Home Artikel Menebar Lamunan, Menepis Tradisi, Menuai Kadar: Catatan Awal Tahun

Menebar Lamunan, Menepis Tradisi, Menuai Kadar: Catatan Awal Tahun

937
0

“My body, my choice, my pleasure”, bunyi stiker yang cukup profokatif ini terbaca jelas di belakang sebuah mobil yang sedang melintas di kawasan Lenteng Agung. Kebetulan saat itu saya dalam perjalanan mengisi seminar di UIN Ciputat tentang kesetaraan gender.
Pesan dalam stiker itu mengingatkan saya pada sebuah aksi demonstran menolak Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU AP) yang mengusung poster-poster bertuliskan: “My body, my rights, tolak RUU APP!!”, “RUU APP: Phobia terhadap tubuh perempuan”, “Seksualitas bukan ukuran moralitas”, dsb.

Mungkin pembuat stiker itu menganggap bahwa agama dan negara yang dikuasai laki-laki adalah bahaya laten yang perlu terus diwaspadai sehingga kewaspadaan terhadap segala yang mengancam tubuh perempuan harus selalu dihidupkan.

Perempuan adalah sebuah wacana yang tidak pernah selesai diperbincangkan, dimana pun dan kapan pun. Pengusaha dan politisi kapitalis memandangnya sebagai aset, apalagi tubuh dan penampilannya. Bagi mereka, tubuh perempuan adalah komoditi yang menghasilkan modal dan menumpuk pundi-pundi. Ia menjadi wacana untuk bersenang-senang, dinikmati, dipertontonkan, bahkan diperjual belikan layaknya barang dagangan. Nilai tukarnya bergantung pada standar pasar. Dan perempuan pun harus merelakan tubuhnya dikuasai oleh kekuatan di luar dirinya, yaitu pemilik modal. (lihat Klethus Badhick, Wacana Tubuh Perempuan, hal. 14-15).  Sementara pada saat yang sama mereka menolak intervensi agama dan negara untuk mengatur tubuh mereka, termasuk hak melakukan aborsi.

Para pemilik modal lebih senang mempekerjakan perempuan, karena mereka lebih mudah diatur, lebih disiplin dan lebih tekun memenuhi target pekerjaan dibanding laki-laki yang lebih suka mengakali. Perempuan akan lebih malu bila terlambat datang ke tempat kerja, dibanding laki-laki yang biasanya memilih menitipkan tanda tangan. Akhirnya peluang kerja pun lebih dibuka untuk perempuan, lihatlah misalnya sektor perbankan, pemasaran, jasa, periklanan, bahkan sopir bus, pilot dan kenek pesawat yang mulai banyak melibatkan kaum perempuan.

Dalam batasan tertentu, terjunnya kaum perempuan ke ranah publik secara berbondong-bondong adalah pencapaian terbesar gerakan feminisme. Feminisme berawal dari keyakinan perempuan tentang kekuatannya. Di mana pada awalnya ia bukanlah suatu teori melainkan tindak personal itu sendiri. (lihat: Shulaimit Reinharz, Metode-metode Feminis dalam Penelitian Sosial, hal. 5).

Demikian halnya dengan masalah gender. Gender sudah diidentikkan sebagai trade mark perempuan dan kesetaraan gender adalah kesetaraan perempuan untuk mendapatkan apa yang dimiliki laki-laki, baik di ruang domestik maupun publik. Sebab gambaran tentang penindasan, kekerasan dan peminggiran terhadap eksistensi dan hak perempuan selalu mengiringi istilah kesetaraan gender dan feminisme. Maka siapa pun yang berbicara tentang masalah gender, baik laki-laki maupun perempuan baru bisa dinilai objektif jika mind-setnya sejalan dengan ideologi feminisme.

Semua aliran-aliran feminisme sepakat untuk mendorong (untuk tidak mengatakan memprovokasi) perempuan untuk lebih mengaktifkan waktunya di ruang publik. Feminisme liberal terus menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas. Pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestik dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat (tidak penting). Mereka digiring keluar rumah, berkarier dengan bebas dan dikondisikan untuk tidak tergantung lagi pada pria.

Trend feminisme radikal menawarkan ideologi “perjuangan separatisme perempuan”. Aliran ini memandang bahwa tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Oleh karena itu, feminisme radikal mengangkat isu tentang tubuh, hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kekuasaan perempuan dan laki-laki, dan dikotomi privat-publik.  Mereka juga mempermasalahkan kenapa harus laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga.

Feminisme anarkis lebih bersifat sebagai paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosialis dan menganggap negara dan sistem patriakhi yang didominasi laki-laki adalah sumber permasalahan yang harus dihancurkan sesegera mungkin.

Sedangkan feminisme sosialis berpendapat “Tak ada sosialisme tanpa pembebasan perempuan. Tak Ada pembebasan perempuan tanpa sosialisme”. Feminisme sosialis berjuang menghapuskan sistem kepemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir kepemilikan pria atas harta, dan kepemilikan suami atas istri harus dihapuskan. Sebagaimana ide Karl marx yang menginginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.

Menanggapi aliran-aliran feminisme dengan segala tuntutannya ini, hal yang mendasar patut dipertanyakan adalah dapatkan perempuan menjadi seperti laki-laki? Apakah perempuan menginginkannya? Dan apakah perempuan juga harus menginginkannya? Wanita-wanita yang sebenarnya memiliki keragaman latar belakang, talenta, kapasitas dan kapabilitas diperlakukan kaum feminis secara seragam. Dan demikianlah paham kesetaraan gender yang seringkali memandang kebenaran dari pengalaman dan ukuran jenis kelamin perempuan.

Patut disayangkan bilamana ideologi feminisme konservatif sering mendapatkan ruang di kementerian pemberdayaan perempuan. Sebuah kebijakan yang patut menjadi penyesalan kolektif. Sebab lembaga kementerian adalah institusi negara yang diantaranya didanai oleh pajak. Pembayar pajak adalah mereka yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan, serta mayoritas beragama Islam. Maka sewajarnya jika kementerian ini tidak saja memperjuangkan kaum perempuan dan membiarkan dirinya disusupi penumpang gelap kesetaraan gender yang mendeskriditkan ajaran Islam.

Di antara visi kementerian pemberdayaan perempuan adalah terwujudnya kesetaraan gender yang nota bene hanya berpihak pada perempuan. Sedangkan diskriminasi terhadap perempuan adalah “Setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak azasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum perempuan, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara laki-laki dan perempuan”.

Maka atas dasar penjelasan di atas, adanya undang-undang yang mengatur batas kesopanan busana wanita di ruang publik sudah dikategorikan diskriminasi dan ketidakadilan gender. Pencekalan terhadap konser dangdut erotis bisa dianggap menyalahi kebebasan dan hak asasi perempuan di bidang ekonomi dan budaya. Bahkan sudah termasuk pasal kekerasan terhadap perempuan. Sebab menurut penjelasan di http://www.menegpp.go.id., kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan yang melanggar, menghambat, meniadakan kenikmatan dan mengabaikan hak asasi perempuan.

Website menegpp sangat disayangkan jika banyak disusupi provokasi untuk mengolok-olok agama dan menebarkan kebencian kepada laki-laki. Pesan mengolok-olok perempuan yang lebih memilih menutup auratnya (berjilbab) misalnya, diberi stigma “ada yang salah dengan tubuhnya”. Walaupun di sisi lain, juga memuat motivasi untuk perempuan yang mengalami kejahatan seksual agar bangkit dari keterpurukan dan trauma untuk menyongsong masa depan sebagai wanita yang tetap berharga, apapun kondisinya. (lihat: Cinta, Tubuh, Seks dan Ilusi).

Ekspolitasi seks terhadap perempuan dan pornografi dalam website ini termasuk contoh kekerasan terhadap perempuan. Tetapi anehnya justru UU Pornografi yang sebenarnya sudah tidak lagi memiliki “gigi” juga dianggap merugikan perempuan karena hanya memandang perempuan sebagai objek hukum dan subjek pengumbar pornografi. (lihat: Gerakan Perempuan dalam Bingkai Patriarkhi).

Lebih lanjut web menegpp memperluas skup bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang meliputi stereotype (prasangka subjektif yang didasarkan pada informasi sekilas). Pandangan bahwa perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan, serta laki-laki sebagai pencari nafkah utama adalah salah satu contoh stereotype terhadap perempuan.

Di samping itu, yang patut disesalkan adalah banyaknya artikel yang mengusung paham-paham liberal konservatif yang menghiasi website menegpp ini. Sekedar menyebut contoh, artikel bertema: “Mengembangkan Tafsir Sensitif  Jender”, misalnya, sarat sekali dengan hasutan bahwa seakan-akan ajaran agama sering dijadikan legitimasi berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Termasuk kitab-kitab tafsir yang memicu tindak kekerasan terhadap perempuan. Prasyarat untuk menafsirkan al-Qur’an yang harus memiliki disiplin ilmu-ilmu agama, seperti ulumul quran, ulumul hadits, nahw, sharaf, balaghah, dan lainnya, dianggap tidak berpihak kepada kaum perempuan. Padahal pelaku tindak kekerasan terhadap perempuan malahan lebih banyak dilakukan oleh mereka yang awam terhadap agamanya atau komitmen beragamanya sangat minim.

Pesan yang hendak disampaikan dalam artikel ini di antaranya bahwa seolah-olah setiap orang tanpa kualifikasi, berhak dan mempunyai kapabilitas yang sama untuk menafsirkan al-Quran. Penulis artikel yang tidak disebutkan namanya dalam website ini menulis: “Setiap umat beragama berhak mempertanyakan, merasa tidak puas, dan menyusun pandangan baru atas suatu pandangan agama klasik sebagai jalan tafsir”. Selanjutnya, ia membuka pintu selebar-lebarnya bagi perempuan khususnya, untuk menafsiri al-Quran meskipun tidak menguasai bahasa Arab dan prasyarat lainnya. Dalam hal ini ia menyatakan: “Dengan perspektif ini, kita bisa memberi peluang setara untuk melakukan kerja tafsir bagi perempuan yang tidak bisa mengakses sumber-sumber Islam yang dominan berbahasa Arab”.

Maka sebagai gantinya, untuk mempermudah terlaksananya kerja-kerja tafsir yang berbasis gender, maka syarat utamanya adalah bisa membedakan antara seks dan gender. “Untuk membangun tafsir secara sederhana itu dapat dengan memahami dan mengaplikasikan analisis jender pada tafsir itu, yaitu mampu membedakan antara seks dan jender”, begitu papar penulisnya.

Pada dasarnya artikel-artikel tersebut lebih bersifat lamunan dan ambisi golongan tertentu daripada sebuah karya ilmiah. Di Barat sendiri sudah mulai banyak orang yang berpendapat bahwa ideologi feminisme dan gender equality sudah kehilangan relevansinya. “Feminism is not for equality for both men and women. This is because in this modern society, men and women have equal rights and opportunity. Feminism only ever fights against inequalities against women, it never fights against inequalities against men. Feminism also fights against male-on-female violence, but doesn’t make a fuss about female-on-male violence”, begitulah paparan sebagian masyarakat Barat yang dipublikasikan di youtube.

Bahkan dalam “The New Oxford Dictionary of English” untuk sekedar menyebutkan contoh kata “rational” saja dipilih kalimat: She’s not being very rational; Man is a rational being. Di Jepang, kononnya ada sebuah gunung yang khusus untuk laki-laki, sedangkan perempuan menurut tradisinya tidak boleh naik ke atas gunung tersebut. Meskipun jelas-jelas kamus tersebut merendahkan kaum perempuan, tetap saja bahasa Inggris (TOEFL/IELTS) sering dijadikan syarat untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Dan meskipun sebagian tradisi di Jepang juga kurang ramah terhadap wanita, namun adakah yang yang berani mengatakan Jepang adalah negara terbelakang?

Tidakkah sebenarnya istilah “pemberdayaan wanita” itu sangat problematik? Tidakkah istilah ini justru mengasumsikan bahwa wanita Indonesia adalah makhluk lemah, tidak berdaya dan dependen, sehingga diperlukan kementerian khusus untuk mengurusi dan memberdayakan mereka? Kenapa untuk menanggulangi masalah kemiskinan, pendidikan, kesehatan reproduksi, tindak kekerasan, dsb yang menimpa kaum perempuan, masih dibutuhkan kementerian khusus? Apakah tidak cukup institusi-institusi negara seperti kementerian sosial, pendidikan, agama, kesehatan, hukum dan HAM, ketenagakerjaan, kepolisian, kementerian penanganan daerah tertinggal, dsb menangani ragam masalah tersebut? Tidakkah masalah-masalah tersebut juga menimpa kaum laki-laki?

Namun sekiranya kementerian ini tetap harus dipertahankan, tidakkah lebih membawa maslahat jika ia lebih fokus diarahkan pada tercapainya generasi yang berkualitas? Misalnya dengan berusaha memperbanyak tersedianya ruang menyusui di mall, terminal, tempat kerja dan fasilitas publik lainnya (nursing room for breastfeeding mothers), memperjuangkan cuti hamil dan melahirkan yang lebih panjang atau setahun kalau dirasa cukup, memperjuangkan masa kerja yang lebih fleksibel bagi ibu-ibu yang berkarier, memperjuangkan subsidi bulanan bagi ibu kurang mampu yang mempunyai bayi hingga usia lima tahun, menyediakan persalinan yang mudah, aman, sehat dan murah. Di samping itu, tidak membahas hal-hal yang bukan menjadi prioritas utama kementerian ini, misalnya dengan ikut-ikutan mengurusi disiplin ilmu-ilmu keislaman, apalagi dengan sekedar mengandalkan informasi yang sangat terbatas dari golongan tertentu.

Kiranya cukuplah Kalam Ilahi menjadi renungan bersama: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan”. (QS. Al-Nisa: 32)

Leave a Reply