Home Artikel Menjaga Pemikiran di Bulan Ramadhan

Menjaga Pemikiran di Bulan Ramadhan

1046
0

Suatu ketika, di akhir bulan Sya’ban, Rasulullah saw berpidato di hadapan para sahabat : ’Wahai manusia, sungguh kalian akan dinaungi oleh bulan yang agung dan penuh berkah;  yakni bulan yang di sana ada satu malam yang lebih baik dari seribu bulan; bulan yang Allah jadikan puasanya  suatu kewajiban dan ibadah di malam harinya suatu tathawwu’. Barangsiapa yang mendekatkan dirinya kepada Allah dengan suatu amalan (sunnah) di bulan itu, maka samalah dia dengan orang yang mengerjakan amalan fardhu di bulan lain. Dan barangsiapa mengerjakan amalan fardhu di bulan Ramadhan, samalah dia dengan orang yang mengerjakan tujuh puluh fardhu di bulan lainnya. (HR. Ibn Khuzaimah dari Salman r.a.).

Sebagai muslim kita yakin, bahwa bulan Ramadhan berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Kita bukan penganjut empirisisme atau rasionalisme yang hanya mempercayai hal-hal yang terindera. Secara inderawi, bulan Ramadhan memang tidak berbeda dengan bulan-bulan lain. Di pagi hari, matahari terbit dari Timur, panas di siang hari, dan sore harinya matahari terbenam di Barat. Yang menjadikan Ramadhan berbeda dengan bulan lain adalah iman. Orang muslim yang beriman kepada wahyu yang di bawa oleh Nabi Muhammad saw pasti akan menyikapi bulan Ramadhan dengan cara yang berbeda dengan bulan-bulan lainnya.

Karena itulah, sebagai Muslim, kita pun meyakini ada keistimewaan yang luar biasa di bulan Ramadhan; bulan yang penuh berkah, penuh ampunan Allah. Di bulan ini, amalan sunnah di catat oleh Allah laksana amal fardhu; dan amal fardhu dicatat pahalanya 70 kali lipat amal yang sama di luar bulan Ramadhan. Karena kita yakin dengan adanya hisab (perhitungan amal) di Hari Akhir, tentu kita tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas yang diberikan Allah untuk meraih pahala yang besar di bulan ini.

Karena begitu besarnya ’bonus’ pahala yang dijanjikan, sebagai Muslim kita juga diajarkan agar senantiasa berhati-hati dalam menjaga amal ibadah kita di bulan Ramadhan. Sebab, disamping janji pahala yang besar, kita juga ingat, ada berbagai jenis virus atau parasit amal  — seperti sikap hasad (dengki), riya’ – yang dapat merusak pahala amal. Amal ibadah perlu dijaga benar-benar niat dan keikhlasannya. Kita puasa karena mengharapkan keridhaan Allah. Begitu juga dengan berbagai amal ibadah lainnya.

Imam al-Ghazali menceritakan dalam Ihya’ Ulumuddin, satu hadits riwayat Imam Muslim, bahwa ada tiga orang yang telah berbuat amal yang besar tetapi amalnya sia-sia karena dilakukan untuk mencari pujian manusia. Seorang yang gugur di jalan Allah yang amalnya sia-sia karena dia melakukan tindakan itu karena mengharapkan pujian manusia, agar dia dikatakan sebagai orang pemberani. Seorang lagi banyak bersedekah tetapi sedekahnya itu diniatkan agar dia dipuji sebagai orang pemurah. Dan yang terakhir seorang yang banyak membaca Kitab Allah,  tetapi niatnya bukan mencari keridhaan Allah melainkan hanya mencari pujian manusia, agar dia dikatakan sebagai orang yang ahli dalam membaca Kitab Allah.

Rasulullah saw juga bersabda: ”Aku sangat khawatir akan kemusyrikan yang menimpa umatku; mereka tidak menyembah berhala, tidak menyembah matahari, bulan atau batu, tetapi mereka riya’ terhadap amal ibadah mereka.” (HR Ibn Majah dan Al-Hakim, dala Ihya’ Ulumuddin).

Itulah sebagian contoh parasit amal yang sangat ganas, yakni riya’. Tapi, ada jenis parasit amal lainnya yang lebih ganas dari itu semua, yaitu riddah (kemurtadan). Riddah adalah tindakan yang dapat mengeluarkan seseorang dari ad-Dinul Islam. Riddah bukan hanya merusak pahala amal, tetapi menghancurkan seluruh bangunan keimanan. Syekh Nawawi al-Bantani menguraikan masalah riddah ini secara panjang lebar dalam syarahnya atas Kitab Sullamut Taufiq.  Dijelaskan, bahwa riddah adalah tindakan yang dapat merusak atau membatalkan keislaman seseorang.

Karena itulah, kita perlu berhati-hati agar jangan sampai terkena penyakit ganas yang bernama riddah ini. Caranya tentu saja dengan membersihkan hati dan pikiran kita dari hal-hal yang bisa merusak keimanan, seperti paham-paham yang meragukan kebenaran Islam, yang meragukan kenabian Muhammad saw, yang meragukan al-Quran, paham yang mendukung kemuyrikan, mendukung kebebasan untuk bermaksiyat, dan sebagainya.

Kita tidak perlu mengikuti paham yang menyama-nyamakan semua agama. Kita tidak perlu ikut-ikutan paham yang menghujat kesucian al-Quran. Kita tidak perlu silau dengan pemikiran yang menyatakan bahwa semua orang yang berserah diri kepada Tuhan – siapa pun Tuhannya dan dengan cara apa pun ibadahnya – adalah muslim, karena ia telah mengikuti ”islam” dalam makna generiknya, yaitu ”berserah diri”. Kita tidak perlu ikuti paham yang melecehkan dan menganggap remeh syariah Islam. Kita tidak perlu ikut-ikutan orang yang menghalalkan pornografi dan pornoaksi dengan alasan kebebasan berekspresi.

Memang aneh! Di bulan Ramadhan kali ini, masih saja ada yang tidak takut untuk menyebarkan pemikiran-pemikiran yang jelas-jelas salah. Dalam salah satu acara pelatihan mahasiswa Islam, di satu kota di Jawa Barat, pada awal Ramadhan lalu, ada seorang instruktur yang menyebarkan pemahaman yang keliru tentang Islam. Dia menyebutkan bahwa Islam harus diartikan dalam makna generiknya, sebagai agama berserah diri kepada Tuhan. Pemahaman semacam ini bukan hal baru, tetapi meskipun terbukti lemah hujjahnya, tetap saja dikembangkan ke tangah masyarakat.

Dalam sebuah buku berjudul Islam Mazhab HMI (2007), dijelaskan juga tentang makna Islam secara generik:

“Dengan demikian bisa dikatakan setiap agama yang mengajarkan sikap pasrah dan tunduk kepada Allah harus disebut dengan islam (dalam makna generiknya) walaupun ajaran lokalnya berbeda-beda, dan tentu saja akan mendapat perkenan Tuhan. Tidak hanya agama semitik (Abrahamic religions) yang mendapat perkenan Tuhan, agama-agama lainnya  juga, seperti Hindu-Budha, Konghucu dan sebagainya akan mendapat perkenan Tuhan (rida) selama agama tersebut mengajarkan sikap tunduk dan pasrah kepada Tuhan (islam). (hal. 10).

 

“Sampai di sini, sejatinya pengertian islam harus dipahami dalam makna generiknya, yaitu sikap pasrah dan tunduk kepada tuhan Yang Maha Esa. Dalam hal ini, tidaklah terlalu tepat jika islam dibatasi hanya untuk agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.” (hal. 11).

 

Buku yang ditulis oleh dosen Fakultas Syariah IAIN Medan ini sayangnya dikatakan sebagai ‘Islam mazhab HMI’.  Pendapat ini memang disandarkan pada pemikiran tokoh HMI,  Nurcholish Madjid, yang entah kenapa masih saja dikeramatkan oleh sebagian kalangan.   Padahal, tidaklah memerlukan akal yang terlalu cerdas untuk mempertanyakan kesahihan pendapat semacam itu. Jika semua agama diridhai oleh Allah, untuk apa Nabi Muhammad saw mengajak umat manusia untuk memeluk Islam dan mengakuinya sebagai utusan Allah?  Apa kriteria sikap pasrah kepada Tuhan? Bagaimana cara pasrahnya? Apakah menusia bisa seenaknya sendiri mereka-reka cara pasrah kepada Tuhan? Lalu, pertanyaan berikutnya, siapa Tuhan yang dituju dalam kepasrahan itu? Yahwehkah? Allah? Yesus? Iblis?  Genderuwo?  Tuhan yang mana? Apakah Allah memperbolehkan manusia memanggil nama-Nya seenaknya sendiri? Bolehkah manusia memanggil Allah, misalnya, dengan panggilan “Bos”?

Maka, dari kacamata Islam, jelas manusia tidak boleh memanggil nama Tuhan sembarangan. Sebab, nama Tuhan dalam Islam sudah ditentukan dalam wahyu yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Begitu juga cara menyembah Allah pun tidak boleh sembarangan. Kita, umat Islam, sangat disiplin dalam masalah tata cara ibadah kepada Allah, karena ada contoh dari utusan Allah, yaitu Muhammad saw. Jika kita mengakui bahwa Allah adalah satu-satunya Tuhan, maka tidak bisa tidak, untuk mengenal-Nya dan untuk memahami cara menyembah-Nya yang benar, pastilah harus berdasarkan petunjuk dari Allah sendiri. Dan petunjuk itu sudah diberikan melalui utusan-Nya yang terakhir.

Sebagai muslim, kita yakin, bahwa cara shalat para nabi sebelumnya juga sama dengan shalat kita. Saat peristiwa Isra’ mi’raj, Rasulullah saw berkesempatan menjadi imam shalat bagi semua nabi. Sekte Kristen Ortodoks Syiria, misalnya, hingga kini masih mengamalkan tata cara sembahyang yang sejumlah gerakannya mirip dengan shalat kaum Muslim. Bagi kaum Muslim, tata cara shalat yang benar tentu saja yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw, karena kita yakin, Nabi Muhammad saw tidak melakukan sesuatu kecuali atas dasar wahyu dari Allah SWT.

Dalam perspektif Islam, kaum Kristen, misalnya,  tidak mungkin memahami lagi bagaimana tata cara ibadah yang berdasarkan wahyu, karena manusia yang harusnya dijadikan contoh dalam ibadah – yakni Nabi Isa a.s. – sudah mereka sembah dan diangkat sebagai Tuhan. Begitu juga halnya dengan kaum Yahudi. Mereka sudah kehilangan jejak shalatnya Nabi Musa a.s.,  karena ajaran Nabi Musa sudah mereka ubah-ubah sendiri. Begitu pula umat manusia lainnya.

Karena itu, tanpa mengakui Muhammad saw sebagai utusan Allah, tidaklah mungkin mereka dapat mengenal Allah dan memahami cara beribadah yang benar kepada Allah. Karena itu kita bisa memahami, mengapa Nabi Muhammad saw senantiasa mengajak seluruh umat manusia untuk mengakuinya sebagai Utusan Allah yang terakhir. Ini adalah perspektif Islam. Dan jika seseorang sudah bersyahadat, mengakui bahwa “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, seyogyanya dia juga berpikir sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Bukankah hal yang aneh, jika seorang mengakui Muhammad sebagai Nabi tetapi jika tidak mau menjadikannya sebagai suri tauladan (uswah hasanah)?

Dalam perspektif Yahudi dan Kristen, Muhammad saw adalah seorang penipu, yang mengarang al-Quran dengan menjiplak Bibel Yahudi dan Kristen. Adanya sejumlah kemiripan cerita dalam al-Quran dan Bibel mereka jadikan bukti bahwa al-Quran adalah jiplakan dari Bibel. Itulah, yang antara lain, ditulis oleh Abraham Geiger dalam bukunya Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenomen? (Apa yang Muhammad pinjam dari Yahudi), terbit tahun 1833.

Itulah posisi teologis Yahudi dan Kristen yang memang secara tegas menolak kenabian Muhammad saw. Islam mengkritik pandangan semacam itu, tetapi kaum Muslim diminta tidak memaksakan posisi teologis Islam pada mereka. Posisi semacam itu jelas, dan tidak “abu-abu”. Yang aneh adalah jika orang mengaku Muslim, tetapi dia enggan berdiri pada posisi Islam dalam pemikirannya, dan lebih memilih posisi “netral agama” dalam pemikiran. 

Memang, kini banyak kaum Muslim mendapatkan teror pemikiran, bahwa mereka dikatakan sebagai sumber konflik agama-agama jika memiliki keyakinan terhadap kebenaran agamanya sendiri. Mereka dipaksa untuk melepaskan klaim kebenaran (truth claim) terhadap agamanya sendiri. Akhirnya, dia menjadi pendukung paham kebenaran semua agama, yang secara halus, misalnya,  dikemas dalam paham Kesatuan Transendensi Agama-agama (Transendent Unity of Religions). Paham ini menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Perbedaan agama-agama itu hanya terletak pada level eksoteriknya dan bukan pada level esoteriknya. Penulis buku Islam Mazhab HMI pun juga taklid  begitu saja terhadap paham hasil fantasi Rene Guenon dan Fritjop Schuon ini. Ia menulis:

“Secara substansial jelas bahwa ketiga ajaran agama besar (semitik) bisa dicarikan titik temunya yang terlihat pada ajaran esoteriknya, kendati secara eksoteris perbedaan itu cukup jelas dan sangat terasa.” (hal. 43).

 

Ide adanya pertemuan esoteris (batin) antar agama-agama adalah murni sebuah fantasi. Menafikan begitu saja substansi dan signifikansi dari aspek eksoterik (aspek luar/syariah) adalah suatu kecerobohan. Sebab, cara ibadah adalah hal yang pokok dalam agama. Justru di antara ajaran pokok dalam Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw adalah tentang aspek eksoterik, aspek tata cara ibadah kepada Allah. Menganggap remeh soal ini adalah suatu kekeliruan besar. Dalam pandangan Islam, tentu saja, tidaklah setiap bentuk ibadah dapat diterima Allah. Jika ada orang yang menyembah Allah dengan bertelanjang bulat di tengah malam sambil berteriak-teriak minta ampun di kamar mandi, maka tidak bisa dikatakan bahwa ia akan bertemu pada level esoterik dengan orang Islam yang shalat tahajut di malam yang sama.

Karena itulah, dalam pandangan Islam, tata cara ibadah termasuk hal pokok dalam agama. Islam tidak akan mentolerir orang yang rukuk dalam shalat dengan membungkukkan badannya ke belakang. Dalam tahiyyat, jari yang diacungkan haruslah jari telunjuk, bukan jari kelingking. Ini soal prinsip dalam Islam. Semua tata cara ibadah yang benar itu tidak mungkin diketahui jika seseorang menolak kenabian Muhammad saw. Oleh sebab itu, mengikrarkan dua kalimah syahadat termasuk dalam rukun Islam. Itu ditegaskan dalam sebuah hadits Nabi saw: “Islam adalah bahwasanya engkau bersaksi bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan bahwa sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan shaum Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah — jika engkau berkemampuan melaksanakannya.” (HR Muslim).

 

Itulah makna Islam, sebagaimana dijelaskan oleh utusan Allah SWT sendiri. Tidak perlu ngarang-ngarang  soal esoterik atau eksoterik, yang akhirnya malah keblinger sendiri.  Adalah sangat mengherankan, di Indonesia ini, kalangan yang sering mengaku sebagai cendekiawan yang kritis, seringkali tidak berani mengkritisi teori Islam-nya Nurcholish Madjid, dan membaca banyak pendapat ulama atau cendekiawan besar yang jauh lebih layak dan masuk akal untuk diterima pemikirannya. Sebagai orang yang pernah menjadi anggota HMI, saya sama sekali tidak merasa bermazhab seperti yang ditulis dalam buku Islam Mazhab HMI ini.

Adalah menarik, misalnya, membaca teori Islam yang digariskan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang menyatakan: “There is only one genuine revealed religion, and its name is given as Islam, and the people who follow this religion are praised by God as the best among mankind… Islam,  then, is not merely a verbal noun signifying ‘submission’;  it is also the name of particular religion descriptive of true submission, as well as the definition of religion: submission to God.”

Secara khusus, pada tahun 1998, teori ini telah ditulis sebagai disertasi doktor di ISTAC Kuala Lumpur oleh  Dr. Fatimah bt. Abdullah dengan judul “An Analysis of The Concept of Islam as “True Submission” on the Basis of al-Attas’ Approach.  Islam, menurut al-Attas bukan sekedar “agama berserah diri”, tetapi juga penjelasan tentang bagaimana cara berserah diri yang benar (true submission). Islam juga menjelaskan, siapa Tuhan yang sebenarnya. Semua itu hanya mungkin dipahami melalui penerimaan terhadap konsep kenabian Muhammad saw.

Tanpa pengakuan kepada kenabian Muhammad saw, tidak ada Islam. Karena itulah, dalam CAP ke-223 lalu, kita membahas terjadinya satu tragedi keilmuan yang besar ketika UIN Jakarta meluluskan sebuah disertasi doktor ilmu Tafsir al-Quran yang menafsirkan QS 2:62 secara sembarangan dengan menyatakan:  ”Jika diperhatikan dengan seksama, maka jelas bahwa dalam ayat itu tak ada ungkapan agar orang Yahudi, Nashrani, dan orang-orang Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad. Dengan mengikuti bunyi harafiah ayat tersebut, maka orang-orang beriman yang tetap dalam keimanannya, orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah  yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir serta melakukan amal shaleh – sekalipun tak beriman kepada Nabi Muhammad, maka mereka akan memperoleh balasan dari Allah. Pernyataan agar orang-orang Yahudi, Nashrani, dan Shabi’ah beriman kepada Nabi Muhammad adalah pernyataan para mufasir dan bukan ungkapan al-Quran.”

Meskipun dilegitimasi sebagai sebuah disertasi doktor ilmu Tafsir al-Quran di UIN Jakarta, tetapi kesimpulan semacam itu tetaplah bathil, karena menafikan berbagai ayat dan hadits Rasulullah saw. Padahal, Rasulullah saw bersabda:  ”Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seorangpun dari ummat sekarang ini, baik Yahudi, maupun Nasrani, kemudian mereka tidak mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka.” (HR Muslim).

Jika ada yang menyatakan bahwa soal keimanan kepada Nabi Muhammad saw adalah soal kecil dan tidak perlu dibesar-besarkan, maka kita katakan pada mereka, kalau memang itu soal kecil, mengapa mereka tidak mau beriman kepada Nabi Muhammad saw? Apa beratnya mengakui Muhammad saw sebagai utusan Allah?

Jadi, karena soal pemikiran bukanlah soal sepele, maka kita perlu menjaga pemikiran kita, agar tidak tercemar virus-virus yang akhirnya dapat merusak keislaman kita sendiri. Kita tidak perlu risau dengan orang-orang yang berlomba-lomba menuju kekufuran (QS 5:41). Tugas kita hanya menjaga diri kita sendiri dan mengingatkan orang-orang yang masih mau berpikir dan bersedia mendengarkan nasehat. Wallahu A’lam. (Depok, 14 Ramadhan 1429 H/14 September 2008).

Leave a Reply