. Tetapi, kampus yang bersangkutan, kemudian memberi anugerah kepada para mahasiswa yang anti-syariah Islam itu dengan gelar yang mulia sebagai “sarjana hukum Islam”. Biarlah itu menjadi tanggung jawab dunia dan akhirat pimpinan dan para dosen di kampus tersebut.
Ketika memberikan pemaparan tentang gerakan liberalisasi Islam di Indonesia di hadapan sekitar 150 mubalig di Kota Dumai Riau, 2-3 September lalu, ada seorang mubalig alumnis Fakultas Syariah salah salah satu kampus Islam di Yogyakarta yang membenarkan terjadinya proses liberalisasi besar-besaran di kampusnya. Yang tidak mau liberal, katanya, akan terpinggirkan, karena arus utama sudah dikuasai kaum liberal. Dalam satu pengajian di salah satu Masjid di Bekasi seorang Ibu kemudian mengaku resah, bagaimana nasib anaknya yang dikuliahkan di fakultas syariah di kampus tersebut. Saya selalu menyampaikan kepada para orang tua, agar jangan menyerahkan anaknya begitu saja kepada satu institusi kampus yang menggunakan label Islam. Sebab, di situ sudah campur aduk antara dosen yang menyebarkan pemikiran yang haq dan yang menyebarkan pemikiran yang batil. Meskipun dari 100 orang dosen, hanya 5 saja yang batil, itu sudah sangat merepotkan. Apalagi, jika yang berpikiran batil adalah yang berkuasa di kampus. Merekalah yang menentukan kurikulum, menentukan dosen, dan mengarahkan judul atau tema skripsi atau disertasi mahasiswa. Repotnya lagi, banyak yang merasa benar dalam kebatilan dan berjuang menyebarkan kebatilan, seperti paham relativisme iman.
Dalam kondisi kekacauan pemikiran seperti sekarang, para orang tua wajib memahami pemikiran Islam, wajib mengaji lagi dengan baik, agar bisa mengetahui jenis pemikiran dan buku-buku yang dibaca anak-anaknya. Para orang tua juga perlu mengenal mana dosen yang masih baik dan mana yang sudah kena virus liberal, sehingga bisa menitipkan anaknya di bawah bimbingan dosen-dosen yang baik. Untuk apa belajar agama Islam, jika hasilnya malah menjadi ragu dan menentang Islam?
Dengan berkaca pada fenomena Yahudi Liberal, kita bisa menduga, mungkin dalam jangka waktu tidak lama lagi, kaum liberal akan mendirikan masjid khusus untuk kaum liberal, dengan ustad-ustad atau kyai liberal, dan dengan pengajian-pengajian liberal. Bukan tidak mungkin, di masjid itu nanti akan ada imam wanita tanpa jilbab dengan makmum campur aduk laki-laki dan wanita, seperti sudah dilakukan oleh Amina Wadud di Amerika. Bukan tidak mungkin pula, ’masjid liberal’ itu akan menjadi tempat berlangsungnya perkawinan antar-agama dan perkawinan kaum homoseksual dan lesbian. Secara ide, semua pemikiran itu sudah mereka sebarluaskan ke tengah masyarakat.
Semua itu sudah terjadi pada Yahudi dan Kristen. Kaum Yahudi liberal sudah punya sinagog sendiri. Kaum Kristen liberal juga punya gereja sendiri. Kita tinggal menunggu kaum liberal di kalangan Muslim akan mengikuti jejak Yahudi dan Kristen yang menjadi idola dan kiblat mereka. Tapi, kita berharap, mudah-mudahan kelompok liberal dari kalangan kaum Muslim itu segera sadar dan bertobat, menyadari kekeliruannya, sehingga tidak semakin jauh dalam merusak Islam.
Tetapi, kita tidak perlu risau dengan tindakan mereka, sebab masing-masing manusia hanya bertanggung jawab terhadap amalnya sendiri. Kita tidak menanggung dosa mereka. Lanaa a’maaluna wa lahum a’maaluhum. (Depok, 8 September 2006)