Oleh: Reisya Callista Putri Prawira dan Ridani Faulika Permana
Tasawuf termasuk salah satu tema sensitif yang menarik untuk diperbincangkan dalam kajian Islam. Meski tidak sedikit orang yang menaruh minat yang besar terhadapnya, sebagian lain tetap kukuh dengan pandangannya bahwa ajaran dalam tasawuf menyalahi ajaran Islam. Landasan tersebut yang pada akhirnya tidak jarang membuat tasawuf terpinggirkan dari lingkup kajian Islam. Sebagai usaha untuk meluruskan pandangan yang keliru tentang tasawuf, Institute for The Study of Thought and Civilizations (INSISTS) mengadakan rangkaian seri kuliah dengan tema Tasawuf: Sufi dan Sufisme yang diampu oleh seorang peneliti senior INSISTS, Dr. Syamsuddin Arif.
Pada pertemuan pertama (17/08/2022), Dr. Syam menguraikan seluk-beluk dari istilah tasawuf itu sendiri. Pembahasan ini menjadi penting karena kekeliruan dalam mendefinisikan sesuatu termasuk dalam kesalahan dasar yang kemudian akan melahirkan kekeliruan lain.
Dr. Syam mengawali pemaparannya dengan menyebutkan adanya variasi istilah dan penulisan (alih aksara) yang dijadikan sebagai padanan dari tasawuf. Masyarakat Iran serta barisan orang yang terpengaruh olehnya terbiasa menggunakan istilah ‘irfan untuk menyebut tasawuf. Sedangkan dalam literatur Bahasa Arab kita juga dapat menemukan suluk sebagai istilah lain dari tasawuf. Penggunaan suluk sebagai padanan dari tasawuf marak kita temukan digunakan oleh para pengikut tarekat.
Lebih jauh, para Orientalis: atau cendekiawan Barat yang bergumul pada studi ketimuran menyebut istilah tasawuf sendiri dengan sebutan Sufisme atau ‘kesufian’. Adapun Sufisme yang dimaksud berbeda dengan istilah Sofisme yang dikenal sebagai doktrin dari Protagoras dengan faham relativisme, skepstisme dan agnotisisme.
Tidak hanya pada penamaannya, tasawuf juga dapat dibedakan menjadi tiga kategori yaitu; pertama, tasawuf sebagai praktek/amalan di mana tasawuf dipraktekan secara amaliah dan tercermin dari perilaku seseorang dan menjadi jalan hidupnya (lifestyle/way of life). Kedua, tasawuf sebagai doktrin yang diyakini berupa teori maupun ajaran yang dianut sehingga pada kategori ini tasawuf menjadi ilmu. Ketiga, tasawuf sebagai sejarah dan bahan pembicaraan yang ditulis tanpa dipraktekkan dan tidak pula dirumuskan dalam suatu konsep tertentu. Kategori terakhir biasa dijumpai pada tulisan-tulisan para orientalis yang fokus pada kajian tasawuf ini.
Sedangkan untuk variasi penulisan, alih aksara tasawuf ke dalam Bahasa Indonesia, setidaknya dapat kita temui ada tiga. Pertama, secara letterlijk sesuai dengan penulisannya dalam Bahasa Arab ditulis dengan tasawwuf. Penulisan seperti ini dapat digunakan untuk kepentingan formal karena sesuai dengan transliterasi interasional. Kedua, hampir serupa dengan penulisan pertama, tasawuf telah mengalami penyederhanaan supaya lebih enak dilihat karena hanya terdapat satu huruf ‘w’. Dan terakhir adalah tasauf, penulisan ini adalah versi paling sederhana yang paling mudah untuk diucapkan dalam Bahasa Indonesia. Tiga versi penulisan tersebut menurut Dr. Syam sah-sah saja untuk digunakan. Akan tetapi, Dr. Syam sendiri memilih tasawuf sebagai pertengahan dari ketiganya.
Mengenai definisi tasawuf, telah banyak ulama yang memberikan definisi terhadapnya. Menurut Ibrahim bin Adham misalnya, tasawuf adalah ajaran yang berorientasi hanya kepada (1) akhirat, (2) takut berbuat dosa kepada Allah Swt serta (3) zuhud ‘menahan diri’ dan mencukupkan diri hanya dengan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah Swt. Sedangkan menurut al-Junayd—seorang ulama yang masyhur dalam tasawuf—tasawuf mengajarkan manusia untuk senantiasa (1) mengingat Allah Swt, (2) menemukan Allah Swt melalui pendengaran (melalui jiwa) dan melalui amal.
Lebih dari itu, al-Jariri menyebutkan bahwa tasawuf menekankan pada (1) pengamalan akhlak mulia dan (2) meninggalkan akhlak tercela. Selaras dengan itu, Abu Bakr as-Syibli mengartikan tasawuf dengan (1) menjaga panca indera dan (2) memelihara jiwa. Kemudian Ibn ‘Ajibah menekankan bahwa tasawuf adalah ilmu menuju Raja segala raja: (1) membersihkan batin dari berbagai kotoran dan (2) mengisinya dengan berbagai macam kemuliaan. Begitupula A.Zarruq yang mengartikan tasawuf sebagai ilmu yang bertujuan untuk (1) memperbaiki hati dan (2) memfokuskannya kepada Allah Swt.
Serupa namun tidak sama, Hasan al-Bashri mendefinisikan tasawuf sebagai mendekatkan diri kepada Allah Swt, bekerja keras dalam konteks beramal dan bersyukur dengan segala yang ada. Maka tasawuf dapat disebut sebagai upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt secara paripurna. Pandangan ini dapat dikuatkan jika kita turut meninjau asal-usul dari kata tasawuf dan sufi (orang-orang yang mengamalkan tasawuf).
Selain daripada itu, orang-orang yang menjalani tasawuf memiliki istilahnya masing-masing sesuai penamaan tersebut. Sebagaimana orang yang menjalani sulūk dapat dikatakan sebagai sālik. Begitupula dengan mutaṣawwif yang sedang menjalani tasawuf baik secara ilmu maupun praktek akan tetapi belum sampai pada ujung jalannya. Sedangkan Sufi diangap sebagai seseorang yang bertasawuf dan telah sampai pada tujuannya dan mencapai tingkatan tertentu. Adapun Sufi berasal dari kata sūf seperti halnya sufiyyah yang didasarkan pada pakaian mereka. Berkenaan dengan asal kata tasawuf jika dikaitkan dengan pakaian para sufi identik dengan sūf atau kain yang terbuat dari kulit domba kasar. Pandangan ini lahir karena kezuhudan para sufi dalam aspek berpakaian; pada aspek ini para sufi dinilai mengikuti Nabi Isa yang menggunakan pakaian dari bahan wol, di mana pakaian tersebut menunjukkan kesederhanaan.
Jika ditinjau dari perilakunya berasal dari kata shafwah yang berarti bersih. Dan jika dikembalikan pada tempat di mana para sufi tinggal pada masa Rasulullah Saw. yaitu shuffah (ahli masjid). Teori ini lahir disebabkan adanya fenomena disediakannya tempat tinggal di salah satu bagian masjid bagi orang-orang yang tidak mampu pada zaman Nabi. Di mana orang-orang tersebut kemudian setiap hari belajar langsung kepada Rasulullah Saw. di Masjid hingga membuat mereka kemudia digelari sebagai ahli masjid.
Kemudian arti lainnya, berasal dari kata shaf yang diartikan sebagai orang-orang yang berada di barisan terdepan. Maksudnya adalah mereka yang senantiasa menjadi terdepan untuk membela agama. Dan terakhir adalah suffah dalam arti orang-orang yang fokus beribadah. Meski kelima teori tersebut memiliki perbedaan, setidaknya semua teori tersebut sedikit-banyak telah menggambarkan tasawuf dan sufi itu sendiri, yakni sebagai usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt secara sempurna.
Materi tersebut hanya sedikit dari luasnya pembahasan dalam tasawuf. Oleh sebab itu, pada awal pemaparannya, Dr. Syam telah menekankan bahwa tasawuf adalah salah satu ilmu yang perlu kita pelajari sepanjang hayat sekaligus pengamalannya. Ini menunjukkan bahwa tasawuf sebagai ilmu bukan sesuatu yang bisa dipelajari secara instan. Ia butuh waktu yang tidak sedikit. Oleh sebab itu, tasawuf tidak bisa disimpulkan dengan amat sederhana dan dengan telaah singkat. Kita tidak boleh gegabah menyematkan kata menyimpang tanpa melakukan pengkajian secara benar serta menyeluruh atasnya. Perlu kejujuran dan ketekunan untuk melihat tasawuf secara adil dan beradab.[]