“Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”. Itulah judul sebuah buku yang ditulis seorang dosen di salah satu Perguruan Tinggi Islam di Jawa Tengah. Dalam kata pengantarnya untuk buku ini, Direktur Pasca Sarjana UIN Jakarta, Prof. Dr. Azyumardi Azra, menyatakan, bahwa buku ini memiliki arti penting bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan agama. Azra mendefinisikan ‘Pendidikan Multukultural’ sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.”
Buku ini penting untuk kita cermati, karena menyuguhkan satu wacana tentang Pendidikan Agama di Indonesia. Ajaibnya, buku ini bukan memberikan suatu pemahaman tentang Pendidikan Agama yang benar, tetapi justru menyuguhkan suatu pemahaman yang merusak aqidah Islam itu sendiri. Maka, seharusnya, seorang profesor kenamaan tidak sampai terjebak untuk memuji-muji buku seperti ini. Apalagi, si profesor juga dikenal sebagai pimpinan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Mungkin Sang Profesor tidak membaca isinya dengan teliti, atau mungkin memang dia sendiri setuju dengan isi buku tersebut.
Sebenarnya, istilah yang digunakan, yakni ”Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”, itu sendiri sudah bermasalah. Istilah itu mengesankan, seolah-olah selama ini, umat Islam tidak mengembangkan pendidikan agama yang menghormati keragaman budaya masyarakat. Bahkan, seperti pernah kita bahas dalam sejumlah CAP, istilah dan makna ”multikulturalisme” itu sendiri – seperti dijelaskan oleh para pendukungnya — sudah sangat bermasalah.
Tetapi, kita sangat memahami, karena paham ini sedang menjadi proyek global – yang tentu saja ada kucuran dana yang sangat besar – maka wacana multikulturalisme terus dijejalkan kepada kaum Muslim Indonesia. Badan Litbang Departemen Agama telah meluncurkan program pembinaan dai-dai multikultural dan menyebarkan buku-buku tentang multikulturalisme. Para santri dan kyai di berbagai pesantren, khususnya di Jawa Barat, juga telah dijejali paham ini oleh agen liberal, seperti International Center for Islam and Pluralism (ICIP). Berbagai seminar tentang multikulturalisme pun digelar, seolah-olah, inilah agenda penting yang harus ditelan umat Islam Indonesia saat ini. Seolah-olah, umat Islam selama ini tidak memahami keragaman budaya dan agama. Seolah-olah umat Islam selama ini tidak toleran dengan agama lain, dan sebagainya.
Kita pernah membahas apa makna ”Multikulturalisme” dalam pandangan Litbang Departemen Agama, yang merupakan hasil penelitian Litbang Depag tentang “Pemahaman Nilai-nilai Multikultural Para Da’i”. Dijelaskan, bahwa selain dapat menjadi faktor integrasi, agama juga dapat menjadi faktor dis-integrasi. Konflik antar-umat beragama dapat terjadi karena — salah satunya — disebabkan oleh adanya pemahaman keberagamaan masyarakat yang masih eksklusif. Pemahaman ini dapat membentuk pribadi yang antipati terhadap pemeluk agama lain. Pribadi yang selalu merasa hanya agama dan alirannya saja yang paling benar sedangkan agama dan aliran lainnya adalah salah dan dianggap sesat.
Jadi, dalam wacana multikulturalisme, klaim kebenaran (truth claim) terhadap agamanya sendiri dipandang sebagai sesuatu yang menjadi sebab terjadinya konflik antar-umat beragama. Logika selanjutnya adalah, agar umat beragama menghilangkan klaim kebenaran terhadap agamanya sendiri. Umat beragama diajak untuk mengakui kebenaran semua agama. Minimal, jangan menyalahkan agama dan kepercayaan di luar agamanya.
Tentu saja kesimpulan semacam ini sangat keliru. Sebab, setiap orang yang beragama – jika masih berpegang pada keyakinan agamanya – pasti meyakini kebenaran agamanya sendiri. Jika dia meyakini kebenaran semua agama, maka dia sejatinya sudah tidak beragama. Kita ingat jargon populer kaum Pluralis Agama, yakni ”All paths lead to the same summit” (semua jalan akan menuju puncak yang sama). Maksudnya, agama apa pun sebenarnya menuju pada Tuhan yang sama. Tokoh pluralis lain menggambarkan agama-agama laksana jari-jari sebuah roda yang semua menuju pada poros yang sama. Poros itulah, menurut dia, adalah Tuhan.
Semangat humanisme sekular tanpa diskriminasi agama inilah yang juga ditekankan dalam buku ”Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural”. Misinya adalah membangun persaudaraan universal tanpa membedakan lagi faktor agama, sebagaimana misi yang digelorakan oleh Free Masonry, Theosofie, dan sebagainya. Misalnya ditulis dalam buku ini:
”Sebagai risalah profetik, Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia, termasuk mereka para pengikut agama-agama, menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan, dan agama… Pesan kesatuan ini secara tegas disinyalir al-Qur’an: ”Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multikultural (kalimatun sawa’) antara kami dan kami… Dengan demikian, kalimatun sawa’ bukan hanya mengakui pluralitas kehidupan. Ia adalah sebentuk manifesto dan gerakan yang mendorong kemajemukan (plurality) dan keragaman (diversity) sebagai prinsip inti kehidupan dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok multikultural diperlakukan setara (equality) dan sama martabatnya (dignity).” (hal. 45-46).
Bagi yang memahami tafsir al-Quran, pemaknaan terhadap QS 3:64 tentang kalimatun sawa’ semacam itu tentulah dan ngawur. Sebab, ayat itu sendiri sangat jelas maknanya, yakni perintah kepada Nabi Muhammad saw agar mengajak kaum Ahlul Kitab untuk kembali kepada ajaran Tauhid yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Disebutkan dalam ayat tersebut (yang artinya):
”Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuat upun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain daripada Allah.”
Jadi, QS 3:64 tersebut jelas-jelas seruan kepada tauhid, bukan kepada paham Multikulturalisme. Meskipun maknanya sudah begitu jelas, tapi para pendukung paham Multikulturalisme ini dengan sangat berani dan gegabah membuat makna sendiri. Karena menjadikan paham Multikulturalisme sebagai dasar keimanannya, maka Tauhid pun dimaknai secara keliru dan diselewengkan maknanya. Padahal, Tauhid jelas berlawanan dengan syirik. Musuh utama Tauhid adalah syirik. Karena itu, Allah sangat murka dengan tindakan syirik, dan disebut sebagai ”kezaliman yang besar” (zhulmun ’azhimun). Karena itu, di dalam al-Quran disebutkan, bahwa Allah SWT sangat murka, karena dituduh mempunyai anak (QS 19:88-91).
Tetapi, dalam paham Multikulturalisme sebagaimana dijelaskan dalam buku ini, justru keyakinan akan kebenaran agamanya sendiri dilarang:
”Klaim berlebihan tentang kebenaran absolut kelompok keagamaan sendiri, dan
klaim kesesatan kelompok-kelompok agama lain, bisa membangkitkan sentimen permusuhan antarumat beragama dan antarkelompok. Penganjur-penganjur agama yang mempunyai corak pemahaman teologi dogmatis semacam itu dapat dengan mudah membawa dan memicu konflik dan kekerasan pada level pengikut. Dan anehnya semua mengatasnamakan Tuhan.” (hal. 48)
Tidak sulit untuk menyimpulkan, bahwa sadar atau tidak, misi buku Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural ini memang jelas-jelas merusak aqidah Islam. Agar memiliki daya rusak yang tinggi, maka digunakanlah salah satu aspek strategis, yakni ”Pendidikan Agama”. Daya rusak itu tentu saja semakin tinggi dengan dukungan profesor kenamaan yang memiliki kekuasaan tinggi di Perguruan Tinggi dan organisasi cendekiawan Muslim.
Buku Pendidikan Agama jenis ini memang jelas-jelas menyebarkan ’paham syirik’ Pluralisme Agama. Sebab, buku ini membenarkan semua paham syirik yang dengan tegas telah dikecam dalam al-Quran. Ditulis, misalnya: ”Jadi, semua agama adalah sebuah totalitas sosio-kultural yang merupakan jalan-jalan yang berbeda dalam mengalami dan hidup dalam relasi dengan Yang Ilahi. Yang menyebabkan perbedaan itu adalah bukan sesuatu yang mutlak sifatnya, namun hanya faktor-faktor partikular yang berhubungan dengan sejarah dan kebudayaan.” (hal. 50).
Lebih jauh dijabarkan bahwa: ”Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural mengandaikan suatu pengajaran efektif (effective teaching) dan belajar aktif (active learning) dengan memperhatikan keragaman agama-agama siswa. Dalam hal ini, proses mengajar lebih menekankan pada bagaimana mengajarkan tentang agama (teaching about religion), bukan mengajarkan agama (teaching of religion), karena yang pertama melibatkan pendekatan kesejarahan (historical approach) dan pendekatan perbandingan (comparative approach), sedangkan yang kedua melibatkan indoktrinasi dogmatik pada siswa sehingga secara praktis ia tidak memberikan sarana yang memadai untuk menentukan palajaran/kuliah mana yang dapat diterima dan mana yang perlu ditolak.” (hal. 102).
Untuk menjalankan misi Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural tersebut, maka juga diperlukan guru-guru yang memiliki pemahaman yang sama. ”Guru penganut suatu agama yang meyakini hanya ada satu kebenaran dan satu keselamatan, tertutup kemungkinan untuk menerima validitas kepercayaan-kepercayaan alternatif dan gagal mengajarkan toleransi dan saling menghargai antar sesama penganut agama.” (hal. 103).
Jadi, jelaslah, Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural memang berusaha menggerus keyakinan ekslusif tiap agama, khususnya aqidah umat Islam. Untuk itu, penulis buku yang sudah sangat populer keliberalannya ini memang tidak takut-takut untuk merusak tafsir al-Quran, sebagaimana contoh terdahulu. Sejumlah ayat al-Quran lainnya juga dia tafsirkan dengan semena-mena.
Misalnya, dengan seenak perutnya sendiri, ia mengubah makna ”taqwa” dalam QS 49:13. Kaum Muslim memahami bahwa makna ’taqwa’ adalah taat kepada perintah Allah dan menjauhi larang-larangan-Nya. Tapi, oleh penganut paham multikulturalisme, istilah ’taqwa’ diartikan sebagai ”yang paling dapat memahami dan menghargai perbedaan pendapat.” Buku Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural ini menerjemahkan ayat tersebut sebagai berikut:
”Hai manusia, sesungguhnya Kami jadikan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan kalian berkelompok-kelompok dan berbangsa-bangsa, agar kalian saling memahami dan saling menghargai. Sesungguhnya orang yang paling bermartabat di sisi Allah adalah mereka yang paling dapat memahami dan menghargai perbedaan di antara kamu.” (hal. 49).
Sebagai kaum Muslim, kita diperintahkan untuk sangat berhati-hati dalam menafsirkan al-Quran. Dalam acara ”Kolokium Nasional Pemikiran Islam” di Universitas Muhammadiyah Malang, 11-13 Februari 2008, tokoh Muhammadiyah Ustad Muammal Hamidy mengingatkan, bahwa para sahabat Rasulullah saw dan para ulama ahli tafsir senantiasa sangat berhati-hati menafsirkan al-Quran.
Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. dengan tawadhu’nya pernah menyatakan: “Bumi manakah yang akan menyanggaku dan langit manakah yang akan menaungiku jika aku mengatakan sesuatu yang tidak aku ketahui tentang Kitabullah?” Ibn Katsir juga mengutip hadits Rasulullah saw: “Barangsiapa yang mengucapkan (sesuatu) tentang al-Quran berdasarkan ra’yunya atau berdasarkan apa yang tidak dipahaminya, maka bersiap-siaplah untuk menempati neraka.” (HR Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i). Abu Ubaid pernah juga memperingatkan: “Hati-hatilah dalam penafsiran, sebab ia merupakan pemaparan tentang Allah.”
Mencermati isi buku ini tidaklah sulit bagi kita untuk menilai, bahwa buku Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural ini memang merusak aqidah Islam dan Tafsir al-Quran. Namun, Professor sekaliber Azyumardi Azra justru memberikan pujiannya. Penulis buku ini, menurut sang Professor UIN Jakarta ini,”telah membuka pintu masa depan kajian pendidikan agama bercorak multikulturalisme di Indonesia”.
Jadi, pintu untuk merusak Pendidikan Agama di Indonesia sudah resmi dibuka! Lalu, apa tindakan kita? (Depok, 7 Juli 2008).