“Menjalin kerukunan, menjamin keyakinan.” Itulah judul makalah yang saya sampaikan dalam acara dialog lintas agama dan Sosialisasi Peraturan-Peraturan Kerukunan Umat Beragama, yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama Wilayah DKI Jakarta, Senin, 18/4/2011, di Cipayung Bogor.
Kepada para peserta, saya menekankan, bahwa meskipun terjadi sejumlah kasus dalam soal hubungan antar-umat beragama, dan juga internal umat beragama, sebenarnya secara umum, wajah kerukunan umat beragama di Indonesia tetaplah “cantik.” Kasus-kasus yang terjadi adalah ibarat “jerawat” di wajah yang cantik, yang perlu diselesaikan dengan baik; tetapi jangan sampai jerawat-jerawat it uterus-menerus dipelototi dan diekspose, untuk menutupi “wajah cantik” secara keseluruhan. Cara pandang semacam ini jelas tidak proporsional.
Sebagaimana pernah kita ungkapkan dalam CAP sebelumnya, pengungkapan kasus-kasus konflik antar umat beragama yang berlebih-lebihan, bukannya akan menyelesaikan masalah, tetapi justru memperparah kondisi. Film “?” karya Hanung Bramantyo yang diawali dengan penusukan seorang pastor di depan Gereja Katolik, seperti menggiring penonton untuk berimajinasi, kasus itu merupakan visualisasi kasus penusukan pendeta di Ciketing, Bekasi, beberapa waktu lalu. Adegan itu tentu saja berlebihan, meskipun tidak menyebutkan dengan jelas siapa pelakunya, sebab adegan itu dimunculkan bukan dalam “ruang yang kosong”.
Logikanya, umat beragama tentu menginginkan hidup rukun dan damai. Tetapi, harus diakui, dalam kehidupan antar manusia, potensi-potensi konflik itu pasti selalu ada. Dalam kehidupan suami-istri yang seagama saja, banyak potensi terjadinya konflik. Hidup manusia tidak ada yang sepi dari konflik. Manusia bukan Malaikat. Apalagi dalam hubungan antar-agama, dimana masing-masing memiliki keyakinan yang berbeda.
Konflik yang lebih keras juga sering terjadi dalam kehidupan internal umat beragama. Di kalangan umat Islam, ada kelompok yang mengkafirkan orang lain yang berada di luar kelompoknya. Dalam beberapa hari terakhir, ada beberapa orang yang bertanya kepada saya tentang kelompok NII (Negara Islam Indonesia). Seorang Ibu bercerita, seorang temannya mengajaknya untuk “bersyahadat ulang”, karena syahadat yang sudah dilafalkannya sehari-hari, dianggap belum sah. Si Ibu masih diharuskan melafalkan syahadat di depan seorang imam.
Ajaran seperti ini mengingatkan saya pada suatu kisah di tahun 1980-an, saat masih kuliah di IPB. Suatu ketika, teman serumah, membawa seorang Ustad ke rumah kos. Sang Ustad menjelaskan, bahwa selama ini syahadat saya tidak sah, karena belum disaksikan. Dia membacakan sejumlah ayat al-Quran tentang persaksian, seperti “Isyhaduu bi-anna muslimuun.”
Saya tanya, ayat mana yang menunjukkan bahwa “syahadat ulang di depan imam itu hukumnya wajib?” Sedangkan beberapa ayat al-Quran yang secara tegas berbentuk perintah (fi’il amar) dari Allah, jatuhnya justru mubah; bukan wajib. Misalnya, ayat “faidzaa qudhiyatish-shalaatu fan-tashiruu fil-ardhi”; (“jika setelah ditunaikan shalat Jumat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi”).
Saya katakan pada Sang Ustad, jika perintah yang jelas saja, bisa jatuh mubah hukumnya, bagaimana dengan status hukum suatu tindakan yang tidak jelas-jelas diperintahkan dalam al-Quran dan Sunnah, seperti hukum melafalkan “syahadat ulang”? Tampaknya Sang Ustad belum belajar atau tidak mau menggunakan Ilmu Ushul Fiqih dalam menentukan status hukum suatu perbuatan. Metode istinbath Sang Ustad adalah buatan kelompoknya sendiri.
Ujungnya, diskusi itu berakhir tanpa hasil. Sang Ustad pergi berlalu. Sejak itulah, saya semakin yakin, pentingnya kalangan mahasiswa Islam memahami berbagai macam Ulumuddin (Bahasa Arab, Ilmu Tafsir, Ilmu Ushul Fiqih, dan sebagainya), agar tidak mudah menafsir-nafsirkan al-Quran secara sembarangan.
Konflik-konflik internal umat beragama juga terjadi di dalam Kristen, Hindu, Budha, dan sebagainya. Perbedaan dan konflik adalah bagian dari hidup manusia. Karena itu, untuk mewujudkan kerukunan, bukan berarti harus menghilangkan perbedaan. Termasuk dalam soal klaim kebenaran. Kerukunan justru menjadi indah, tatkala terwujud di tengah-tengah berbagai perbedaan.
Kerukunan umat beragama, baik intern atau antar umat beragama, adalah kondisi ideal yang diinginkan setiap umat beragama. Satu hal yang penting dicatat dalam soal pembangunan kerukunan umat beragama adalah, bahwa upaya mewujudkan kerukunan umat beragama, tidak boleh dilakukan dengan cara mengorbankan keyakinan masing-masing agama. Sebab, agama-agama itu ada berdiri di atas keyakinannya masing-masing. Dalam istilah sekarang: masing-masing agama memiliki truth claim (klaim kebenaran) masing-masing.
Islam memiliki ajaran-ajaran pokok yang berpijak atas dasar syahadat: “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah utusan Allah.” Islam mengakui Allah, sebagai satu-satunya Tuhan. Dan Muhammad adalah utusan Allah. Dalam Islam, Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir. Beliau (saw) mendapatkan wahyu yang kemudian terhimpun dalam al-Quran.
“Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah — jika engkau berkemampuan melaksanakannya.” (HR Muslim).
“Sesungguhnya agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam.” (QS 3:19). “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam, maka tidak akan akan diterima dan di akhirat nanti akan termasuk orang-orang yang merugi.” (QS 3:85).
Inilah keyakinan Islam. Keyakinan yang khas semacam ini juga ada pada agama lain. Kaum Kristen juga memiliki apa yang mereka juga sebut sebagai “syahadat” (Nicene Creed), yang dirumuskan tahun 325 M: “Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa…” (Norman P. Tanner, Konsili-konsili Gereja).
Kaum Kristen yakin bahwa Yesus mati di tiang salib. Yesus adalah salah satu dari “Tiga Oknum” dalam Trinitas. Ini sangat berbeda dengan konsep Islam yang menyatakan bahwa Isa a.s. adalah utusan Allah. Al-Quran menjelaskan: “Dan ingatlah ketika Isa Ibn Maryam berkata, wahai Bani Israil sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, yang membenarkan apa yang ada padaku, yaitu Taurat, dan menyampaikan kabar gembira akan datangnya seorang Rasul yang bernama Ahmad (Muhammad).” (QS 61:6).
Paus Yohanes Paulus II menyatakan: ” Islam bukanlah agama penyelamatan (Islam is not a religion of redemption). Dalam Islam, kata Paus, tidak ada ruang untuk salib dan kebangkitan Yesus. Yesus memang disebut, tetapi hanya sebagai nabi yang mempersiapkan kedatangan Nabi terakhir. Karena itulah, simpul Paus, bukan hanya dalam teologi, tetapi dalam antropologi, Islam sangat berbeda dengan Kristen. (not only the theology but also the anthropology of Islam is very distant from Christianity). Dan tentang al-Quran, Paus menyebutkan, bahwa siapa pun yang membaca Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, dan kemudian membaca al-Quran, maka akan menemukan bahwa Kitab ini (al-Quran) mereduksi kedua Kitab itu.” (“Crossing The Threshold of Hope” (New York: Alfred A. Knopf, 1994).
Tahun 2006, Penerbit Media Hindu, menerbitkan buku berjudul Hindu Agama Terbesar di Dunia, yang membuat pernyataan tegas tentang keunggulan agama Hindu (hal.xi-xii):“Agama Hindu melayani keperluan setiap orang. Ialah satu-satunya yang memiliki keluasan dan kedalaman seperti itu. Agama Hindu mengandung Dewa-dewa, Pura-Pura yang suci, pengetahuan esoteric dari inti kesadaran, yoga dan disiplin meditasi. Ia memiliki kasih yang tulus dan toleransi dan apresiasi yang murni terhadap agama-agama lain. Ia tidak dogmatik dan terbuka untuk diuji….Dan ingat Hindu bukanlah agama missi yang agresif seperti Kristen atau Islam…”
Jadi, klaim-klaim yang khas pada tiap-tiap agama adalah sesuatu yang wajar, sehingga tidak mungkin dihilangkan. Upaya untuk menghapus truth claim pada tiap agama, untuk membangun satu teologi bersama yang membenarkan semua teologi agama, dikenal sebagai konsep “Teologi Abu-abu” (Pluralisme Agama). Dr. Stevri Lumintang, seorang pendeta Kristen di Malang, dalam bukunya, Theologia Abu-Abu: Tantangan dan Ancaman Racun Pluralisme dalam Teologi Kristen Masa Kini, (Malang: Gandum Mas, 2004), menulis, bahwa Teologi Abu-Abu adalah posisi teologi kaum pluralis ; bahwa teologi ini sedang meracuni, baik agama Kristen, maupun semua agama, dengan cara mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama.
Ditegaskan dalam buku ini: ‘’Inti Teologi Abu-Abu (Pluralisme) merupakan penyangkalan terhadap intisari atau jatidiri semua agama yang ada. Karena, perjuangan mereka membangun Teologi Abu-Abu atau teologi agama-agama, harus dimulai dari usaha untuk menghancurkan batu sandungan yang menghalangi perwujudan teologi mereka. Batu sandungan utama yang harus mereka hancurkan atau paling tidak yang harus digulingkan ialah klaim kabsolutan dan kefinalitas(an) kebenaran yang ada di masing-masing agama.’’
Demikianlah, kerukunan umat beragama, tidak mungkin dibangun di atas konsep menghapus klaim kebenaran pada tiap-tiap agama. Biarlah keyakinan masing-masing tetap terjamin, sementara kerukunan harus terjalin. Justru itulah hakekat “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda keyakinan tetapi tetap merrupakan satu bangsa. Menghormati keyakinan masing-masing bukan berarti mencampuradukkan atau merusak keyakinan agama-agama.
Justru, kerukunan akan terasa lebih indah dan bermakna, saat kerukunan itu terwujud di atas perbedaan klaim-klaim kebenaran. Klaim terhadap kebenaran pada masing-masing agama perlu dihormati, dan tidak bisa dipaksa untuk dihapuskan. Islam melarang umatnya untuk memaksa orang lain memeluk Islam, sebab telah jelas, mana yang haq dan mana yang bahil.
Kristenisasi dan Islamisasi
Tidak dapat dipungkiri, ada dua isu sentral yang menjadi “wacana panas” dalam soal kerukunan umat beragama di Indonesia, khususnya antara umat Islam dan kaum Kristen. Masalah ini sebaiknya dibicarakan secara fair dan terbuka agar tercapai satu kesepakatan bersama. Tentu sangatlah tidak mudah memecahkan masalah ini. Pada tahun 1969, acara Musyawarah antar Umat Beragama, juga gagal menyepakati satu Piagam Kerukunan tentang masalah penyebaran agama.
Bagi kaum Kristen, misi Kristen dipandang sebagai satu kewajiban asasi. Tokoh Protestan, Dr. AA Yewangoe, menegaskan: “Agama tanpa misi bukanlah agama… Tanpa misi, gereja bukan lagi gereja.” (Suara Pembaruan, 26/12/2005). Dalam buku “Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini” (1964), tokoh Kristen Indonesia, Dr. W.B. Sidjabat, menulis bab khusus tentang tantangan Islam bagi misi Kristen di Indonesia: “Pekabaran Indjil di Indonesia, kalau demikian, masih akan terus menghadapi “challenge” Islam dinegara gugusan ini… W.B. Sidjabat, Panggilan Kita di Indonesia Dewasa Ini, (Badan Penerbit Kristen, 1964), hal. 133-135.
Dalam ‘Dokumen Keesaan Gereja-Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (DKG-PGI) yang diputuskan dalam Sidang Raya XIV PGI di Wisma Kinasih, 29 November-5 Desember 2004, pada bagian ‘’Bab IV : Bersaksi dan Memberitakan Injil Kepada Segala Makhluk’’, menegaskan: “Gereja Harus Memberitakan Injil Kepada Segala Makhluk”. Disebutkan dalam bagian ini : ‘’Gereja-gereja di Indonesia menegaskan bahwa Injil adalah Berita Kesukaan yang utuh dan menyeluruh, untuk segala makhluk, manusia dan alam lingkungan hidupnya serta keutuhannya : bahwa Injil yang seutuhnya diberitakan kepada manusia yang seutuhnya… ‘’
Misi Katolik. Tahun 1990, induk Gereja Katolik di Indonesia, yaitu KWI (Konferensi Waligereja Indonesia) menerjemahkan dan menerbitkan naskah imbauan apostolik Paus Paulus VI tentang Karya Pewartaan Injil dalam Jaman Modern (Evangelii Nuntiandi), yang disampaikan pada 8 Desember 1975. Di dalam dokumen ini disebutkan:
“Pewartaan pertama juga ditujukan kepada bagian besar umat manusia yang memeluk agama-agama bukan Kristen….Agama-agama bukan kristen semuanya penuh dengan “benih-benih Sabda” yang tak terbilang jumlahnya dan dapat merupakan suatu “persiapan bagi Injil” yang benar… Kami mau menunjukkan, lebih-lebih pada zaman sekarang ini, bahwa baik penghormatan maupun penghargaan terhadap agama-agama tadi, demikian pula kompleksnya masalah-masalah yang muncul, bukan sebagai suatu alasan bagi Gereja untuk tidak mewartakan Yesus Kristus kepada orang-orang bukan Kristen. Sebaliknya Gereja berpendapat bahwa orang-orang tadi berhak mengetahui kekayaan misteri Kristus.”
Dalam pidatonya pada 7 Desember 1990, yang diberi judul Redemptoris Missio (Tugas Perutusan Sang Penebus), yang juga diterbitkan KWI tahun 2003, Paus Yohanes Paulus II mengatakan:
“Tugas perutusan Kristus Sang Penebus, yang dipercayakan kepada Gereja, masih sangat jauh dari penyelesaian. Tatkala Masa Seribu Tahun Kedua sesudah kedatangan Kristus hampir berakhir, satu pandangan menyeluruh atas umat manusia memperlihatkan bahwa tugas perutusan ini masih saja di tahap awal, dan bahwa kita harus melibatkan diri kita sendiri dengan sepenuh hati…Kegiatan misioner yang secara khusus ditujukan “kepada para bangsa” (ad gentes) tampak sedang menyurut, dan kecenderungan ini tentu saja tidak sejalan dengan petunjuk-petunjuk Konsili dan dengan pernyataan-pernyataan Magisterium sesudahnya. Kesulitan-kesulitan baik yang datang dari dalam maupun yang datang dari luar, telah memperlemah daya dorong karya misioner Gereja kepada orang-orang non-Kristen, suatu kenyataan yang mestinya membangkitkan kepedulian di antara semua orang yang percaya kepada Kristus. Sebab dalam sejarah Gereja, gerakan misioner selalu sudah merupakan tanda kehidupan, persis sebagaimana juga kemerosotannya merupakan tanda krisis iman.”
Jadi, bagi kaum Kristen, menjalankan misi Kristen adalah satu kewajiban asasi yang menurut mereka wajib ditunaikan. Hal yang senada juga ada pada ajaran dakwah dalam Islam. Umat Islam wajib berdakwah, menyeru muslim dan non-Muslim untuk berpegang kepada kebenaran. (QS 3:104). Nabi Muhammad saw juga sangat aktif dalam berdakwah kepada non-Muslim, mengajak mereka untuk kembali kepada Tauhid, yakni hanya menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan Allah dengan yang lain (QS 3:64).
Nabi Muhammad saw pernah berkirim surat kepada Heraclius (Kaisar Romawi), yang isinya: “Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad Rasul Allah untuk Heraclius Kaisar Romawi yang agung. Keselamatan bagi siapa yang mengikuti petunjuk. Selain itu, sesungguhnya aku mengajak Tuan untuk masuk Islam. Masuklah Tuan ke dalam Islam, maka Tuan akan selamat dan hendaklah Tuan memeluk Islam, maka Allah memberikan pahala bagi Tuan dua kali dan jika Tuan berpaling, maka Tuan akan menanggung dosa orang orang Romawi.”
Jadi,bisa dikatakan, adalah bisa dimengerti jika orang Kristen berusaha melakukan Kristenisasi dan orang Muslim melakukan Islamisasi. Dalam konteks seperti inilah, untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama di Indonesia, maka diperlukan sikap saling memahami dan adanya kesepakatan akan satu tata aturan main atau kode-etik dalam penyebaran agama, agar tidak terjadi benturan yang merusak kerukunan umat beragama. Kesepakatan dan kesepahaman ini membutuhkan dialog yang terus-menerus, sebab masalah penyiaran agama ini merupakan hal yang sensitif.
Kristenisasi, misalnya, bukan hanya sangat sensitif bagi orang Muslim, tetapi juga bagi umat agama lain. Tokoh Hindu India, Mahatma Gandhi, juga dikenal sangat kritis terhadap gerakan misi Kristen di India. Pada bulan April 1931, dia pernah melontarkan komentar soal misi asing di India: “If instead of confining themselves purely to humanitarian work and material service to the poor they limit their activities, as at present, to proselytising by means of medical aid, education, etc. then I would certainly ask them to withdraw. Every nation’s religion is as good as any other’s. Certainly India’s religions are adequate for her people. We need no converting spirituality.” (John C.B. Webster, ‘Gandhi and the Christians: Dialogue in the Nationalist Era’, in Harold Coward (ed.), Hindu-Christian Dialogue: Perspectives and Encounters, (New York: Orbis Book, 1989), hal. 80-88).
Jadi, Kerukunan umat beragama memang membutuhkan usaha yang serius. Perbedaan antar agama tidak mungkin dihapuskan, sebab agama-agama itu ada memang karena adanya klaim atas kebenaran masing-masing. Kerukunan umat beragama bisa tetap terjalin, dengan tanpa mengorbankan keyakinan masing-masing. Justru, itulah indahnya sebuah kerukunan. Berbeda-beda tetapi tetapi rukun jua. (Depok, 27 April 2011).