Selain itu, tulis Dr. Syamsuddin, puasa Ramadhan juga merupakan upaya penyucian jiwa (tazkiyyatun nafs). “Orang yang berpuasa sesungguhnya mensucikan dirinya . Puasa adalah instrumen pembersih kotoran-kotoran jiwa, seperti halnya shalat. Orang yang berpuasa tidak hanya menolak yang haram dan menjauhi yang belum-
tentu-halal dan belum-tentu-haram. Jangankan yang syubhat dan yang haram, sedangkan yang jelas halal pun tak dijamahnya. Puasa berfungsi mematahkan dua syahwat sekaligus: yakni syahwat perut dan syahwat kemaluan. Demikian kata Imam ar-Razi dalam kitab tafsirnya (Mafatih al-Ghayb, cetakan Darul Fikr Lebanon 1426/2005, juz 4, jilid 2, hlm. 68).”
Masih mengutip artikel Dr. Syamsuddin Arif, disebutkan juga bahwa Syah Waliyyullah ad-Dihlawi menyatakan, puasa itu ibarat tiryaq (penawar) bagi racun-racun syaitan; atau semacam detoksifikasi spiritual. Dengan puasa, terpukullah naluri kebinatangan (al-bahimiyyah) yang mungkin selama ini menguasai seseorang. Puasa sejati melumpuhkan syaitan dan membuka gerbang malakut (Hujjatullah al-Balighah, cetakan Kairo 1355 H, juz 1, hlm.
48-50). Itulah sebabnya mengapa dalam suatu riwayat disebutkan bahwa mereka yang berhasil menamatkan puasa sebulan Ramadhan disertai iman dan pengharapan bakal dihapus dosa-dosanya sehingga kembali suci fitri bagaikan bayi baru dilahirkan dari rahim ibunya.
Demikian kutipan artikel Dr. Syamsuddin Arif tentang makna dan tujuan puasa Ramadhan yang begitu mulia. Pada edisi yang sama, Jurnal Islamia-Republika juga menurunkan artikel Adnin Armas, Direktur Eksekutif Insists, yang berjudul “Ar-Razi dan Konsep Manusia Mulia”. Artikel ini sangat penting untuk kita baca dan renungkan. Kata Fakhruddin Ar-Razi: “Manusia mulia adalah manusia yang mengutamakan wahyu Allah dan akalnya dibanding mengikuti hawa nafsunya.” (Dikutip dari karya ar-Razi: Kitab an-Nafs wa ar-Ruh wa as-Syarh Quwahuma; Buku Mengenai Jiwa dan Ruh dan Komentar Terhadap Kedua Potensinya).
Fakhruddin ar-Razi adalah seorang ulama-intelek yang berwibawa (m. 610 H/ 1210 M). Ia menulis ratusan kitab dalam bidang Tafsir, Fiqih, Ushul Fiqih, Fisika, Filsafat, dan sebagainya. Menurut ar-Razi, manusia memiliki hawa nafsu dan tabiat yang selalu berusaha menggiringnya untuk memiliki sifat-sifat buruk. Tapi, jika manusia lebih mengutamakan bimbingan wahyu Allah dan akal dibanding hawa nafsunya, maka ia akan jadi mulia. Bahkan, manusia bisa lebih mulia dari malaikat. Mengapa? Malaikat selalu bertasbih karena tidak memiliki hawa nafsu, sementara manusia harus berjuang melawan hawa nafsunya. Demikian pendapat Fakhruddin ar-Razi.
Bagi Fakhruddin ar-Razi, kebahagiaan jiwa atau kenikmatan ruhani lebih tinggi martabatnya dibanding kebahagiaan fisik atau kenikmatan jasmani, semisal kenikamatan makanan, seks dan hasrat memiliki materi.
Ar-Razi, seperti dikutip Adin Armas, mengemukakan beberapa argumentasi. Di antaranya adalah sebagai berikut:
(1) Jika kebahagiaan manusia terkait dengan hawa nafsu dan mengikuti amarah, maka hewan-hewan tertentu — yang amarah dan nafsunya lebih hebat — akan lebih tinggi martabatnya dibanding manusia. Singa lebih kuat nafsu amarahnya dibanding manusia; burung yang lebih kuat daya seksualnya ketimbang manusia. Tapi, faktanya, singa dan burung tidak lebih mulia dari nmanusia.
(2) Jika makanan atau seksualitas menjadi sebab diraihnya kebahagiaan dan kesempurnaan, maka seseorang yang makan terus menerus akan menjadi manusia paling sempurna atau paling bahagia. Tapi, seorang yang makan terus menerus dalam jumlah berlebihan, justru akan membahayakan dirinya. Jadi, sebenarnya makan adalah sekadar untuk memenuhi kebutuhan jasmani, bukan menjadi penyebab pada kebahagiaan atau pun kesempurnaan manusia.
(3) Kenikmatan jasmani sejatinya bukanlah kenikmatan yang sebenarnya. Seseorang yang sangat lapar, akan segera merasakan nikmat yang tinggi jika ia segera makan. Sebaliknya, seseorang yang sedikit laparnya, sedikit pula rasa nikmatnya ketika ia makan. Seseorang merasakan kenikmatan berpakaian saat ia merasa terlindung dari rasa dingin dan panas. Ini menunjukkan, nikmat jasmani bukanlah kenikmatan yang sesungguhnya. Jiwanyalah yang merasakan kebahagiaan; dan kebahagiaan jiwa bukanlah kenikmatan jasmani.
(4) Hewan yang kerjanya hanya makan dan minum serta malas untuk berlatih, maka ia akan dijual murah. Sebaliknya, hewan yang makan dan minum serta mau berlatih keras, maka akan dijual dengan harga yang tinggi. Kuda yang ramping, berlari kencang, lebih mahal harganya dibanding kuda yang gemuk dan malas untuk berjalan. Jika kuda yang berlatih dihargai lebih mahal, apalagi kepada makhluk hidup yang berakal. Jika manusia berlatih, berkerja dan melakukan kebajikan, pasti lebih tinggi nilainya.
Menurut Fakhruddin ar-Razi, jika manusia hanya sibuk dengan kenikmatan jasmani, maka daya spiritualitasnya akan rendah dan intelektualitasnya tertutup. Ia akan tetap diliputi dengan nafsu kebinatangan, bukan dengan kemanusiaan. Padahal, esensi kemanusiaan yang sebenarnya adalah menyibukkan diri kepada Allah, Yang Maha Agung, supaya ia menyembah-Nya, mencintai-Nya dengan sepenuh jiwa raganya. Kesibukan dengan kenikmatan duniawi akan menghalanginya dari beribadah dan mengingat-Nya. Cinta kepada kenikmatan jasmani akan menghalanginya untuk meraih Cinta kepada Sang Khalik.
Pemikiran Fakhruddin ar-Razi tentang konsep manusia yang mulia — seperti diuraikan oleh Adin Armas tersebut — sungguh sangat inspiratif. Di tengah-tengah merebaknya pemujaan terhadap budaya kuliner, hedonis, materialis, pornoaksi dan pornografi, pemikirannya mengingatkan kita bahwa kenikmatan ruhani, kebahagiaan jiwa, kecintaan untuk meraih ilmu pengetahuan, melakukan ibadah, menjauhi kemaksiatan, melakukan kebajikan dan mencintai Allah dengan segenap jiwa dan raga. Itulah esensi kemanusiaan.
Sebaliknya, cengkeraman hawa nafsu yang menjebak manusia hanya memperbanyak kenikmatan jasmani akan menjauhkannya dari Sang Maha Pencipta. Pemikiran ar-Razi mudah-mudahan bisa menginspirasi kita untuk melakukan yang terbaik dalam kehidupan yang fana ini.
****
Rasulullah SAW bersabda: “Al-Mujahid man jahada nafsahu fil-Laahi ‘Azza wa-Jalla”. (Mujahid adalah seseorang yang melakukan jihad melawan hawa nafsunya di jalan Allah). (Hadis Shahih, riwayat Imam Tirmidzi).
Berjihad melawan hawa nafsu merupakan perjuangan yang sangat berat. Karena itu, perjuangan ini memerlukan kesungguhan, ilmu, dan pertolongan Allah SWT. Di dalam al-Quran ditegaskan, bahwa orang-orang yang berhasil mensucikan jiwanya, adalah orang-orang yang beruntung, yang meraih kemenangan (qad- aflaha man tazakka).
Pada tahun 1950, Prof. Dr. Hamka, seorang ulama dan sastrawan terkenal Indonesia, telah menulis sebuah buku berjudul Pribadi, (Jakarta: Bulan Bintang. 1982, cet. Ke-10). Menurut Hamka, seorang dihargai karena pribadinya, bukan karena tubuhnya. Hamka menulis:
“Dua puluh ekor kerbau pedati, yang sama gemuknya dan sama kuatnya, sama pula kepandaiannya menghela pedati, tentu harganya tidak pula berlebih kurang. Tetapi 20 orang manusia yang sama tingginya, sama kuatnya, belum tentu sama “harganya”, sebab bagi kerbau tubuhnya yang berharga. Bagi manusia, pribadinya. Berilmu saja, walaupun bagaimana ahlinya dalam suatu jurusan, belum tentu berharga, belum tentu beroleh kekayaan dalam hidup, kalau sekiranya bahan pribadinya yang lain tidak lengkap, tidak kuat, terutama budi dan akhlak.”
Fisik memang wajib dijaga dan diperkuat. Haram hukumnya menyakiti tubuh. Tetapi, menurut Hamka, kadangkala, bagi orang-orang tertentu, kekurangan dalam kesehatan dan kesempurnaan fisiknya, tidak mempengaruhi untuk menjadi pribadi yang hebat. Socrates, seorang ahli filafat Yunani kuno, tidaklah bagus tampang mukanya. Kepala sulah, perut gendut, dan terkenal hidungnya pesek. Pendeknya tidak ada yang menarik hati kalau hanya dipandang lahir. Tetapi bilamana dia telah mengupas suatu soal dengan murid-muridnya maka seluruh murid itu akan lekat kepadanya.
Contoh lain, sebut Hamka, adalah pribadi hebat dari Panglima Soedirman. Pribadi yang satu ini sungguh luar biasa. Biar pun paru-parunya tinggal sebelah, Jenderal Soedirman memimpin gerilya dengan ditandu; keluar masuk hutan; hujan kehujanan, panas kepanasan. Kelemahan fisiknya tidak menghalangi semangat juang dan kepemimpinannya.
Jadi, kata Hamka, dalam rangka membentuk pribadi, jagalah kesehatan! Dan jika terdapat kekurangan pada badan, pada kesehatan janganlah putus asa membangunkan pribadi yang sejati. Sebab, pribadi yang sejati ada pada jiwa manusia. Bukan pada fisiknya. Pepatah Arab menyatakan:
Aqbil ’alan nafsi wastakmil fadhailaha,
Fa-anta bin nafsi la biljismi insanu.
(Hadapkan perhatian pada jiwa, sempurnakan keutamaannya,
Sebab dengan jiwamu, dan bukan dengan badanmu, engkau disebut insan)
*****
Jadi, begitu pentingnya pembangunan jiwa manusia. Bangsa Indonesia pun mengakuinya, sehingga dinyanyikan pula dalam syair lagu kebangsaan Indonesia Raya: ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!”
Tapi, marilah kita jujur, apakah pembangunan jiwa ini benar-benar menjadi prioritas pembangunan di Indonesia. Pemerintah memang sedang menggalakkan program Pendidikan Karakter bangsa, tetapi pada saat yang sama, pemerintah juga secara sistematis membiarkan proyek-proyek penghancuran karakter bangsa.
Lihatlah, bagaimana semakin maraknya media massa melakukan pemujaan terhadap selebritis-selebritis yang jelas-jelas melakukan tindakan tidak bermoral. Harian Republika (24 Juli 2012), memberitakan pernyataan Sekjen Komnas Anak, Aris Merdeka Sirait, yang menyatakan keprihatinannya atas sambutan yang berlebihan dari sekelompok orang terhadap bebasnya Ariel Peter Pan dari penjara di Bandung. Padahal, tindakan Ariel yang menyeretnya ke penjara adalah tindakan amoral yang sangat tidak patut dijadikan teladan bagi siapa pun.
Sebenarnya, media massa pun – terutama sejumlah stasiun televisi – telah melakukan kesalahan yang sangat besar, dengan melakukan pemberitaan yang berlebihan terhadap kebebasan seorang Ariel dari penjara. Padahal, betapa banyak berita-berita lain yang lebih penting untuk disajikan kepada masyarakat. Betapa banyak anak-anak bangsa yang berprestasi tinggi di berbagai bidang ilmu pengetahuan, yang lebih patut disajikan beritanya kepada masyarakat kita.
Apa pun yang terjadidi sekitar kita, tanggung jawabnya ada pada pelaku dan pemegang kuasa negara. Tugas kita hanyalah melakukan taushiyah; menyampaikan nasehat dengan cara-cara bijak. Yang penting, diri kita, keluarga, dan sadara-saudara kita mudah-mudahan bisa memanfaatkan bulan Ramadhan 1433 Hijriah ini dengan semaksimal mungkin untuk beribadah kepada Allah; dalam rangka meraih derajat utama, yaitu derajat taqwa, melalui puasa dan penyujian jiwa. Amin.*/Depok, 4 Ramadhan 1433 H